3

453 56 5
                                        

Setelah rapat panjang semalam yang nyaris menguras tenagaku sampai ke sisa-sisa terakhir, tubuhku rasanya remuk. Matahari siang ini menyapa hangat ketika aku melangkah keluar dari gedung fakultas, tapi langkahku lesu, seperti dibebani sesuatu yang tak kasat mata.

Kelas sastra klasik barusan sebenarnya menarik, tapi pikiranku sulit fokus. Tugas-tugas festival menumpuk di benak, saling bersahutan seperti antrean notifikasi yang tak kunjung habis. Aku mengusap pelipis pelan, mencoba meredakan denyut halus yang mulai terasa di sisi kepala. Rasanya seperti jalan setapak yang terus menanjak tanpa ujung, dan aku tak bisa berhenti mendaki.

Aku baru saja mengarahkan langkah menuju kantin—satu-satunya hal yang bisa menyelamatkanku sekarang hanyalah kopi—ketika suara langkah tergesa-gesa terdengar dari belakang. Cepat. Riuh. Seolah seseorang sedang mengejar waktu.

“Yebin! Kau sudah dengar berita besar?”

Suara itu melengking seperti alarm pagi yang terlalu semangat, dan hanya satu orang di dunia ini yang bisa seantusias itu di siang bolong: Kang Soyeon.

Aku menghela napas, memutar tubuh perlahan. “Kalau aku sudah dengar, kau tak akan lari ke arahku dengan napas terengah-engah seperti sekarang. Ada apa lagi?”

Soyeon menarik napas dalam, seperti akan menyampaikan wahyu dari langit. Matanya berbinar, bibirnya menyungging senyum lebar. “Park Jimin ikut kepanitiaan festival!”

Aku berkedip. “…dan?”

“Kau tahu apa artinya ini? AKU HARUSNYA IKUT JUGA!” Tangan Soyeon terangkat dramatis ke udara, seolah langit telah runtuh dan dunia tak memberinya kesempatan kedua.

Aku memandangnya datar. “Dan kenapa itu jadi urusan penting?”

Dia memukul lenganku pelan, frustrasi. “Ya ampun, Yebin! Kau ini nggak ngerti ya? Ini Park Jimin! Tampan, populer, dan punya koneksi ke mana-mana. Semester lima, Bin. Kita harus mulai memperluas jaringan! Networking! Masa depan!”

Aku mendesah. “Dan aku harus peduli karena…?”

Soyeon meletakkan tangannya di pinggul, ekspresi wajahnya campuran antara jengkel dan putus asa. “Kau ini memang keras kepala. Tapi serius, ini bisa jadi peluang. Siapa tahu kamu sering ketemu dia, terus... ya gitu deh. Takdir.”

Aku menatapnya seperti menatap novel dengan alur klise yang terlalu mudah ditebak. “Aku cuma butuh kopi. Bukan takdir.”

Langkahku berlanjut, tapi belum semeter, suara lain memanggilku—lebih tenang, lebih lembut.

“Yebin?”

Seorang teman panitia dari jurusan yang sama berdiri tak jauh dari kami, wajahnya cemas.

“Bisa sebentar? Aku mau bahas soal proker kita. Sepertinya ada sedikit masalah di bagian anggaran.”

Aku berhenti. “Masalah apa?”

“Kayaknya sih ada selisih data. Angka yang kita ajukan beda dengan yang tercatat di Departemen Bisnis. Kayaknya kau perlu ngobrol langsung sama Park Jimin. Dia yang pegang bagian keuangan, kan?”

Aku terdiam, lalu menatap kosong ke depan.

Jimin lagi.

Entah kenapa nama itu mulai terasa terlalu sering muncul dalam hidupku akhir-akhir ini. Tapi sebagai koordinator departemen, aku tak punya pilihan selain menyelesaikannya langsung.

Aku membuka ponsel, masuk ke grup panitia, lalu mencari kontaknya. Jariku sempat ragu, tapi akhirnya aku mengetik.

Yebin:
Halo, ini Han Yebin dari Departemen Seni dan Sastra. Aku ingin membahas soal alokasi anggaran festival. Sepertinya ada beberapa perbedaan data. Kapan kau punya waktu untuk membicarakannya?

Soyeon langsung mengintip dari samping. “EH! Mau liat! OMG kamu beneran ngechat Jimin!” Suaranya terlalu keras untuk ukuran informasi yang biasa saja.

Aku menjauhkan ponsel. “Ini cuma urusan kerja. Jangan buat ini seperti drama.”

“Tapi tetep aja! Kau ngechat Park Jimin! PARK. JIMIN! Kau nggak penasaran dia bakal jawab apa?”

“Aku lebih penasaran kenapa kopiku belum sampai,” ujarku sambil memesan di kasir.

Kami duduk di salah satu sudut kantin. Soyeon terus mengoceh—tentang Jimin, tentang penyesalannya tidak ikut panitia, tentang takdir dan cinta yang mungkin muncul di balik proposal anggaran. Aku hanya mengangguk sesekali, mengunyah roti tawar dan menyeduh harapan dari kopi hangat yang kini akhirnya ada di tanganku.

Lalu, ponselku bergetar.

Aku melirik layar.

Park Jimin:
Aku ada waktu sore ini. Kita bisa bertemu setelah jam kuliahmu selesai.

Beberapa detik aku hanya diam, menatap pesan itu seperti menatap jalan tak dikenal. Rasanya tenang... dan sekaligus berbahaya.

Aku menarik napas dalam-dalam.

Sepertinya hari ini tidak akan sesederhana yang kuharapkan.

Filter • pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang