Aku menghela napas pelan, menatap gemerlap lampu festival yang bergelantungan di sepanjang jalan utama kampus. Warnanya berpendar lembut, berkilau seperti bintang-bintang kecil yang sengaja diturunkan untuk malam ini. Stand makanan berjajar rapi di sisi kanan dan kiri, penuh oleh mahasiswa yang sibuk menawarkan dagangan mereka, sesekali berteriak semangat sambil tersenyum lebar. Udara malam dipenuhi aroma tteokbokki yang pedas manis dan ayam goreng yang digoreng renyah—membuat perutku yang awalnya tenang, ikut bergemuruh perlahan.
Di kejauhan, musik dari panggung utama terdengar samar, bercampur dengan suara tawa, obrolan, dan langkah kaki yang berlalu lalang di sekitarku.
"Kenapa sih aku harus ikut?" Aku menoleh, memandangi Kang Soyeon, sahabatku yang berjalan dengan langkah ringan dan mata berbinar.
"Karena ini festival kampus, obviously. Masa semester satu dihabiskan di kamar?" Soyeon melirikku cepat, seperti tak percaya dengan kebosanan yang terpatri di wajahku. "Lagi pula, siapa tahu kita bisa ketemu mahasiswa cakep dari departemen lain. Anggap saja misi sosial."
Aku mendesah. "Aku malas datang ke acara kayak gini. Ramai. Ribut. Dan terlalu banyak senior yang harus disenyumi pura-pura kenal."
Soyeon tertawa kecil. "Justru itu. Kita harus cari muka dari sekarang. Semester akhir nanti bakal butuh banyak bantuan—kalau bisa punya kenalan senior satu geng, kenapa enggak?"
Aku tidak menjawab. Sering kali, Soyeon terlalu masuk akal untuk dibantah.
Kami berjalan menyusuri kerumunan, melewati barisan lampu gantung dan spanduk warna-warni bertuliskan nama-nama departemen. Lapangan terbuka yang menjadi pusat festival tampak semakin ramai. Di tengahnya, sebuah panggung besar berdiri dengan megah. Lampu sorot berkelip, menciptakan siluet tajam dari alat-alat musik yang sudah tertata rapi di atasnya.
“Sepertinya acara puncak sebentar lagi mulai,” gumamku, sambil melirik layar ponsel yang nyaris kehilangan sinyal.
Soyeon menatap panggung dengan penuh antusias. "Ayo kita cari makanan dulu! Kita pisah aja ya, biar nggak kelamaan. Aku cari makanan, kau cari minuman. Deal?"
Aku mengangguk pelan. "Oke. Tapi telepon aku kalau sudah selesai, ya. Jangan sampai nyasar lagi kayak waktu seminar orientasi."
Ia tertawa, lalu melambaikan tangan sebelum menghilang di balik kerumunan.
Aku mulai mengelilingi area stand dengan langkah santai, membiarkan pandanganku berpindah dari satu booth ke booth lain. Setiap departemen punya cara unik untuk menarik pengunjung. Departemen Olahraga, misalnya, memilih cara yang... agak berlebihan. Para mahasiswanya tampil tanpa atasan, memamerkan otot sambil menawarkan susu cokelat. Aku memutar bola mata dan cepat-cepat mengalihkan pandangan.
Lalu, aku melihatnya.
Di salah satu booth sederhana yang didekorasi dengan lampu kuning redup dan banner bertuliskan Departemen Bisnis, terdapat sebuah gitar dan mikrofon di depannya. Seorang laki-laki berdiri di sana, memegang mic seolah dunia di sekitarnya tidak penting. Rambut hitamnya sedikit berantakan, wajahnya tampan tanpa berusaha. Ekspresinya tenang, nyaris datar. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya terlihat... bersinar.
"Selamat malam semua," katanya. Suaranya terdengar dari pengeras suara, meski samar tertutup riuhnya pengunjung. Suara itu dalam, tapi hangat. Menenangkan, bahkan sebelum ia mulai bernyanyi.
“Namaku Park Jimin, dari Departemen Bisnis. Disini kami akan membawakan beberapa lagu malam ini. Kami harap kalian bisa menyempatkan waktu untuk mampir ke booth kami.”
Ia tersenyum kecil, nyaris tak terlihat. Seolah bicara bukan untuk menarik perhatian, tapi untuk menghormati keberadaan semua orang.
Musik mulai mengalun. Dentingan gitar pertama menyusup pelan ke sela-sela suara ramai festival. Dan saat ia mulai menyanyi—aku diam. Terpaku.
Suaranya tidak sekadar indah. Ia bernyanyi dengan rasa. Lembut, tapi menghantam. Lirih, tapi jelas. Setiap kata yang keluar dari bibirnya seperti memiliki bobot, seperti membawa cerita yang terlalu dalam untuk dijelaskan dengan bahasa biasa.
Untuk beberapa saat, dunia di sekitarku terasa menghilang. Lampu-lampu menjadi buram. Suara kerumunan memudar. Hanya ada suara itu.
Ketika lagu usai, beberapa temannya keluar dari balik booth dan menyambutnya dengan tawa kecil. Tidak banyak yang benar-benar mendengarkannya, tapi ia tetap tersenyum lebar. Sebuah senyum yang tulus, seolah puas hanya karena sudah bisa menyanyikan lagu itu.
Aku masih berdiri diam dari kejauhan, membiarkan gema suaranya terus berputar di dalam kepalaku.
Dan entah kenapa...
Musik terasa berbeda malam ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Filter • pjm
Fanfiction"Pick your filter, Which me do you want?" Han Yebin tak pernah suka jadi pusat perhatian-hingga hidupnya bersinggungan dengan Park Jimin. Populer, ceria, dan selalu penuh pesona, Jimin terlihat sempurna. Tapi di balik senyuman itu, ada banyak hal ya...