Nai terbangun di tengah malam, menatap langit-langit kamarnya yang kusam dalam diam. Dahinya berkeringat, alisnya bertaut, bertatapan dengan laba-laba yang menghuni jaring yang tersulam di sudut-sudut ruangan.
Archen…
Satu nama itu muncul dalam pikiran Nai.
Dia memimpikan saat pertama kali dia bertemu dengan orang itu. Saat Nai begitu sebal padanya dan ingin mengenyahkan orang yang super malas dan super mengesalkan itu ke ujung dunia. Saat Nai begitu merutuki nasib SMA nya yang malah diisi dengan kegiatan tidak bermanfaat bersama Archen.
"Kadang aku nggak ngerti kenapa aku mau-maunya temenan sama kamu," itu adalah kalimat yang selalu Nai ucapkan saat dia begitu kesal dengan Archen. Biasanya Archen hanya akan tertawa dan menganggapnya angin lalu. Tapi Archen ingat, ada saat ketika Archen waras dan menjawabnya dengan serius.
"Mungkin karena aku melihat kakak seolah aku melihat cermin," katanya. Nai sedikit banyak mengerti apa maksudnya. Karena dia merasakan hal yang sama seperti apa yang Archen rasakan. Mereka itu bagai dua orang yang sama. Nai melihat Archen seperti melihat bayangan dirinya. Bodoh, keras, mencintai basket seperti Nai mencintai musik, cara mereka memandang suatu masalah, semuanya sama.
Mereka memang bukan pribadi yang sama. Nai sadar, perbedaan itu memang ada. Tapi layaknya koin, mereka itu sisi berbeda di dalam koin yang sama. Mereka itu satu kesatuan. Dan kapan lagi Nai bisa menemukan orang seperti itu? Makanya, Nai tidak ingin menghancurkannya. Satu-satunya cara untuk melindungi dirinya dan Archen, adalah dengan tidak membiarkannya melebihi batas pertemanan.
Karena di luar batas itu, adalah zona tanpa kepastian. Dan Nai tidak mau kehilangan Archen untuk sesuatu yang tidak pasti.
Nai tidak mampu. Dan dia tidak mau. Jadi daripada memikirkannya lebih lama, Nai membiarkan matanya terpejam sekali lagi. Toh, setelah ini adalah hari Sabtu.
.
.
Omong-omong soal hari Sabtu, ketika matahari sudah tidak malu membagikan sinarnya, itu adalah saat yang paling membahagiakan bagi siapapun yang membenci sekolah. Tapi bahkan, di hari Sabtu pun, tidak membuat Archen sebahagia biasanya. Karena Archen tidak dapat berhenti mereka-ulang kejadian kemarin sore, saat dengan tidak warasnya menawari Nai untuk berpacaran.
"Kenapa nggak kita coba jalani?"
Ya ampun. Bahkan dari tata kalimatnya saja membuat Archen mempertanyakan kemana saja otaknya seharian kemarin. Belum lagi semua jawaban Nai yang membuat Archen kesal luar biasa. Archen kesal karena Archen tahu itu benar. Archen tahu jika dia dan Nai mencoba menjalani apapun itu namanya, pertemanan mereka akan dipertaruhkan. Archen tahu semua itu. Tapi tetap saja, melihat Nai bersama Brian, dan melihat mereka melakukan apa yang tidak bisa Archen lakukan bersama Nai, membuat Archen luar biasa sedih.
Apa ini cara hatinya untuk mengelabui Archen? Karena Archen masih tidak mampu untuk memberi nama perasaannya?
Sebenarnya, apasih artinya menyukai? Apasih artinya menyayangi? Archen masih belum paham semua itu. Yang dia pahami, dia ingin Nai. Sudah, itu saja.
Tapi Nai mempermasalahkan orientasi seksualnya. Archen straight, katanya. Dan selama 18 tahun Archen hidup di dunia, dia tahu kalau itu benar. Dia tertarik dengan perempuan. Dia otomatis tahu kalau Davikah adalah titisan dewi dari langit yang dikirim untuk orang-orang yang haus seperti Archen.
Jadi, siapa yang bisa menjelaskan pada Archen, kenapa dia begitu menginginkan Nai?
Kemarin malam dia begadang untuk bereksperimen. Eksperimen kacangan, sih. Hanya untuk meyakinkan Archen kalau dia masih napsu melihat perempuan. Saking penasarannya kenapa sampai dia bisa tertarik pada leher sewarna madu Nai kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
✓ Worse than Nightmare (J9 version)
Storie d'amore"Hidup sebagai gay di Indonesia itu sungguh nggak mudah. Apalagi kalau sahabatmu sendiri adalah cowok populer di sekolah. Terlebih lagi jika sahabatmu itu homophobic." Nai dan Archen bersahabat baik sejak kelas 1 SMA. Tetapi apa yang terjadi kalau m...