Malam itu di kamar kediaman Archen, Archen mondar-mandir dari pojok utara ke pojok selatan. Sudah sekitar tiga puluh menitan dia seperti itu. Kadang-kadang dia berhenti sebentar untuk duduk di kasur dan mengumpat-umpat sendiri, kadang dia juga curi-curi memandang ponselnya. Kalau kata Verin sih, kelakuan macam begini tanda-tanda orang galau.
"Nggak lah! Aku nggak akan pernah galau karena apapun atau siapapun." Archen ingat dia berteriak seperti itu pada Verin. Tapi segera menutup mulutnya saat Verin mengingatkannya akan si Ebi, Udang peliharaannya yang mati saat dia umur tujuh tahun.
Fine, Archen pernah galau karena Ebi. Dia mengakuinya. Tapi selain itu, tidak pernah! Apalagi galau karena Kak Nai—yang omong-omong sudah mengabaikannya selama lima hari.
Lebih parahnya, Nai hari ini sama sekali tidak bisa dihubungi. Jangankan mengangkat teleponnya, membalas satu chatnya pun tidak. Padahal Archen sudah membubuhi chatnya dengan ancaman serta doa macam 'aku sumpahin kakak jomblo seumur hidup kalau nggak bales emailku' dan sebagainya.
Tapi semua tetap nihil. Dan itu yang membuat Archen galau—maksud Archen frustasi sendirian di kamarnya tanpa kabar apapun dari si kakak.
Menghabiskan sepuluh detik setelahnya dalam hening, Archen bermaksud mengetik pesan entah keberapa-nya untuk Nai. Tapi sebuah teriakan menghentikan gerak jemarinya.
"Kalau kamu mau keluar dari rumah ini, jangan bawa-bawa Archen!" suara histeris Ibunya memecah hening. Archen melebarkan matanya, lalu berdiri dan berderap keluar kamarnya. Dia kemudian turun ke ruang makan hanya untuk melihat Ibu dan Ayahnya sedang melakukan kegiatan yang akhir-akhir ini sering mereka lakukan: bertengkar.
"Kamu pikir siapa yang selama ini membiayai sekolah Archen?"
Archen menghembuskan napas lelah. Dia sudah direpotkan oleh segala tingkah ajaib Nai, dan sekarang bertambah dengan ini.
"Oh, hanya karena kamu membiayai sekolah Archen lantas kamu berhak membawanya dari rumah ini? Archen itu anakku! Aku membesarkannya sementara kamu sibuk kesana kemari main perempuan!"
"Siapa yang main perempuan?"
"Kamu kira aku nggak tahu?!"
Archen memijat kepalanya yang sakit tiba-tiba. Mendengar kedua orang tuanya saling berteriak di depan muka masing-masing membuat telinganya sakit. Archen tidak pernah tertarik tentang masalah orang tuanya. Biasanya kalau mereka bertengkar, Archen akan naik ke kamarnya, memasang head-set dan menghabiskan waktu ngobrol dengan Nai. Atau kalau teriakan Ibunya sudah menjadi-jadi, Archen akan menelepon Nai dan curhat masalah cewek yang baru dikencaninya kemarin.
Tapi sekarang?
Archen menggeleng saat Ibunya makin berteriak-teriak histeris. Kadang Archen malu pada tetangganya. Sudah berapa lama mereka berdua seperti ini? Sudah berapa lama Archen menulikan telinganya untuk mendengar pertengkaran orang tuanya yang makin lama makin bertambah serius?
"Aku capek!" teriakan final Ibunya melayang dan menampar dada Archen, membuatnya sakit.
Mungkin ini saatnya.
Waktu untuk kedua orang tuanya bercerai, maksud Archen. Karena bukan hanya Ibunya yang sudah capek, Archen juga. Jadi lebih baik sekalian saja, kan?
Yang Archen tahu setelah itu, kakinya bergerak. Membawa tubuhnya berlari menjauh dari rumah. Dan bagian terburuknya adalah, orang tuanya bahkan tidak sadar kalau Archen pergi.
..
"Menarik," kata Nai menyeruput coke yang baru dia pesan dari bartender. "Jadi ternyata bukan aku aja satu-satunya yang gay di Sekolah kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
✓ Worse than Nightmare (J9 version)
Roman d'amour"Hidup sebagai gay di Indonesia itu sungguh nggak mudah. Apalagi kalau sahabatmu sendiri adalah cowok populer di sekolah. Terlebih lagi jika sahabatmu itu homophobic." Nai dan Archen bersahabat baik sejak kelas 1 SMA. Tetapi apa yang terjadi kalau m...