GABIN | 3

34 4 0
                                    


( Makan siang )

Nala berusaha meredam kemarahannya agar tidak meledak. Apa maksudnya tadi, berdiri di samping cowok itu? Nala heran. Kenapa hidupnya terus diisi dengan cowok Badboy. Cukup sudah, Nala tidak ingin ada masalah baru lagi. Hidupnya sudah cukup kacau.

"Maksud lo? " Nala memberanikan diri menatap Alzi, yang masih memandangnya takjub.

"Lo, Lo harus mau jadi pesuruh gue! "

Nala tidak salah dengarkan?

"Salah gue apa? " tanya Nala, kalau hanya karena masalah tabrakan kemarin. Nala siap kalau harus disuruh mengobati lukanya, walaupun benjolan itu sudah terlihat mengempes.

"Lo nabrak gue kemarin dan—"

"Ayok, UKS." sela Nala, yang langsung dapat tolakan tegas dari Alzi.

"Nggak. Gue nggak mau. Lo cuma harus jadi pesuruh gue. Atau hidup lo nggak bakalan tenang, " ancaman mutlak dari Alzi, untuk yang keduakalinya. Nala hanya bisa menatap kosong atas kepergian Cowok itu. Beberapa kalimat itu terus terulang di kepalanya. Dengan kasar Nala menghapus air mata di pipi. Lain Nala, lain pula dengan Alzi, yang saat ini tengah bingung atas apa yang telah diucapkannya. Bodoh, seharusnya Alzi tidak menggunakan kata pesuruh. Maksudnya tidak seperti itu.

Hingga istirahat kedua berlangsung-pun Alzi masih memikirkan perkataannya tadi. Lagi-lagi yang dilakukannya sekarang, sangat jauh dari seorang Alzi yang selama ini orang lain kenal. Tidak ada sejarahnya Alzi pergi ke kelas lain  untuk menemui seseorang. Apalagi seorang wanita. Semua siswa-siswi kelas XII IPA 4 harap-harap cemas, kali ini siapa lagi yang akan dapat bogeman gratis dari Alzi.

Suasana kelas yang menjadi hening, mengundang rasa penasaran cewek itu. Nala mengangkat mata, lalu matanya bertemu dengan mata Alzi yang menatapnya datar. Nala langsung memutuskan kontak, menutup novel di tangannya. Baru saja Nala akan berdiri, Alzi sudah sampai di samping kursinya. Para wanita di kelas menatap keduanya dengan tatapan bingung. Tidak mungkin, bukan, sasaran Alzi kali ini seorang perempuan?

Merasa tangannya dicekal membuat Nala menepis tangan itu kasar. Bukan, Alzi namanya, jika tidak keukeuh dengan pendiriannya. "Masih ingat kata-kata gue, kan? Apa perlu gue ulangin lagi, biar lo mau nurut? " Nala mendesah pasrah.

"Sekarang apa? " tanya Nala yang semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam, sekarang ia sudah menjadi pusat tontonan teman sekelasnya.

"Ikut gue ke kantin! " Alzi menarik tangan Nala. Kantin bukan sesuatu tempat yang disukai Nala, terlalu ramai, ia sulit beradaptasi dengan lingkungan yang terlalu banyak orang.

"Gue nggak mau! " tolak Nala dengan suara sangat pelan.

"Lo masih ingatkan? "

"Oke, baik, tapi gue nggak mau jalan sambil ditarik gini! " Alzi mengarahkan tatapannya pada tangan yang masih memegang tangan wanita itu, refleks ia melepas.

Alzi berjalan terlebih dulu, Nala mengekor di belakang, mereka berdua terus menjadi pusat perhatian, bahkan sampai kantinpun keduanya masih mencuri perhatian banyak orang. Wajar saja, Alzi adalah siswa famous di Cempaka.

Banyak yang menatap tidak suka kepada Nala, bagaimana bisa wanita aneh itu sekarang berjalan di dekat cowok idaman kaum hawa.

Alzi menemukan Genta yang sedang khidmat menyantap bakso di meja paling pojok, tidak terusik sedikitpun dengan bisik-bisik para cewek tukang gosip di meja sebelah.

Mendengar suara bangku di depannya di isi seseorang, membuat Genta mendongak. "Anjiir, gue kira dedemit! " ucap Genta sambil mengusap dadanya. Ingin sekali Alzi menoyor kepala manusia sableng di depannya sekarang.

"Lo mau terus berdiri? Atau duduk? "

"Ngg, gue berdiri aja. "

"Yaelah, Zi. Gitu amat lu sama cewek, nyantai dong, nggak usah make urat gitu. Cewek mana suka sama cowok kasar, " kelakar Genta, disela kunyahannya.

"Duduk dulu, Nal! Ntar anu-nya jadi panjang lho, " ucap Genta sok-asik. Nala mengangguk sopan dan duduk di pinggiran bangku panjang itu.

"Nah, tuh kan. Gitu Zi kalo mau memperlakukan cewek, " Genta kembali menggurui, Alzi mendengus.

"Lo mending pesenin gue makan sekarang! " perintahnya melirik sedikit ke arah Nala yang sibuk menunduk.

"Hah, apa? "

"Hah, hoh, hah, hoh. Lo nggak denger atau emang pura-pura tuli, " Genta menatap interaksi dua sejoli di depannya dengan decakkan.

"Udah, udah. Biar gue yang pesen deh. Lo mau apa, Zi?" putus Genta yang sudah mulai kesal. Alzi menatapnya dengan alis terangkat, lalu kembali menatap cewek di sampingnya.

"Mie ayam gue. "

"Lo mie ayam, Zi! Gue kira masih human, " mendapat tatapan tajam dari Alzi membuat Genta terkekeh.

"Canda elah. Lo, Nal! Mau makan apa? "

"Nggak perlu, " tolaknya halus.

"Oke, nasi goreng ya. Minumnya, minumnya apa? " tanyanya lagi bergantian menatap dua orang di depannya. Belum sempat keduanya bersuara Genta sudah memutuskan.

"Oke, tunggu disini jangan kemana-mana. Biar gue yang baik hati ini beliin makanan. "

Alzi berdecak melihat tingkah gelo Genta.

"Kalian tau nama gue? " Alzi menaikkan alisnya.

"Hmm, nggak usah ke pedean. Gue nggak nyari tau nama lo kok."

"Loh,  gue-kan cuma nanya. " kenapa cowok di sebelahnya ini sangat menyebalkan. Nala menghela napasnya, tidak lama Genta datang.

"Gimana, baikkan gue, " ucapnya menaik turunkan alis. Sudah tersaji sepiring nasi goreng dan mie ayam di atas meja. Lengkap dengan dua teh es.
"Terimakasih, tapi gue nggak laper. "

"Nggak bisa gitu dong, Nal. Gue udah beliin ini, " protes Genta.

"Makan aja udah! " Nala menghela napasnya pasrah, lalu mulai menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Lo murid pindahan, kan? Kenapa lo pindah ke cempaka? " tanya Genta penasaran.

Jleb.

Ekspresi wanita itu berubah seketika. Selama ini tidak pernah ada yang menanyakan alasan kepindahannya Nala harus merangkai kalimat karangan.

"Eumm, eh, itu Orangtua gue mutusin buat pindah rumah, karena jaraknya jauh sama sekolah gue dulu, jadi gue pindah sekolah juga. " ucapnya terdengar gugup.

Genta manggut-manggut mendengar penjelasannya. Setelah itu Nala hanya diam menunduk, sesekali mendongak melihat tingkah konyol kedua cowok yang sedang terlibat obrolan santai khas para cowok yang tengah bercanda gurau.

Nala rindu memiliki seorang teman. Di kantin ini ia merasa sendirian, di tengah suasana yang ramai. Matanya berpencar ke seluruh kantin mengamati satu persatu orang-orang yang ada di sana. Pandangan sinis dari beberapa siswi masih ia dapatkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di kantin sekolah.

Tiba-tiba tatapannya berubah sendu ketika melihat tiga cewek yang sedang tertawa bahagia disela perbincangan mereka, Nala pernah seperti itu, ia pernah memiliki seorang teman dekat. Sangat dekat malah.

Tapi sekarang tidak lagi, semenjak kejadian itu orang-orang enggan berteman dengannya, sebagian lagi memandangnya dengan rendah. Seolah ia memang tidak pantas untuk menjadi teman atau pasangan siapapun.

Sekarang hanya ada dirinya sendiri.



GABINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang