BAGIAN 2

528 21 0
                                    

Seorang anak kecil tampak tengah asyik sekali bermain gerobak-gerobakan. Sepertinya, dia merasakan sedang menaiki gerobak sungguhan yang ditarik seekor kuda. Sesekali dari mulutnya terdengar suara gebahan bagai seorang kusir menyentak kudanya yang malas berlari kencang.
"Hush..., hush! Ayo, lari kencang! Lebih kencang lagi! Heaaa...!" teriaknya sambil berlari-lari menarik gerobak mainannya dengan seutas tali.
Tangan kiri bocah itu sesekali menyibakkan rambutnya yang panjang terurai menutupi wajah. Sementara itu, tidak jauh di depannya terlihat beberapa orang lelaki berpakaian serba hitam dan berwajah seram tengah menunggang kuda. Melihat dari tampang dan sorot mata, agaknya mereka bukanlah orang baik-baik. Lebih-lebih, di setiap pinggang mereka terselip golok berukuran besar. Bocah itu berhenti tepat di depan mereka. Diperhatikannya orang-orang itu dengan seksama, kemudian tertawa lucu seperti untuk dirinya sendiri.
"Hi hi hi...! Perutnya gendut seperti kerbau. Dan matanya juling seperti maling!" kata bocah itu sambil menunjuk salah seorang di antara mereka.
Merasa diledek begitu rupa, orang itu menggeram sambil mendelik. "Bocah sinting! Pergi jauh-jauh dari sini sebelum mulutmu kupecahkan!" bentak laki-laki berwajah seram itu dengan suara keras.
"Olalah.... Kalau sedang marah, berubah rupa seperti kambing mengembik," sahut si bocah seperti tidak menghiraukan bentakan orang itu.
"Kurang ajar! Bocah setan, kupecahkan mulutmu agar bisa lebih sopan pada orang tua!" bentak orang itu lagi sambil turun dari kudanya.
Namun, salah seorang temannya yang bertubuh kecil dan berambut putih segera mencegahnya. "Sudahlah, Kardi! Kita harus cepat-cepat sampai di kotaraja. Untuk apa meladeni anak kecil segala."
"Betul. Mari kita lanjutkan perjalanan," sahut salah seorang temannya yang lain.
"Betul, Kardi. Untuk apa meladeni anak kecil? Salah-salah, nanti kau malah malu sendiri," sahut si bocah menimpali dengan tenangnya.
"Hei?!" Laki-laki yang bernama Kardi yang sudah mulai surut amarahnya, kembali bangkit rasa geramnya. Padahal, dia tadi bermaksud menarik tali kekang kuda untuk mengikuti tiga orang temannya. "Kalau belum kutampar mulutnya, bocah ini tidak akan diam sampai kapan pun!" dengus Kardi sambil turun lagi dari kudanya. Langsung dihampirinya bocah itu.
"Uts! Galak betul kerbau ini?" ejek si bocah sambil memiringkan kepala, ketika Kardi mengayunkan tangan hendak menghajar mukanya.
"Sial! Bocah keparat! Pintar juga rupanya kau berkelit, ya? Nih, makan lagi!" dengus Kardi dengan tangan siap melayang ke arah bocah kecil itu.
Tapi kali ini Kardi tidak sudi diremehkan bocah itu lagi. Kaki kanannya cepat digerakkan menyapu ke bawah. Dugaannya, bila bocah itu berhasil menghindar dari tamparannya, maka akan terjerembab dihantam sapuan kakinya. Tapi yang terjadi sungguh membuat kesal orang berperut buncit dan bermata juling itu. Dengan ringan, tubuh kecil itu meloncat tinggi. Dan tiba-tiba....
Desss!
"Akh...!"
"Hi hi hi...! Kerbau goblok kalau terjatuh lucu sekali. Hus..., hus...! Ayo bangun..., bangun!"
Kardi terkejut setengah mati. Bagaimana mungkin bocah itu mampu berbuat seperti tadi. Matanya dikucek-kucek berkali-kali, kemudian keningnya terasa berdenyut bekas tendangan bocah itu. Tak salahkah penglihatannya? Bocah yang diperkirakan baru berusia sekitar delapan tahun, ternyata memiliki tubuh yang ringan. Bahkan tendangannya kuat sekali!
"Keparat! Siapa sebenarnya kau?!" bentak Kardi garang.
"Aku, ya aku. Masa kau tidak mengenali juraganmu sendiri? Akulah pemilik berhektar-hektar sawah di tempat ini. Dan aku pula pemilik dari seluruh istana ini. Nah, Tukang Kuda Goblok. Ayo kembali bekerja sebelum punggungmu kucambuk!" sahut si bocah sambil memelototkan matanya.
Kardi mulai berpikir. Kalau bukan gila, pasti bocah ini terlalu berkhayal jauh. Di tempat yang gersang dan hanya ditumbuhi ilalang ini, sejauh mata meman-dang tidak terdapat sepetak sawah pun. Dan lagi pula, mana ada bangunan istana selain rimba lebat yang jauh di belakang mereka? Tapi karena marahnya, dia tidak memikirkan lagi siapa di hadapannya.
"Bocah kurang ajar! Terimalah hukuman dariku!" bentak Kardi sambil mengayunkan kaki kanan.
Agaknya, lelaki berperut buncit itu bermaksud menghajar si bocah dengan kejam. Paling tidak, tubuh kecil itu akan tersungkur terkena hajaran kakinya. Bahkan terluka parah! Tapi yang terjadi sungguh membuatnya terkejut dan bertambah marah. Dengan ringan, bocah itu merunduk. Bahkan langsung mengirimkan kepalan tangan yang menghajar bagian terlarang di bawah pusar Kardi.
"Aaa...!"
Kontan saja laki-laki berperut buncit itu memekik kesakitan. Sepasang matanya mendelik menahan sakit. Bahkan tubuhnya sudah berguling-guling dengan kedua tangan memegang bagian bawah tubuhnya. Dari mulutnya terus terdengar erangan kesakitan yang panjang.
Tentu saja hal ini membuat ketiga orang teman Kardi terperanjat. Betapa tidak? Seharusnya pukulan seorang bocah berusia sekitar delapan tahun, tidak akan membuat Kardi mengerang kesakitan yang amat sangat. Apalagi, laki-laki bermata juling itu diketahui memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup lumayan. Tapi, ternyata yang terjadi justru sebaliknya.
"Ki Gembyong! Bocah itu mungkin bukan bocah sembarangan!" gumam salah seorang yang bertubuh kurus, kepada temannya yang bertubuh kecil.
"Betul apa katamu, Kalino! Siapa dia sebenarnya, ya?" dahi laki-laki kurus yang bernama Ki Gembyong berkerut.
Bersama dua orang temannya dia turun dari kuda dan menghampiri si bocah yang masih terkekeh-kekeh geli memandangi Kardi yang masih berguling-gulingan di tanah menahan sakit.
"Bocah! Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Gembyong dengan suara lunak.
Bocah itu menghentikan tawanya, lalu memandang Ki Gembyong dengan dahi berkerut. Ki Gembyong bukanlah orang sembarangan. Dia dan temannya dalam rimba persilatan dikenal sebagai anggota Serikat Kawa-kawa Hitam. Seperti banyak diketahui orang, gerombolan itu adalah mereka yang selama ini sering memberontak terhadap pihak kerajaan. Mereka juga banyak menimbulkan kerusuhan di masyarakat berupa, perampokan, pemerkosaan, dan penganiayaan.
Ki Gembyong sendiri termasuk dalam jajaran tokoh utama dalam serikat itu. Maka sudah pasti kalau ilmu olah kanuragannya cukup diandalkan. Walau wajah bocah itu jelas terlihat kekanak-kanakan, namun sempat membuat Ki Gembyong heran. Sebab diyakini betul kalau bocah itu bukanlah bocah sembarangan.
Dia lebih mirip pemuda dewasa yang bertubuh dan berwajah bocah berusia delapan tahun. Lebih-lebih ketika pandangan mata mereka beradu beberapa saat. Terasa betul kalau bocah itu memiliki tenaga dalam kuat. Maka makin yakinlah dugaan Ki Gembyong!
"He he he...! Kakek, wajahmu jelek sekali. Hitam, dekil, dan rusak seperti pantat dandang di rumahku!" ledek si bocah sambil tertawa lucu dan menuding Ki Gembyong.
Pada dasarnya, Ki Gembyong bukan orang sabar. Dia lekas naik darah seperti Kardi. Tapi kali ini Ki Gembyong masih mampu menahan napas dan menekan hawa amarahnya mendengar ejekan itu. Urat di pelipisnya seperti menggembung dan rahangnya terkatup rapat.
"Bocah! Kau telah melukai seorang dari teman kami tanpa sebab. Mau tidak mau, orangtua mu harus bertanggung jawab atas kelakuanmu ini. Antarkan kami pada orangtua mu, biar mereka menerima hukuman karena tidak mampu mendidik anaknya menjadi anak sopan."
"Hi hi hi...! Kakek jelek, kau tahu apa tentang segala yang diajarkan orangtua ku? Merekalah orang paling baik di dunia. Ayahku orang paling tampan, dan ibuku orang paling cantik di dunia ini. Saat ini, memang aku sedang bersedih karena adikku belum juga mendapatkan jodoh. Walau mereka tak menyuruh, sebagai abang, tentu aku merasa bertanggung jawab untuk mencarikannya. Sayang, kalian tidak memenuhi syarat. Selain jelek dan buruk rupa, kalian pun termasuk orang tidak berguna," sahut bocah itu seenaknya.
"Bocah! Siapa yang peduli dengan urusanmu! Cepat antarkan kami pada orangtua mu!" bentak laki-laki yang bernama Kalino mulai tidak sabar, sambil mendelikkan sepasang matanya.
"He he he...! Apalagi rupamu! Lebih tidak memenuhi syarat. Sudah jelek, pemarah pula. Jangankan bertemu adikku. Menjadi pelayannya pun, kau tidak pantas."
"Apa katamu?!" Kalino langsung mencabut goloknya, bermaksud menggertak.
"Jelek, codet, dan lebih tampan kerbau goblok, dibandingkan monyet buduk sepertimu!"
"Kurang ajar!" Dalam kemarahannya itu, Kalino betul-betul tidak bisa berpikir lebih jauh lagi. Akal sehatnya seperti tidak terpakai. Dan dalam pandangannya, bocah itu adalah musuh besarnya yang harus dilenyapkan saat itu juga.
"Mampus!"
Kalino langsung melompat seraya menebaskan goloknya ke arah bocah itu.
"Uts! Apa yang mampus? Kau ingin buru-buru mampus?" ejek si bocah sambil berkelit dari tebasan golok Kalino.
Bukan main kaget dan terkejutnya laki-laki yang memiliki codet di bawah mata kirinya itu, melihat serangannya luput. Namun hal itu hanya sekejap. Dalam kemarahannya, kegagalannya tidak dipikirkannya lebih lanjut. Yang ada di benaknya hanya bagaimana caranya agar bocah di hadapannya itu mampus secepatnya. Maka tidak heran ketika serangan pertamanya luput. Kalino lebih bernafsu melancarkan serangannya. "Yeaaah...!"
"Walah..., walah! Galak sekali kau, Monyet Buduk? Rupanya kau betul-betul ingin mampus buru-buru. Baiklah kalau itu keinginanmu. Aku pasti akan senang hati mengabulkannya," ucap si bocah sambil tersenyum-senyum.
"Hiyaaa...!" Bocah itu cepat menundukkan kepala ketika golok Kalino menyambar. Sementara, kaki kanannya yang kecil dan pendek bergerak cepat menghantam pergelangan tangan Kalino sambil berteriak nyaring.
Duk!
Des!
"Aaakh...!"
Kalino kontan menjerit kesakitan seraya memijit-mijit tangannya. Golok di tangannya pun sudah terlepas dihantam kaki bocah itu yang keras bukan main. Dan belum lagi bersiaga, tiba-tiba muka laki-laki itu harus menerima hantaman pukulan yang begitu keras dari si bocah. Maka seketika terdengar derak tulang wajahnya yang retak. Kalino langsung ambruk dan menggelepar-gelepar, sambil mendekap wajahnya yang berlumuran darah.
"Ha ha ha...! Monyet buduk, kini wajahmu lebih persis monyet korengan!" cela si bocah sambil tertawa kegirangan melihat lawannya sekarang.
Ki Gembyong sendiri langsung bangkit amarahnya melihat kelakuan bocah yang dirasa sudah benar-benar kurang ajar. Sambil menggeram garang, ditudingnya bocah itu. "Jahanam licik! Aku tahu, kau bukan anak kecil biasa. Perbuatanmu tidak bisa dikasih hati. Mampuslah kau di tanganku!"
"Eee, siapa yang ingin mampus! Enak saja kau berkata begitu! Bukankah temanmu yang ingin mampus! Dan sekarang, kau pula yang ingin menyusul mampus. Jadi jangan salahkan kalau aku mengabulkannya," sahut si bocah lantang.
"Banyak mulut! Mampus!" "Yeaaah...!"
Dari telapak tangan Ki Gembyong menderu serangkum angin kencang menyambar tubuh kecil bocah itu. Namun dengan mudah serangan itu dapat dihindari dengan mencelat ringan ke atas. Buru-buru Ki Gembyong mengejar sambil mengayunkan kepalan tangan ke batok kepala, namun cekatan sekali bocah itu menangkisnya dengan tangan kiri.
Duk!
"Uts, haaa...!"
Ki Gembyong meringis kecil ketika tangannya terasa ngilu akibat benturan tadi. Diam-diam, hatinya memuji tenaga dalam bocah ini yang telah mencapai tingkat sempurna. Siapa nyana bocah sekecil ini telah memiliki tenaga dalam yang demikian hebat? Maka, semakin bernafsu saja Ki Gembyong meladeninya. Bahkan tidak canggung-canggung menyerang si bocah habis-habisan. Walaupun kaget merasakan tenaga dalam lawan, tapi sebagai tokoh yang berpengalaman dalam dunia persilatan, mana mungkin Ki Gembyong menyerah begitu saja. Bahkan sudah langsung menghajar kembali bocah itu dengan tendangan kakinya.
"Yeaaah...!" Bocah itu jungkir balik ke kiri, tapi Ki Gembyong sudah langsung menyusulinya dengan tebasan golok. Bisa dipastikan, dengan sekali sambar saja maka tubuh bocah itu akan putus menjadi dua bagian. Tapi yang terjadi berikutnya malah semakin membuat orang tua itu geram saja. Sebab demikian lincahnya bocah itu menekuk tubuhnya sambil melenting ke atas. Maka tentu saja golok lawan lewat beberapa jengkal dari tubuhnya. Namun secara tidak disangka-sangka, sebelah kaki bocah itu melayang ke arah pergelangan tangan Ki Gembyong yang sedang memegang golok.
"Hiyaaa...!"
Plak!
Golok di tangan Ki Gembyong langsung terlempar entah ke mana. Yang jelas, tangannya kontan terasa linu dan nyeri. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi barusan, tiba-tiba bocah itu menyusuli serangannya dengan sebuah tendangan setengah lingkaran sambil memutar tubuhnya. Dan....
Des!
"Aaakh!"
Ki Gembyong menjerit kesakitan ketika dadanya terkena hantaman kaki lawan. Orang tua itu kontan terhuyung-huyung sambil menahan nyeri. Beberapa tulang iganya terasa patah. Tapi pada saat yang bersamaan, tubuh bocah itu tanpa di duganya sama sekali telah melesat sambil mengirim serangan susulan.
"Sukarsa, apa-apaan kau ini?!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus yang membuat bocah itu menghentikan serangannya. Dan tahu-tahu, di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh wanita berparas cantik. Bajunya warna-warni seperti yang dikenakan bocah itu. Rambutnya yang panjang dan agak kemerah-merahan dibiarkan lepas begitu saja. Sebagian malah menutupi wajahnya. Sebenarnya, kulit gadis itu terlihat putih. Namun, ada kesan kusam dan kotor. Begitu pula pakaiannya. Agaknya, wanita itu memang tidak pandai mengurus dirinya sendiri.
"Eee, Antika. Kenapa pula kau ada di sini? Ayo pulang, biar aku yang mencarikan calon suami untukmu!" sahut bocah itu sambil mengulurkan tangan.
"Aku tidak mau dicarikan olehmu. Biarlah kucari sendiri!"
"Hik hik hik...! Belum ada yang memenuhi syarat... Belum ada," sahut bocah itu berulang-ulang sambil menggelengkan kepala.
"Apakah monyet-monyet buduk ini hendak kau calonkan padaku?" tanya gadis yang dipanggil Antika, dengan mata melotot garang pada bocah yang ternyata bernama Sukarsa.
"Phuih! Siapa sudi?! Jangankan kau. Aku sendiri saja mau muntah melihatnya! Mereka hanya sekumpulan monyet yang tidak berguna!"
"Bocah! Jangan sembarangan bicara! Siapa yang sudi dicalonkan dengan perempuan dekil seperti dia!?" sahut salah seorang di antara kawanan itu, yang sejak tadi hatinya ciut melihat teman-temannya mudah dipecundangi.
"Apa katamu?!" sepasang mata Antika melotot marah.
"Gadis dekil dan bocah keparat!"
"Bangsat!" maki Antika. Langsung gadis itu mencelat ke arah orang itu, mengirimkan satu serangan kilat.
Orang itu tersentak kaget. Gerakan gadis ini ternyata gesit dan cepat. Maka dengan semampunya, tubuhnya berkelit. Maka serangan itu hanya lewat di sisinya. Kemudian goloknya langsung dicabut dan dikibaskan ke arah pinggang ramping lawan.
"Yeaaah...!" Plak!
Namun, Antika tidak kalah gesit. Tubuhnya langsung melesat ke atas. Dan tanpa diduga sama sekali, kakinya melepaskan tendangan. Dan....
"Aaakh...!"
Orang itu menjerit kesakitan ketika ujung kaki Antika menghantam dagunya. Bahkan langsung terhuyung-huyung dengan mulut meringis dan mengucurkan darah.
"Rasakan bila berani berkata sembarangan di depanku!" dengus Antika geram, begitu telah mendarat kembali di tanah.
"Ha ha ha...! Sudahlah, Antika. Kau semakin membuat wajahnya lebih buruk dari monyet buduk. Aku sampai tidak ingat makhluk apa yang lebih jelek dari ini!" sahut Sukarsa sambil tertawa-tawa.
"Biar dia tahu rasa berani menghina kita!" dengus Antika.
"Biarlah kita cari yang lain saja. Mari tinggalkan tempat ini!" ajak Sukarsa sambil berlalu dari tempat itu.
Antika melirik sesaat pada orang-orang itu, kemudian sambil mendengus garang mengikuti jejak Sukarsa dengan wajah masam. Sementara itu, dari jauh terdengar suara Sukarsa yang mendorong gerobak mainannya. Sedangkan saat itu, Ki Gembyong tampak menggelengkan kepala lesu sambil berusaha membimbing beberapa orang temannya. Mereka berlalu dari tempat itu dengan membawa segudang dendam.
"Suatu saat, kalian akan menerima ganjaran yang setimpal. Tunggulah pembalasan kami," geram Ki Gembyong hampir tidak terdengar, sambil mengepalkan tangan.

***

94. Pendekar Rajawali Sakti : Pendekar AnehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang