BAGIAN 4

408 19 0
                                    

"He he he...! Ternyata matamu belum lamur mengenaliku, Bangkor. Nah, apa saja yang kau kerjakan hingga pihak kerajaan memintaku untuk menangkapmu?" kata kakek yang dipanggil Pengemis Tongkat Sakti itu sambil tertawa kecil.
"Hm... Jadi, rupanya sekarang kau telah bekerja untuk pihak kerajaan?"
"Kenapa tidak? Raja yang memerintah sekarang cukup baik dan memperhatikan rakyatnya. Selain mendapat uang, aku pun bisa menggebrak monyet busuk sepertimu!"
"Huh! Jangan harap bisa semudah itu. Meski namamu menjulang tinggi, tapi Perampok Mata Satu pantang dihina. Langkahi mayatku dulu, baru kau bisa menangkapku."
"Ha ha ha...! Apa sulitnya melangkahi mayatmu? Dalam keadaan terluka begitu, kau seperti kuda dungu yang jinak!"
"Bangsat!"
"He, memaki lagi?! Betul apa yang dikatakan orang. Kau memang tidak boleh dibiarkan hidup lama-lama!"
"Orang tua busuk, majulah! Tangkaplah aku kalau kau memang merasa mampu!" sahut Bangkor sambil memasang kuda-kuda.
"He he he...! Soal menangkapmu itu persoalan mudah. Tapi aku takut akan dianggap lancang, jika mendahului Pendekar Rajawali Sakti yang tengah berurusan denganmu. Biarlah kutunggu bangkaimu saja," balas Pengemis Tongkat Sakti sambil melirik Rangga.
"Apa maksudmu, Orang Tua? Siapa yang kau maksud Pendekar Rajawali Sakti?!" bentak Bangkor penuh tanya.
"Kenapa? Apakah nyalimu mulai ciut? Siapa lagi orangnya selain pemuda yang menjadi lawanmu tadi."
"Heh?!" Bangkor tercekat. Ditatapnya Rangga dengan dahi berkerut. Seolah, dia tidak yakin kalau pemuda yang tadi bertarung dengannya adalah pendekar yang namanya belakangan ini menggetarkan rimba persilatan, karena sepak terjangnya yang telah banyak membinasakan tokoh golongan hitam berilmu tinggi.
"Nah, Pendekar Rajawali Sakti. Silakan diteruskan kembali permainan tadi yang sempat tertunda. Sementara, biarlah kami menontonnya saja," kata Pengemis Tongkat Sakti sambil tersenyum kecil.
"Paman Pengemis Tongkat Sakti, sebenarnya di antara kami tidak ada urusan apa-apa, tapi karena mereka memaksa, apa boleh buat. Aku terpaksa harus membela diri. Tapi kalau memang di antara kalian ada urusan, tentu saja dengan senang hati aku akan mengalah," sahut Rangga, mengelak.
Pemuda itu mengerti apa yang dikehendaki Pengemis Tongkat Sakti. Dari kata-katanya yang sepintas tadi, tentulah dia utusan kerajaan yang ditugaskan untuk menangkap Perampok Mata Satu. Dan dengan dalih bahwa dia mempunyai urusan dengan Perampok Mata Satu, tentu si Pengemis Tongkat Sakti akan cuci tangan dan mau untung sendiri. Bagi Rangga hal itu memang kebetulan sekali. Berarti dia tidak susah-susah lagi berurusan dengan Perampok Mata Satu.
"Huh! Dengan siapa pun aku tidak peduli. Majulah kalian semua. Tapi, jangan harap aku akan takut.'" dengus Bangkor sinis.
"He he he..! Dasar perampok picisan. Biarlah aku yang tidak berguna ini akan memberi hajaran padamu!" sahut Pengemis Tongkat Sakti sambil mencelat mengayunkan tongkat bututnya.
"Yeaaa...!"
Bersamaan dengan itu pula Bangkor langsung bergerak menghadang. Bangkor memang terkenal orang yang tinggi hati. Selama ini, semua orang amat takut padanya. Hingga tingkahnya semakin sombong dan angkuh saja. Perbuatannya semakin sewenang-wenang, karena tidak ada seorang pun yang mampu menghalanginya. Dan hal ini pun terdengar pihak kerajaan.
Maka beberapa hari yang lalu pihak kerajaan telah mengirim sepasukan prajurit untuk menangkapnya. Namun tidak seorang pun di antara para prajurit yang kembali, karena Bangkor telah membasmi habis semuanya. Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan pihak kerajaan. Maka mereka langsung mengirim Pengemis Tongkat Sakti, yang selama ini banyak membantu pihak kerajaan. Pengemis Tongkat Sakti memang seorang tokoh yang amat disegani dalam rimba persilatan.
Selain berilmu tinggi, juga tidak pernah kenal ampun terhadap lawan. Mereka yang pernah berurusan dengannya, tidak pernah ada yang selamat. Tak heran bila Bangkor sempat terkejut ketika mengetahui kehadirannya. Dan bila Pengemis Tongkat Sakti sudah mencampuri suatu urusan, bisa dipastikan akan menyelesaikan sampai tuntas.
Tapi Bangkor yang telah kepalang tanggung, dan kini berhadapan dengan dua orang tokoh tingkat tinggi yang namanya disegani di kalangan dunia persilatan, tentu saja tidak sudi menunjukkan rasa takutnya. Maka dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, digempurnya si Pengemis Tongkat Sakti habis-habisan.
"He he he...! Bagus, Bangkor. Kerahkanlah seluruh kemampuan yang kau miliki, sebelum mampus di tanganku!" ejek Pengemis Tongkat Sakti sambil terkekeh.
"Orang tua keparat! Kaulah yang akan mampus di tanganku!"
"Eit! Mana ada kejadian begitu? Sudah ditakdirkan kalau kau memang akan mampus di tanganku, maka ikhlaskanlah kepergianmu," balas Pengemis Tongkat Sakti sambil mengejek terus.
Tentu saja hal itu membuat Bangkor yang pada dasarnya gampang naik darah, semakin berang saja. Tapi meski segenap kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan, lawan belum juga mampu didesaknya. Kenyataannya, permainan tongkat lawan sulit dibendung goloknya. Tongkat di tangan orang tua itu terlihat biasa saja. Namun, sebenarnya benda terbuat dari baja hitam yang sangat langka.
Dan manakala dimainkan sambil dibarengi tenaga dalam kuat, terdengar suara desir angin menggaung yang disusul kebutan angin serangan yang terasa perih. Bahkan beberapa kali senjata mereka telah beradu, sehingga menimbulkan percikan bunga api. Dan Bangkor berkali-kali menahan rasa nyeri. Bahkan telapak tangannya telah terkelupas akibat benturan kedua senjata tadi.
"Yeaaa...!"
Pengemis Tongkat Sakti menggeram buas. Lalu sambil mengatupkan rahang, tubuhnya melompat tinggi. Tongkat di tangannya diputar bagai baling-baling, hingga menimbulkan suara menderu. Dan sambil berteriak nyaring, tongkat itu dihantamkan disertai tenaga dalam tinggi. Bangkor benar-benar terkejut melihat cepatnya serangan lawan. Maka buru-buru ditangkis dengan golok pusaka miliknya.
Trak!
Tapi ternyata senjatanya terpental jauh dari tangannya. Bahkan tubuhnya terjajar dua langkah ke belakang. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi, tiba-tiba ujung tongkat lawan telah lebih cepat menghantam dadanya bagian kiri.
Begkh!
"Aaakh...!"
Terdengar tulang iga yang patah, dan langsung menembus jantung. Ketua Perampok Mata Satu itu kontan menjerit keras. Tubuhnya langsung terlempar dua tombak dan ambruk di tanah sambil menggelepar-gelepar kesakitan. Sepasang matanya seperti hendak keluar dari sarangnya, sebelum nyawanya lepas dari raga.
"Huh! Dasar perampok picek tidak tahu diri! Kau pikir hanya dirimu saja yang jago di kolong langit?!" umpat Pengemis Tongkat Sakti.
Para penduduk yang tetap bertahan di situ, mengelu-elukan Pengemis Tongkat Sakti karena berhasil menewaskan Perampok Mata Satu yang selama ini menindas mereka. Bahkan karena geramnya, beberapa orang penduduk sempat meludahi sekujur tubuh Bangkor yang telah tidak bernyawa.
"Hidup Pengemis Tongkat Sakti!"
"Hiduuup...!"
Pengemis Tongkat Sakti sendiri seperti anak kecil mendapat mainan baru kesukaannya. Dia terkekeh-kekeh senang mendengar teriakan-teriakan itu.
"Sudahlah, Guru. Mari kita lanjutkan perjalanan kembali," ajak gadis berbaju biru yang tadi bersamanya.
"Sebentar. Tidakkah kau merasa bangga melihat gurumu dielu-elukan orang banyak?"
"Guru memang merasa bangga. Tapi, aku merasa pusing di sini. Apa lagi perutku lapar, sudah waktunya diisi."
"Sekar Harum! Kau ini selalu saja begitu. Kapan lagi gurumu dipuji begitu banyak orang, kalau bukan sekarang? Tapi, ayolah. Kau juga benar. Perutku pun sudah mulai melilit minta diisi. Eh, ke mana bocah itu tadi?"
"Bocah siapa?" tanya gadis yang dipanggil Sekar Harum itu heran.
"Bocah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu?!"
"Maksud Guru, pemuda yang tadi sempat bertarung melawan Perampok Mata Satu? Dia bukan bocah lagi."
"Aaah! Bagiku sama saja. Di mataku, dia masih bocah. Hanya saja, beda dengan bocah lain. Dia memiliki banyak kelebihan. Dan..., sangat pantas kalau menjadi jodohmu, Sekar!" goda Pengemis Tongkat Sakti sambil mengikuti langkah Sekar Harum menuju kedai.
"Guru! Kau ini bicara apa?" rutuk Sekar Harum pura-pura acuh.
"He he he...! Tidak sukakah kau pada pemuda itu? Wajahnya tampan dan ilmu silatnya tinggi. Bahkan aku sendiri sangsi, apakah mampu mengalahkannya kalau suatu saat berurusan dengannya."
"Guru jangan bicara yang bukan-bukan!" rengek Sekar Harum, tersipu malu.
Pengemis Tongkat Sakti terkekeh-kekeh melihat murid satu-satunya yang mulai salah tingkah mendengar godaannya. Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti telah jauh meninggalkan Desa Tegalan. Ketika saat-saat terakhir pertarungan antara Pengemis Tongkat Sakti melawan Perampok Mata Satu, Rangga bisa merasakan kalau Pengemis Tongkat Sakti akan mampu mengatasi lawannya.
Maka, di saat semua mata memusatkan perhatian pada pertarungan, diam-diam ditinggalkannya tempat itu tanpa seorang pun yang tahu. Dan kini, perut Pendekar Rajawali Sakti kembali terasa lapar, karena belum sempat menyentuh makanan di kedai tadi, karena harus meladeni Perampok Mata Satu.
Tiba di sebuah pinggiran hutan yang tidak terlalu lebat, matanya mulai mencari buah-buahan yang sekiranya dapat dimakan. Tapi belum sempat memetiknya, tiba-tiba melintas seekor kelinci gemuk di dekatnya. Kontan saja Rangga tersenyum senang.
"Pucuk dicinta ulam tiba. Susah payah aku mencari makanan, akhirnya datang sendiri," ujar Rangga sambil bergerak hendak menangkap kelinci itu. Tapi....
Siiing!
"Hei?!" Rangga tersentak kaget. Pendengarannya yang tajam langsung menangkap desir angin halus di belakangnya. Buru-buru dia membuang diri ke samping, sambil terus bersalto beberapa kali untuk menghindari kemungkinan adanya serangan gelap. Lalu....
Crasss!
"Nguikh!"
Tapi yang terdengar justru lenguh kematian hewan yang tadi diincarnya. Tubuh kelinci itu tertembus sebatang anak panah. Dan ketika Rangga menoleh, terlihat seorang gadis belia membawa-bawa busur anak panah di tangannya.
"Sial!" umpat Rangga kesal.
"Lho, kok marah?! Seharusnya kau berterima kasih, karena telah kubantu menangkap kelinci buruanmu itu," sahut gadis itu sambil mendekat ke arah Rangga.
Rangga diam saja tidak menyahut. Dan ketika gadis belia itu hendak mengambil kelinci buruannya, Rangga melangkah pelan meninggalkannya.
"Hei, tunggu! Apakah kau tidak ingin menyantap daging kelinci ini?" teriak gadis belia itu sambil berlari kecil dengan tangan kiri menenteng kelinci hasil panahannya. Rangga menoleh sekilas.
"Itu hasil buruanmu, maka kau berhak memperolehnya!"
"Tidak. Aku memanahnya untukmu!"
"Untukku?" Gadis itu mengangguk sambil mengangsurkan kelinci di tangannya ke arah Rangga.
"Nah, terimalah!"
"Adik kecil, kau baik sekali. Kebetulan, aku memang lapar...," sahut Rangga menerima kelinci itu.
Tapi, tiba-tiba gadis belia itu menarik kembali tangannya dengan wajah cemberut.
"Siapa bilang aku adik kecilmu?!" dengus gadis itu ketus.
Rangga mengerutkan dahi, melihat tingkah gadis belia ini. Apakah kata-katanya tadi salah? Melihat dari wajahnya, gadis ini belum lagi lima belas tahun. Dan rasanya, pantaslah bila disebut begitu.
"Aku punya nama, dan kau boleh memanggilku Andini!"
"Hm, Andini. Nama yang bagus dan indah. Sangat sesuai dengan orangnya yang cantik dan rupawan," puji Rangga.
Mendengar pujian itu, gadis belia yang bernama Andini tampak tersipu malu. Tapi, kemudian wajahnya kembali ketus sambil mengangsurkan kelinci itu,
"Nih! Tapi jangan coba-coba panggil aku adik kecil lagi!"
"Andini...!"
"Heh!"
Namun pada saat itu, terdengar seseorang berteriak memanggil gadis itu. Keduanya menoleh. Tapi, Andini kemudian membuang muka sambil mendengus sinis ketika melihat sesosok pemuda berwajah tampan dan berbaju indah, tengah mendekat sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa lagi yang kau perbuat di sini? Apakah kau mengganggu orang itu?!" bentak pemuda itu.
"Siapa yang mengganggu? Aku hanya menolongnya...!" sahut Andini ketus.
Pemuda itu menggelengkan kepala sambil menghela napas. Kemudian wajahnya berpaling pada Rangga.
"Maaf, Kisanak. Adikku mungkin telah mengganggumu. Dia memang nakal sekali...."
"Ah, tidak mengapa. Dia tidak mengganggu, bahkan membantuku menangkap kelinci ini," sahut Rangga pelan sambil menunjukkan kelinci yang telah ada di tangannya.
"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku hanya takut dia mengganggu orang saja. Karena, hal itu sering sekali terjadi. Oh, ya. Namaku Kesuma Wardhana...."
"Rangga...!"
"Apakah kau seorang pengembara?" tanya Kesuma Wardhana.
"Begitulah. Kalian sendiri?"
"Kami..., eh...," Kesuma Wardhana agak ragu untuk menjelaskan siapa dirinya sesungguhnya.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama, ketika beberapa orang prajurit kerajaan muncul. Kemudian, mereka memberi hormat pada Kesuma Wardhana dan Andini. Bahkan salah seorang di antara prajurit itu memanggil pangeran, sehingga membuat Rangga yakin akan dugaannya.
"Pangeran Kesuma, kita telah jauh meninggalkan istana kerajaan. Apakah tidak sebaiknya pulang?"
"Sebentar, Paman...."
"Maaf, aku betul-betul tidak mengetahui bahwa kalian adalah putra-putri dari kerajaan...," sahut Rangga sambil memberi hormat sebagaimana mestinya.
Dan walaupun Rangga sendiri adalah Raja Karang Setra, tapi dalam petualangannya dia merasa sebagai pendekar biasa. Bahkan dia tak ingin orang lain mengetahui, siapa dirinya yang sebenarnya.
"Ah! Jangan banyak peradatan, Sobat. Kami memang sedang berburu. Tapi, sebentar lagi senja tiba. Sedangkan perjalanan ke kotaraja cukup jauh. Sebenarnya, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Ah, tak apalah. Mungkin lain kali kita bisa bertemu kembali," sahut Kesuma Wardhana.
"Hei! Jangan lupa. Kalau kau sedang berada di kotaraja, mampirlah ke tempatku" teriak Andini sebelum berbalik meninggalkan Rangga seorang diri.
"Mudah-mudahan...!"
"Jangan mudah-mudahan, tapi harus! Kalau tidak, akan kusuruh prajurit-prajurit kerajaan untuk menghukummu. Dan satu hal lagi yang perlu kau ingat, jangan coba-coba panggil aku adik kecil lagi. Aku bukan adik kecilmu, tahu?!"
Rangga tersenyum kecil sambil menganggukkan kepala. Dan, barulah gadis itu tampak melemparkan senyum manis.
"Andini, kau keterlaluan! Kenapa kau berbuat begitu padanya? Itu tidak baik dan tidak sopan!" omel Kesuma Wardhana ketika mereka telah agak jauh dari Rangga.
"Apa yang tidak baik, dan apa yang tidak sopan? Kalau tidak baik, tentu dia akan marah. Dan kalau tidak sopan, tentu dia akan menegurnya. Tapi, tidak dilakukannya, bukan? Berarti aku berkata dengan semestinya!"
"Tapi mana mungkin dia berani selancang itu, setelah mengetahui siapa dirimu...."
"Sebelum kalian datang, dia toh tahu siapa aku! Tapi dia diam tidak menegurku."
"Mungkin dikira kau anak kecil yang bawel," sahut Kesuma Wardhana sambil menggerutu kesal.
Plak!
"Aduh!"
Tiba-tiba Andini menghajar punggung kakak nya, sampai Kesuma Wardhana berteriak kesakitan.
"Sekali lagi kau berkata begitu, akan kuhajar kepalamu sampai benjol!" gertak Andini garang.
"Andini! Semakin lama, tingkahmu semakin kasar saja. Akan kuadukan pada ayahanda agar kau mendapat hukuman!"
"Adukanlah sesuka hatimu. Aku tidak takut!"
"Kenapa kau marah dan memukulku?"
"Kenapa kau menyebutku anak kecil yang bawel?"
"Karena kau memang masih kecil dan bawel. Kenapa mesti marah kalau kenyataannya begitu?!" Setelah berkata demikian, Kesuma Wardhana langsung berlari menjauh dari adiknya.
"Kuhajar kau! Kuhajar kau!" teriak Andini marah berusaha mengejar kakaknya. Tapi, ternyata lari Kesuma Wardhana lebih cepat lagi. Dan, ketika tiba di tempat mereka menambatkan kuda-kudanya, Kesuma Wardhana langsung melompat ke punggung kuda. Kemudian kudanya cepat dihela dengan kencang.
"Hus.., hus! Heaaa...!"
"Sial!" maki Andini kesal. Tapi, Andini agaknya tidak berhenti sampai di situ. Gadis itu langsung melompat ke punggung salah seekor kuda, dan memacunya dengan kencang untuk menyusul Kesuma Wardhana. Tinggallah prajurit-prajurit kerajaan yang lari terbirit-birit, menyusul kedua junjungannya yang memang tidak pernah akur itu.

***

94. Pendekar Rajawali Sakti : Pendekar AnehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang