BAGIAN 4

384 19 0
                                    

Pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga dan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti, mengajak Ki Anjir dan Julak untuk duduk di bawah pohon beringin yang cukup rindang. Sehingga, mereka terlindung dari sengatan cahaya matahari yang begitu terik siang ini. Mereka duduk membentuk setengah lingkaran.
Sementara Pandan Wangi yang di kalangan rimba persilatan dikenal berjuluk si Kipas Maut, menyediakan arak manis dari sebuah bumbung bambu yang didapat dari pemilik kedai di Desa Granggang. Mereka bukannya tidak tahu kalau terus-menerus diawasi dari desa. Tapi, Ki Anjir sudah mengatakan agar tidak mempedulikan. Dan ini membuat kening Rangga jadi berkerut. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak mengerti sikap semua orang di Desa Granggang ini. Tadi, dia dicegat dan tidak diizinkan masuk ke dalam desa itu. Dan sekarang, Ki Anjir memintanya agar tidak mempedulikan mereka yang tengah mengawasi.
"Sebenarnya apa yang sedang terjadi di desa itu, Ki?" tanya Pandan Wangi seraya melirik ke arah Desa Granggang.
"Pembunuhan...," sahut Ki Anjir pelan, terdengar seperti terputus suaranya.
"Pembunuhan...?" kening Pandan Wangi jadi berkerut.
"Malaikat Pencabut Nyawa merajalela. Sudah puluhan orang yang dibunuh. Dan kebanyakan dari korbannya adalah pendekar," selak Julak cepat, sebelum Ki Anjir bisa membuka suaranya.
Sementara Pandan Wangi menatap Rangga yang sejak tadi diam saja. Entah, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti itu. Keningnya kelihatan sedikit berkerut, pertanda tengah memikirkan sesuatu. Sementara, Ki Anjir jadi terdiam membisu. Wajahnya lalu berpaling ke arah Desa Granggang. Dan pandangannya jadi terpaku saat melihat seorang laki-laki berusia sebaya dengannya berjalan menghampiri.
Sementara, beberapa orang terlihat mengawasi dari kejauhan. Rangga juga mengangkat kepala begitu telinganya yang tajam mendengar ayunan langkah kaki menuju ke arah pohon ini. Pandangan Pandan Wangi juga terarah pada laki-laki tua berjubah putih yang membawa tongkat berkepala ular di tangan kanannya.
Dialah Ki Langkas, Kepala Desa Granggang ini. Mereka segera berdiri, begitu Ki Langkas sudah dekat, dan berhenti melangkah setelah jaraknya sekitar satu batang tombak lagi. Kepala desa itu membungkukkan tubuhnya sedikit, dan langsung disambut dengan bungkukan tubuh pula.
"Maaf. Apakah kehadiran kami di sini mengganggu, Ki?" tanya Ki Anjir membuka suara lebih dahulu.
"Sebenarnya, tidak. Itu kalau mau berterus-terang, siapa kalian sebenarnya. Dan apa tujuan datang ke sini," sambut Ki Langkas ramah.
"Namaku Ki Anjir. Dan mereka adalah teman- temanku. Kami para pengembara yang kebetulan lewat di sini," sahut Ki Anjir langsung memperkenalkan diri, yang disusul orang-orang di sebelahnya.
Sementara, Ki Langkas mengangguk-anggukkan kepala setelah mengetahui nama-nama mereka semua. Sekilas matanya melirik Pandan Wangi. Di dalam hatinya, mungkin Pandan Wangi seumur dengan anak gadisnya. Tapi hatinya mengakui kalau Pandan Wangi berkulit lebih putih dan berwajah lebih cantik, seperti bidadari turun dari kayangan.
"Lalu, tujuan kalian datang ke sini?" tanya Ki Langkas lagi.
"Terus-terang, Ki. Aku sampai datang ke sini, karena mengejar seseorang yang mungkin saja telah membuat keonaran di desa ini," sahut Ki Anjir berterus-terang.
"Maksudmu...?" Ki Langkas meminta penjelasan.
Sebentar Ki Anjir menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja, karena sebenarnya memang hanya kebetulan saja berada di tempat ini. Sedangkan Ki Anjir dan Julak punya tujuan tertentu, hingga tiba di Desa Granggang ini.
"Begini, Ki...," terputus suara Ki Anjir.
"Langkas ... Namaku Langkas, kepala desa di sini," Ki Langkas cepat-cepat memperkenalkan diri.
Memang sejak tadi dia belum memperkenalkan siapa dirinya. Dan dirinya baru diperkenalkan setelah mendengar nada suara Ki Anjir yang terputus.
"Aku dan Julak sebenarnya datang dari jauh. Dan kedatanganku ke desa ini, sebenarnya tidak sengaja. Dan lagi, semula sebenarnya kami bertiga. Tapi yang seorang lebih dulu putus asa dan memutuskan untuk pulang. Lalu...," Ki Anjir tidak melanjutkan.
"Teman kami tewas beberapa hari lalu, tidak jauh dari desa ini, Ki," selak Julak.
"Oh...?!" Ki Langkas tampak terkejut. "Temanmu yang mana...?"
"Seusiaku, Ki. Dia tewas dengan...," sahut Julak terputus.
"Ya..., ya aku tahu," kata Ki Langkas seraya menganggukkan kepala.
"Jadi, itu teman kalian...?"
"Benar, Ki," sahut Ki Anjir.
"Hm.... Lalu, kau datang ke sini hendak mencari pembunuhnya?" tanya Ki Langkas lagi.
"Sudah lama kami mengejarnya, Ki. Bahkan sudah lebih dari dua purnama kami mengembara mengejarnya, hingga sampai ke desa ini," sahut Ki Anjir menjelaskan lagi.
"Ahhh.... Kenapa tidak kau katakan saja sejak kemarin...?" desah Ki Langkas seperti menyesali.
"Sebenarnya aku ingin menjelaskan, Ki. Tapi...," kembali Ki Anjir terputus kata-katanya. Dan matanya diarahkan ke gerbang Desa Granggang.
"Sudahlah..., maafkan atas sikap mereka," ujar Ki Langkas, seperti mengerti arti tatapan Ki Anjir.
Ki Anjir hanya tersenyum saja seraya menganggukkan kepala sedikit. Saat itu, Ki Langkas menatap Rangga dan Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam saja mendengarkan semua pembicaraan ini.
"Kalau kalian berdua, Anak Muda...?" tanya Ki Langkas. "Aku lihat, kalian datang terpisah. Apakah kalian juga bertujuan sama dengan Ki Anjir?"
"Tidak, Ki," sahut Rangga cepat. "Sebenarnya kami hanya sekadar lewat saja. Dan tujuan kami juga tidak menentu."
"Hm..., kalian pendekar pengembara?" tanya Ki Anjir agak menggumam nada suaranya. Dan jelas sekali kalau nada pertanyaan tengah menyelidik.
"Kami memang pendekar pengembara, Ki," selak Pandan Wangi menyahuti. "Dan kami bukan orang jahat. Justru kamilah yang selalu memerangi kejahatan dan keangkaramurkaan."
Ki Langkas mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali mendengar penjelasan Pandan Wangi. Kemudian kembali ditatapnya Ki Anjir dan Julak yang berdiri agak terpisah dari Rangga dan Pandan Wangi. Beberapa saat mereka terdiam, seakan-akan tengah menunggu apa yang akan diucapkan kepala desa itu.
"Mari! Kalian kuundang ke rumahku," ajak Ki Langkas semakin ramah.
"Terima kasih, Ki," ucap Ki Anjir menyambut gembira.
"Silakan...." Ki Langkas merentangkan tangannya, mempersilakan Ki Anjir berjalan lebih dulu.
Setelah menganggukkan kepala sedikit pada kepala desa itu, Ki Anjir melangkah yang kemudian diikuti Julak. Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. Ki Langkas yang sudah melangkah beberapa tindak, jadi berhenti dan berbalik memandang dua pendekar muda itu.
"Kenapa kalian diam saja...? Ayo! Aku juga mengundang kalian berdua," kata Ki Langkas.
"Terima kasih, Ki. Aku...," Rangga Ingin menolak. Tapi Pandan Wangi sudah menyikut pinggang Pendekar Rajawali Sakti, hingga langsung terdiam.
"Ayolah.... Kalian tentu bisa memaklumi sikap kami semua tadi," desak Ki Langkas.
Rangga mengangkat bahu sedikit, kemudian menghampiri kudanya. Diambilnya tali kekang dua ekor kuda itu, dan dituntunnya. Yang satu kemudian diserahkan Pandan Wangi. Mereka kemudian berjalan mengikuti Ki Langkas yang berjalan di sebelah kanan Ki Anjir. Sementara, Julak berada di belakang kedua orang tua itu.
Sikap Ki Langkas yang langsung berubah memang bisa dimengerti. Saat ini, dia memang membutuhkan orang-orang berkepandaian tinggi untuk menghadapi pembunuh gelap yang telah menewaskan salah seorang pembantunya. Terlebih lagi, setelah kepala desa itu tahu maksud kedatangan Ki Anjir yang secara jujur dan terus-terang diutarakannya.
Dia berharap Ki Anjir dan yang lain bisa menghadapi pembunuh gelap yang sekarang sudah diketahui namanya, walaupun hanya berupa julukannya saja. Tapi itu juga sudah membuat bergetar hati siapa saja yang mendengarnya. Malaikat Pencabut Nyawa....

97. Pendekar Rajawali Sakti : Malaikat Pencabut NyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang