"Kak Nai, camilaaaaaan!" Rengek Archen seperti anak kecil yang perutnya cacingan.
Nai mengerang. Sekarang jam satu pagi dan mereka berdua sedang berada di apartemen Nai. Lebih tepatnya, kamar Nai.
Jadi apa yang Archen Aydin lakukan di kamar Nai?
Alasannya ada dua, kata Archen. Satu, dia malas pulang ke rumah. Dan dua, dia takut kalau pulang bukannya menghafal dialog, dia malah tidur.
Jadi di sinilah Archen. Di atas kasur Nai, selonjoran sambil komat-kamit menghafal dialog Romeonya.
Sedangkan Nai?
Nai duduk di pojok kamarnya, menghadap dinding. Tidak menghiraukan Archen yang merengek-rengek minta camilan dengan tidak tahu diri.
"Kak Nai, camilan dooong!"
Suara setan itu kembali muncul, membuat alis Nai berkedut-kedut. Tapi Nai tetap tidak menghiraukan.
"KAK NAII!"
"APASIH ACENNNN?!" Semprot Nai. Kali ini benar-benar tidak tahan.
"Camilan." Kata Archen polos—atau sengaja memasang tampang polos.
Nai ingin menangis.
"Lima belas menit lalu udah aku gorengin keripik loh.""Udah habis, kak." lagi, Archen memasang tampang polos itu. "Aku laper, Kak." lanjutnya, masih dengan tampang sok inosen.
"Camilanku habis, Chen" jawab Nai ketus.
Archen mengerang, "Tapi aku nggak bisa ngafalin dialog kalo perutku kosong."
"Kosong? Kamu udah ngabisin seluruh camilan di apartemenku dan kamu bilang perutmu kosong?" suara Nai meninggi, tiba-tiba bernapsu untuk melempar kursi lipatnya ke Archen.
"Ini dialognya jijik banget kak, menguras tenaga." katanya merajuk.
Dialog jijik, kata Archen. Amarahnya menggelegak mendengar itu. Makanya, Nai bingung mau menjawab apa. Jadi pada akhirnya, dia keluar kamar, daripada harus menghabiskan tenaganya untuk bertengkar dengan Archen.
"Oi Kak Nai mau kemana?"
Sayup Nai mendengar suara Archen setelah dia menutup pintunya. Nai tidak repot-repot untuk menjawab. Dia berjalan menuju kulkas, minum dua teguk air dingin, kemudian berjalan ke beranda.
Angin dingin menerpa rambutnya. Tapi Nai hanya diam, melihat kerlip lampu jalanan di bawah sana.
Sudah hampir tiga tahun dia tinggal di Indonesia sendirian, pikirnya. Sebentar lagi dia lulus SMA. Tahun ini, adalah tahun terakhirnya di Indonesia. Sebenarnya sih, Nai ingin mengisinya dengan hal-hal yang menyenangkan. Memenangkan lomba menyanyi, sudah. Mempunyai teman-teman yang bisa mengerti dia, sudah. Walaupun Nai malas mengakuinya, teman-teman di tim basket sekolahnya, yang awalnya adalah teman Joong, lumayan oke untuk dijadikan teman—minus Saisi tentu saja, karena dia manajer dan Nai masih merinding setiap menatap matanya. Tinggal satu keinginan Nai yang belum terlaksana.
Punya pacar.
Tapi Hell, mencari cowok gay di Indonesia itu nggak semudah mencari cowok gay di Amerika. Sebenarnya Nai bisa saja mencari cowok di klub gay, tapi sial, Nai terlalu sibuk dengan kegiatan paduan suara di sekolahnya dan seabrek lomba menyanyi yang dia ikuti sehingga waktu Nai untuk pergi ke klub pun tidak ada. Jadi tanpa Nai sadari, nasib kejombloannya menghantuinya.
Ditambah dia berteman dengan Archen.
Iya, si Archen. Kunyuk itu. Kunyuk yang menyebalkan itu. Kunyuk yang minta digaplok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
✓ Worse than Nightmare (J9 version)
Roman d'amour"Hidup sebagai gay di Indonesia itu sungguh nggak mudah. Apalagi kalau sahabatmu sendiri adalah cowok populer di sekolah. Terlebih lagi jika sahabatmu itu homophobic." Nai dan Archen bersahabat baik sejak kelas 1 SMA. Tetapi apa yang terjadi kalau m...