8. wedding day [END]

334 48 25
                                    

*Ibu seperti novel yang berliku-liku, aku membacamu merangkai kenangan dan Ayah seperti puisi rumit dan singkat berlapis arti.

*Aku membaca mereka sepanjang hidup, aku membaca mereka memburu haru, aku membaca mereka mengeja rindu. Peranku seperti pembatas buku, peranku seperti karet penghapus.

"Jisoo-hyung! Kau memakai celana dalamku lagi! Kau tahu sendiri aku benci itu, Hyung!"

Diteriaki begitu oleh adiknya, Jisoo memelas, bibir dimajukan, wajahnya dia buat semalang mungkin sambil merebahkan diri di ranjang. "Oh, ayolah Jihoo, aku ini kakakmu bukan orang lain. Lagipula, kita ini serupa, tak apa kalau berbagi."

Jihoo menyalak tak terima. "Apa katamu? Berbagi? Tidak!"

Jisoo menghela napas. "Pakaian kita itu satu ukuran, Jihoo."

"Tak peduli. Kau ambil saja apa yang sudah kau pakai, aku tak mau menggunakannya lagi! Dasar menjijikkan."

Masih terlalu pagi untuk bertengkar, Jihoo keluar dari kamar Jisoo sambil menutup pintu dengan keras. Dia menggerutu marah karena ini sudah terulang sebanyak lima kali.

"Jihoo, dengar! Sebagai gantinya, akan kubelikan laba-laba yang lain supaya Chuck tidak kesepian, supaya dia ada teman, bagaimana?" teriak Jisoo dari dalam kamarnya. Tanpa Jihoo tahu, saat ini Jisoo sedang menahan tawanya supaya tidak mengeluarkan suara karena menertawakan kekesalan Jihoo.

Mendengarnya semakin membuat Jihoo menggeram marah, melalui sudut matanya, dia menoleh dan menatap pintu di debalakangnya dengan sengit seolah dengan melakukan hal itu, pintu itu akan hancur dan Jisoo bisa melihat betapa marahanya dirinya.

"Arrgh, menyebalkan!" Jihoo mengepalkan tangannya ke udara, dan siap untuk meninju pintu kamar itu, tetapi sebelum niat itu terlaksana, terdengar suara pintu lain terbuka dan seseorang keluar dari sana.

"Jihoo? Kenapa? Ada apa?"

Rupanya, itu ibunya. Hyosi berdiri di ambang pintu dengan mata menyipit dan suaranya yang serak. Jihoo berasumsi kalau ibunya itu terbangun dari tidurnya. "Ibu mendengar keributan, ada apa? Apa kalian bertengkar? Kenapa, Sayang?"

Hyosi melirik tangan Jihoo yang masih mengepal di udara, putranya itu memakai bathrobe dan rambutnya agak sedikit basah. Satu alisnya terangkat menunjukkan tanda tanya sekaligus heran, apa putranya itu baru selesai mandi? Pikirnya. "Jadi, ada apa?" tanya Hyosi lagi.

Jihoo menghembuskan napasnya, perasaan kesal dan marah pada kakaknya itu masih lah ada, tapi dia coba untuk menahannya. "Jisoo-hyung melakukannya lagi, Bu. Sepertinya dia sengaja."

Hyosi mengernyit. "Eh, apa itu?"

Jihoo memainkan lidahnya di dalam mulut, agak malu juga mengatakannya. "Jisoo- yung, dia ... memakai celana dalamku lagi," katanya lirih. "Padahal aku baru saja membelinya."

"Hum? Lagi?" Hyosi seketika tertawa. "Kenapa? Bukankah kalian tidak saling berbagi?" lalu Hyosi tertawa lagi. Suara tawa itu terdengar menyebalkan di telinga Jihoo, Hyosi menganggap hal itu lucu karena rupanya Jisoo terus mekakukannya seolah sengaja ingin membuat adiknya itu kesal.

"Kenapa Ibu tertawa? Aku malu mengatakannya."

Hyosi terkekeh, sikap Jihoo yang seperti ini mengingatkannya pada seseorang. "Sudahlah, Ibu akan belikan yang baru."

"Ibuuu ...." rengeknya. "Jangan buat aku semakin merasa malu, Bu."

"Tidak, tidak," Hyosi meggeleng. "Kakakmu itu hanya bermain-main denganmu, lupakan saja kita akan beli lagi yang baru."

Zero O'Clock [Jung Hoseok] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang