Ada senyuman yang begitu sulit kumaknai, ada juga rasa yang sangat sulit kuartikan apalagi kuungkapkan.
Saat kita berada di persimpangan jalan aku berusaha membawamu pulang, tetapi ternyata kau pulang pada pelukan lain. Bukan pada rumah di mana aku berusaha singgah bahkan aku sudah membutakan mata menjadikan kau mataku.•
Pagi ini tidak seramai pagi biasanya. Hoseok dan putra keduanya, Jihoo makan dengan tenang tanpa ada obrolan hangat yang berarti. Hoseok hanya akan bertanya mengenai keseharian Jihoo dan sekolahnya lalu setelah itu, keduanya kembali diam.
Hoseok bukanlah ayah yang membosankan, bukan juga ayah yang kunoㅡyang akan melarang Jihoo pergi bermain di malam hari atau larangan berkencanㅡhanya saja Hoseok sangat hapal seperti apa Jihoo, putranya itu tak akan banyak bicara seperti saudara kembarnya, Jisoo (kakaknya) yang sekarang tidak lagi tinggal bersamanya.
Jihoo akan bicara ketika ingin, dia akan bertanya jika ada yang tidak dia tahu, dia akan banyak bicara jika memang itu dibutuhkan. Jihoo benar-benar irit sekali bicara. Dia tidak terlalu bagus untuk mengekspresikan setiap emosinya. Beruntung, Hoseok orang yang sangat peduli dan perhatian pada sekitar, apalagi ini putranya, dia akan menjadikan Jihoo pusat dunianya. Tak terkecuali seperti apa putranya itu. Jihoo adalah pusat semestanya dan akan selamanya seperti itu.
Satu tahun berlalu begitu cepat. Dua tahun lalu, Hoseok berpisah dengan istrinya. Menikah selama delapan belas tahun dan dikaruniai anak kembar tak lantasnya membuat Hoseok merasa puas dengan kehidupan rumah tangganya. Jelas saja, siapa yang akan merasa puas jika pernikahanmu kandas begitu saja? Seharusnya kebahagiaanlah yang mengiringinya. Dengan kehadiran kedua putranya, apa lagi yang Hoseok harapkan selain kebahagiaan? Terlebih lagi Jisoo dan Jihooㅡanak kembarnya yang sekarang sudah remaja ituㅡmereka mengerti apa yang terjadi kepada orang tuanya. Mereka paham apa yang sedang dialami orang tuanya, pun mereka tahu seperti apa rasa sakit yang dirasakan orang tuanya, tapi justru itulah yang membuat Hoseok terluka.
Seharusnya, kedua putranya tak ikut merasakan kesakitannya.
"Ayah melamun?"
Hoseok tersentak kecil ketika Jihoo menginterupsi dirinya. Mengerjap cepat seraya berdeham karena sudah ketahuan melamun. "Maaf, pekerjaan Ayah banyak sekali. Kau sudah selesai?"
Jihoo diam sejenak, mentapnya dengan wajahnya yang terlihat datar, itu membuat Hoseok meringis.
"Um, ya. Aku sudah selesai," katanya.
Hoseok tertawa canggung, "Hey, ada apa dengan wajah itu?"
Jihoo tak menjawab. Dia meraih segelas jus mangga yang ada di meja kemudian meminumnya dalam diam. Menyisakkan setengah bagian dari semula.
"Apa kau sibuk hari ini?" tanya Hoseok, mengalihkan perhatian.
Jihoo menggeleng, "Aku tidak tahu. Aku hanya akan pergi ke sekolah, ke akademi, lalu setelah itu kembali ke rumah."
"Kau tak ingin bertemu kakakmu?"
Jihoo menatap Hoseok, "Aku bertemu setiap hari dengannya di sekolah. Jadwalku nyaris sama dengannya." Jihoo mengendikan bahu, "tidak ada yang berubah."
"Ah, ya, kau benar juga. Bagaimana kalau nanti kau ajak dia ke rumah? Sudah sepekan Ayah tak bertemu dengan Jisoo."
Jihoo mengangkat bahunya, "Entahlah, Jisoo-hyung selalu sibuk."
Hoseok mendesah kecewa, "Apa kakakmu masih bersama teman-temannya itu? Club potografi?"
Jihoo mengangguk sebagai jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero O'Clock [Jung Hoseok] ✓
FanficAda senyuman yang begitu sulit kumaknai, ada juga rasa yang sangat sulit kuartikan apalagi kuungkapkan. Saat kita berada di persimpangan jalan, aku berusaha membawamu pulang, tetapi ternyata kau pulang pada pelukan lain. Bukan pada rumah di mana aku...