"Huh, akhirnya sampai" Ucap Rendy, "Walau hanya tersisa satu jam pelajaran..." Keluhnya.
Kelasnya kosong, penghuni kelas masih berolahraga di gedung olahraga sekolah.
"Hmm, aku akan menyusul mereka..." Ketus Rendy, "Eh, tunggu, seragam olahragaku mana?"
***
"Aduuuh, gabuuut~" Keluh Gina, yang sedang berguling-guling di kasur. Gina lalu duduk dengan sikap waspada, mengawasi sekitarnya, "Safe"
Dia melepas celana training milik Rendy yang masih baru, menyisakan pembalut yang tadi dibeli. "Akhirnya!!! Aah, ini lebih nyaman" Gumamnya, "Dasar, si bodoh itu. Meninggalkan ku sendirian di sini... Mana panas lagi!" Keluh Gina, kesal.
Setelah keluh kesahnya tertuang, terlintas di benaknya sebuah ide gila... Cara untuk membuat Rendy tunduk padanya. Dia berniat mencari barang pribadi atau bahkan album keluarga untuk mengancam Rendy
"Akan ku balas kau!"Gina mulai menapakkan kakinya ke lantai. "Hmm, sepertinya sudah lebih baik dari sebelumnya. Baiklah, saatnya menginvasi tempat ini. Haha. Pertama, di bawah kasur..." Gina memulai pencarian.
***
"Aduh, pada akhirnya aku tidak bisa ikut pelajaran" Ucap Rendy, Ia berjalan menuju kelas karena bell pulang sudah berbunyi sebelum Ia sampai di gedung olahraga untuk ikut berolahraga.
Sebelumnya, Ia meminjam pakaian olahraga cadangan pada guru, namun malah mendapat ceramah berkepanjangan dan meluas pada kehadirannya di kelas dari guru yang bertugas.
"Ah, Rendyyy!!!" Teriak seseorang yang suaranya tak asing dari gerombolan siswa yang berjalan berlawanan arah darinya. Di lorong penghubung menuju gerbang depan.
Dengan segera Rendy mencari sumber suara. Sampai bola mata mereka bertemu.
"Ah, yo!" Sapa Rendy ramah. Orang yang tadi memanggil adalah Toni, dia menghampiri Rendy dengan ditemani beberapa orang di belakangnya.
"Kemana saja kau, kawan? Kami semua merindukanmu. Benarkan!" Seru Toni.
"Tentu. Tanpamu, tak ada yang tertawa hingga Asma" Jawab orang di belakangnya.
"Oi, oi, itu pujian kan?" Rendy menunjukan deretan giginya. Dia tersenyum lebar.
"Tentu saja~" Jawab Toni. Mereka tertawa bersama. Suasana hangat mulai terasa diantara mereka.
Namun, hal itu tak bertahan lama. Rendy mulai resah mengingat berita yang mengikatnya.
"Kau tampak suram. Apa kau tak apa?" Tanya Toni cemas.
"Yah, tidak juga. Itu hanya masalah kecil untukku". Jawab Rendy, "Aku yakin, kalian juga sudah tau 'kan?"
Raut wajah Toni ikut berubah, dia mulai menanggapi dengan serius. "Ya, kami sudah melihatnya"
"Maaf" Ucap Rendy pasrah, "Padahal kalian sangat mempercayaiku dulu, tapi aku-"
"Kami masih mempercayaimu, kawan. Kami yakin kau takkan melakukan hal sekeji itu. Apalagi pada wanita" Tegas Toni, "Siapa juga yang berani menantang maut sejauh itu... Apalagi korbannya anak Kepsek" Gumam Toni pelan.
Rendy kembali tersenyum, "Terima kasih, kawan"
"Oh ya, kami akan pergi ke kafe biasa untuk nongkrong hari ini. Kau ikut 'kan?" Tanya Toni dengan senyuman.
"Ah, maaf. Ada hal yang harus ku lakukan. Mungkin lain kali" Rendy menolak.
Toni memalingkan wajah, mengisyaratkan kekecewaannya, "Yah, mungkin lain kali saja" Toni tersenyum tipis, "Kalau ada apa-apa hubungi kami ya... Kami pasti membantu..." Toni meletakan satu tangannya di bahu Rendy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nostalgia Tak Berwarna
RomanceCerita ini berputar pada seorang remaja bernama Rendy Permana. Ia hidup normal di kota A seperti remaja pada umumnya. Ia periang, ramah, dan juga hangat pada orang yang dikenalnya. Namun dibalik itu semua, Ia juga tipe orang yang cuek dan tak mau ik...