4. Lindungi Kamu.

28 0 0
                                    

Kantin.

Tempat yang sangat ramai dan juga berisik!

Aku benci di sini.

"Mau duduk di mana?" Tanyamu saat kita sampai di depan kantin.

Aku menatap matamu malas. "Di kelas," jawabku singkat.

"Ish!" Kau mendesis sinis. Lalu menarikku ke meja paling ujung, tempat yang sedikit sepi dari keramaian. "Kita duduk di sini aja."

Aku memandang tempat itu beberapa saat. Yah, walau agak berisik, setidaknya tidak terlalu ramai. Hanya ada satu warung yang sangat sepi pengunjung di sini.

Aku duduk di depanmu, membuka bekalku dan mulai memakannya. Mendadak aku terdiam, aku merasa telah melupakan sesuatu.

Ah iya, minumnya ketinggalan.

Segera ku menutup bekalku kembali lalu bangkit dari tempat duduk. "Lo mau kemana?" Tanyamu dengan mulut penuh dengan makanan.

"Minum gua ketinggalan."

"Oh, gampang." Kau berusaha menelan semua makanan yang ada di mulutmu, lalu berdiri di depanku. "Kita beli aja, gue yang traktir."

"Gak, gua beli sendiri aja." Aku mengambil uang di saku dan memberikannya padamu.

"I don't care. Gue udah bilang mau traktir lo, jadi lo harus terima," katamu pergi.

Huft...
Aku menghela napas, memandangmu mengantri di sana, lalu duduk kembali.

"Jangan coba - coba kabur yah!" Serumu dari sana yang sangat terdengar jelas di telingaku.

Aku menoleh, melihatmu yang mengarahkan jari telunjuk dan jari tengahmu ke arahku dan matamu bergantian, seperti orang mengancam.

Cih! Bodoh. Kata batinku melihat tingkah anehmu itu. Aku lalu kembali menyantap bekalku sambil menunggu mu kembali.

"Benerkan kata gue, lo pacaran sama tuh cewek."

Aku tersentak. Babeh si penjaga pintu gerbang mendadak duduk di sampingku. Aku berusaha menelan makananku cepat, agar bisa membantah dugaan itu.

Akkhh! Sial!
Sayangnya aku tersedak. Sesuatu menyumbat tenggorokanku. Aku batuk - batuk. Mungkin saat itu wajahku sudah merah menahan sakit di tenggorokan.

"Sorry - sorry. Gue kelamaan beli minumnya." Kau akhirnya datang, untuk kali ini aku menganggap mu seperti malaikat penyelamat. "Cepet minum yang banyak," katamu memberikan air mineral padaku.

Kurasakan tangan lintikmu mulai mengusap halus punggungku. Wajahmu terlihat khawatir, kau terus menatapku tanpa henti sampai aku berkata, "Gua udah gak papa."

"Bener gak papa?"

"Iya."

Kau menghela napas lega lalu kembali duduk di depanku.

Aku masih berusaha menenangkan diri. Menyesuaikan napas yang tadi sempat terasa sesak.

"Benerkan kata gua, kalian pasti udah jadian," Babeh, pria parubaya itu kembali bicara.

Entah kenapa, aku mulai tidak menyukai orang tua ini.

"Enggak, kata siapa kita jadian?" Tanyamu ikut menolak dugaan itu.

"Ini buktinya, duduk di pojokan makan beduaan. Truss, barusan mesra banget lagi. Untung aja gue di sini, kalau kagak pasti di sangka enggak - enggak."

Aku mendengus, melirik orang tua itu dengan sedikit sinis. Aku menyunggingkan senyum miring saat matanya tajam melihatku, seolah tidak terima aku tertawakan.

"Kenapa lo kayak gitu?" Tanya Babeh akhirnya.

"Kenapa Babeh cuma merhatiin kita aja? Emang, yang di pojok itu gak ngelakuin hal yang enggak - enggak?" Sindirku menunjuk ke arah seorang pria yang tersenyum ke arah wanita yang duduk di depannya.

Mereka terlihat sangat dekat, bahkan terlalu dekat karena jika ku perkirakan jarak antara wajah mereka hanya satu jengkal. Di tambah tatapan antara keduanya juga terlihat sangat aneh bagiku.

"Waduh, gawat ini." Babeh ikut memandang kejadian itu.

Dia langsung mengambil HP lalu mengetik sebuah pesan.
Tak lama dia kembali menyeruput kopi yang sudah tersedia di depannya.

"Heh? Babeh gak mau negor mereka?" Tanyamu heran sama sepertiku, karena Babeh terlihat sangat santai dan mengabaikan pasangan itu.

"Gue gak bisa ngurus yang onoh, ini mah urusannya sama Babeh Asep. Cuma dia yang bisa ngatur anak itu."

"Emang siapa mereka?" Tanyamu lagi penasaran.

"Yang cowok itu namanya Boy, dia anak pejabat. Kepala sekolah segan sama bapaknya, jadi setiap masalah menyangkut anak itu pasti bakal di urus cepat."

"Ooh kayak di film - film itu yah? Cowok bad boy yang suka main perempuan?"

"Yah, bisa dibilang gitu."

"Wah. Ternyata ada yang kayak gitu juga di dunia nyata."

Kau dan Babeh terus bicara, aku mulai sedikit terganggu. Aku berusaha mengabaikan obrolan kalian dengan makan makanan ku.

"Gue ingetin buat kalian berdua. Khususnya buat lo," tunjuk Babeh padamu.

"Jangan pernah berhubungan terlalu dekat dengan Boy. Kalau teman ya sekedar teman aja, jangan lebih. Gue takut lo bakal terjerumus juga. Karena kalau Boy udah suka sama cewek, dia bakal kerjer terus."

"Wah psychopat juga tuh cowok," katamu.

Babeh lalu menepuk pundakku. Untuk kedua kalinya aku kembali tersentak, tapi untunglah aku sudah menelan semua makananku.

"Buat lo. Walau lo bukan pacarnya. Tolong jagain dia. Jangan sampe si Boy itu beduaan sama dia. Ngerti?"

Aku mengernyit heran, Babeh seolah melimpahkan tanggung jawab padaku. "Kok gua? Emang dia siapa gua?" Kataku menolak.

PLETAKK

Suara jitakan itu terdengar nyaring dari kepalaku. Aku hanya bisa meringis kesakitan. Dan kau, teganya kau tertawa saat aku di jitak!

"Lo itu cowok! Siapa pun cewek yang lo kenal, harus lo lindungi. Gimana sih?"

Hah? Untuk apa aku harus melindunginya? Siapa dia? Apa hubungannya denganku? Batinku saat mendengar ucapan Babeh.

Saat itu aku tidak tau, bahwa sebenarnya di saat itulah aku mulai dekat dengan mu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LibraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang