Nyanyikanlah harapan. Perjuangkan tujuan. Bahagia kehidupan.
•
"Sekarang aku sendiri tak ada tempat yang berhak kusinggahi, karena rumahku yang dulu sekarang nampak asing dengan banyak dendam di dalamnya."
Jihoo menutup buku novel yang sudah menemaninya sejak dua jam yang lalu itu dengan lamunan. Helaan napas terdengar lirih setelahnya. Raut wajah sendu ia tampakan tanpa peduli terlihat menyedihkan.
"Jadi, jika ada yang lukanya lebih parah dari milikku, apa lantas lukaku tidak layak untuk disembuhkan?"
Ketika membaca novel itu, Jihoo memikirkan orang tuanya. Apakah ada dendam di hati ayahnya saat ibunya pergi meninggalkannya? Apakah masih ada benci yang dirasakan oleh ibunya sedari dulu hingga kini? Apakah keduanya sama-sama terluka dan saling membenci? Ataukah mungkin keduanya mencoba merelakan apa yang terjadi tanpa ada lagi dendam atau luka? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.
Apakah luka itu bisa disembuhkan?
Apakah semuanya sudah baik-baik saja?
Bagaimana denganku?
Jihoo menggeleng pelan. Dia sudah tidak mau memikirkan hal berat lagi, semuanya sudah berlalu. Jihoo telah berjanji kepada dirinya sendiri. Memang benar segalanya tidak lagi utuh seperti dulu, tetapi Jihoo masih memiliki keduanya. Orang tua yang akan selalu ada untuk dirinya dan juga kakaknya. Dia hanya perlu membuka hatinya demi hal-hal yang lebih baik lagi untuk hidupnya dengan tulus.
Tidak ada yang berubah, hanya saja dunianya telah berubah. Dia sudah besar dan dia lelaki dewasa.
Jika dia masih terperangkap masa lalu, dia tidak akan bisa menemukan jalan keluar. Dia akan tetap merasakan rasa sakit dan penderitaan yang sama karena tidak mau melepasnya untuk pergi. Oleh karena itu, Jihoo akan membuat semuanya menjadi sederhana pun berdamai dengan masa lalunya yang sulit.
Untuknya. Untuk orang tuanya. Untuk keluarganya.
•
Hoseok menatap Hyosi yang berdiri di depannya dengan murung.
"Tak apa. Semuanya akan baik-baik saja," katanya pada Hoseok. "Aku bersunggung-sungguh saat kukatakan padamu, aku minta maaf, aku tidak mau ada sakit hati yang tertinggal di antara kita. Aku juga berharap kau menemukan cintamu dan berbahagia. Jangan menuntut apa pun dari masa lalu karena itu tidak ada gunanya. Hanya berjalan bersama ke depan, untuk Jisoo dan Jihoo dan untuk dirimu juga."
Hyosi mengulas senyum. "Terima kasih untuk menjadi Ayah yang baik untuk Jisoo dan Jihoo."
Hyosi sudah akan pergi jika saja Hoseok tidak memanggilnya. Dia berhenti beberapa langkah dari tempat Hoseok duduk. Lalu, Hoseok ikut bangkit dan berjalan ke arah Hyosi.
"Hyosi, kau tahu tak bisa hidup tanpa mereka. Mereka adalah satu-satunya."
Setelah mengatakan hal itu, Hyosi berbalik, ada sedikit emosi yang tersirat di raut wajahnya yang memerah. Dari sekian banyak kata yang dia ucapkan, Hoseok masih saja egois. "Aku tahu. Karena aku pun sama. Mereka yang membuatku bertahan."
"Apa ... Apa kau masih benci padaku?" Hoseok berjalan mendekat, "Apa kau melakukannya karena kau benci padaku?" Keduanya berdiri berhadapan. "Tidak bisakah kau melihatku sebagai ayah dari anak-anak? Bukan sebagai Jung Hoseok?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero O'Clock [Jung Hoseok] ✓
Fiksi PenggemarAda senyuman yang begitu sulit kumaknai, ada juga rasa yang sangat sulit kuartikan apalagi kuungkapkan. Saat kita berada di persimpangan jalan, aku berusaha membawamu pulang, tetapi ternyata kau pulang pada pelukan lain. Bukan pada rumah di mana aku...