Tough Embedded Determination

55 8 0
                                    

" Kita menginap dulu." Seokjin berujar setelah menemukan sebuah hotel bintang lima yang tanpa sengaja ia temukan saat meneliti tiap sudut jalanan yang masih sepi.

" Bagus, pukul delapan lewat dua menit, dan Aku sudah mengantuk lagi."
Aera, setelah melirik jam tangannya, sontak mengangkat kedua tangan girang.

" Eh, Aku sudah mati ?" Sambung Jungkook setelah Taehyung membangunkan dengan hati - hati.

" Belum Jung... Kamu masih di bumi." Jawab Taehyung untuk kesekian kali tiap Jungkook terbangun dari tidurnya. Maklum saja, si Jeon itu sudah mendapat prediksi tetek bengek hidupnya ke depan. Bahkan soal umur pun ia sudah diperingatkan.

" Huusshh !"

Seokjin, yang kembali merasakan denyut sakit di kalbu, lantas menempelkan jari di depan bibir dengan cepat. Tidak suka dengan respon si Jeon menjadi penyebab rupanya.

" Cepatlah ! Kita masuk !" Pekik Aera yang sudah berdiri tidak sabar sambil menyeret keranjang makanan Seokjin.

" Kalian bertiga pergilah dulu. Aku akan menyeret si gendut ini ke dalam !" Titah Seokjin yang tengah mengutak - atik bagasi mobil. Sepertinya ia tengah merapikan barangnya serta beberapa barang lainnya yang tidak boleh ia abaikan. Tak lupa mengecek dompet untuk memastikan apakan masih ada lembaran tebal di dalamnya.

" Syukurlah."
Monolog Seokjin sambil bernapas penuh kelegaan. Menurutnya, dari segi teori manapun, uang tetaplah sumber kebahagiaan nomor satu. Cukup masuk akal sih, sebenarnya.

" Eoh...genduuuttt ! Sialan kamu !" Umpatnya sambil menyandang ransel raksasa yang sialnya hampir menyamai setengah tubuh Seokjin sendiri. Ia benar - benar kepayahan, sungguh. Namun tidak ada yang bisa ia mintai tolong ataupun dengan sukacita menolong. Tidak ada makhluk serupa manusia ataupun benar - benar manusia di sana. Dan bodohnya Seokjin si profesor tampan, yang menyuruh adiknya dan dua teman barunya untuk mendahuluinya tadi.

" Mau Saya bantu, Tuan ?"

Sebuah suara yang terdengar sopan berhasil membuat Seokjin mengangkat kepala. Mengerutkan dahinya bingung menjadi respon akan keterkejutannya.

" Saya Park Jimin. Saya salah seorang petugas di hotel ini, Tuan." Ujar pemuda pemilik suara itu. Ia lantas menyodorkan sebuah troli berwarna silver kepada Seokjin. Bermaksud agar Seokjin meletakkan barangnya di atasnya.

" Ah, terima kasih, Park Jimin." Agaknya Seokjin tidak seperti Aera yang butuh waktu beberapa detik hanya untuk terdiam kemudian merespon asal setelahnya. Ia kemudian melepas tas ransel, dibantu Jimin, untuk kemudian meletakkannya di atas troli silver tanpa roda itu. Setelahnya, Jimin kembali tersenyum, hendak menyetel troli untuk menjalankan perintah otomatis, namun Seokjin sudah lebih dulu menahan bahunya.

" Maaf, apa kamu lihat seorang gadis dengan dua orang pria di sampingnya ?" Tanyanya ramah sekali.

" Oh, maksud Anda yang heboh sekali itu ? Dia berada di lantai empat, Tuan. Biar Saya mengantar Anda." Jawab Jimin sopan meski cukup menyinggung. Namun, tampaknya Seokjin hanya perlu mengangguk tipis. Ia sudah mengenal tabiat Aera. Luar dan dalam. Lahir dan batin. Jadi, Seokjin sudah punya banyak amunisi di balik punggungnya.

" Terima kasih, Jimin." Tersenyum lagi seolah kalimat Jimin tadi tidak berarti apa - apa dan memang seharusnya seperti itu, Seokjin lantas mengikuti Park Jimin yang berjalan dengan troli yang bergerak sendiri di sampingnya.

Mereka berdua kemudian menaiki lift transparan setelah melintasi lobby yang mewah sekaligus sepi. Sempat membuat Seokjin bergidik seram, tapi bersikap masa bodoh sepersekon kemudian. Dan tepat setelah Jimin berhenti di depan sebuah pintu yang menampilkan angka 503 di sisi kiri, Jimin lantas menghadap pada Seokjin. Bermaksud untuk undur diri.

HAVOCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang