BAGIAN 1

729 20 0
                                    

Sret!
Cring!
"Hiyaaa...!"
Bret!
"Aaa...!"
Sebuah teriakan keras menggelegar terdengar memecah keheningan malam, disusul jeritan panjang melengking tinggi. Suara-suara itu menggema, sampai menyusup ke dalam hutan terbawa angin malam. Sementara tiga orang yang tengah bermalam di dalam hutan itu jadi terkejut. Mereka saling berpandangan sejenak, lalu bergegas bangkit dan melangkah cepat menuju ke arah datangnya teriakan dan jeritan tadi.
"Cepat. Arahnya dari sebelah sana...!" seru seorang laki-laki tua berjubah putih yang berjalan paling depan.
Usia orang tua itu jelas lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi ayunan langkahnya begitu cepat dan ringan, pertanda tingkat kepandaiannya sudah sangat tinggi. Sebatang tongkat kayu berwarna hitam legam terayun-ayun di tangan kanannya. Sementara dua orang lagi yang berusia sekitar dua puluh lima tahun, mengikuti dari belakang. Mereka berusaha menyamai langkah orang tua berjubah putih itu, tapi tetap saja tertinggal di belakang.
Malam yang begitu pekat, memang cukup menyulitkan bagi mereka untuk bergerak lebih cepat lagi. Terlebih, pepohonan yang tumbuh di dalam hutan ini begitu rapat. Namun, akhirnya mereka tiba juga di sebuah dataran dengan hamparan rumput yang tidak begitu luas. Dan mereka tampak terkejut begitu melihat sesosok tubuh tergeletak di tengah-tengah padang rumput ini. Maka, bergegas mereka menghampirinya. Dan begitu dekat...
"Pendekar Golok Api...," desis laki-laki tua berjubah putih.
Bergegas laki-laki tua itu mendekati tubuh seorang laki-laki tegap berotot yang tergeletak dengan kening kepala terbelah. Orang tua berjubah putih itu segera mengangkat tubuh laki-laki tegap yang dikenalinya sebagai Pendekar Golok Api, dan meletakkannya dalam pangkuannya.
"Dia masih hidup, Ki Anjir?" tanya salah seorang yang mengikuti laki-laki tua berjubah putih itu.
Laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Ki Anjir hanya menggeleng saja perlahan. Kemudian dibaringkannya tubuh Pendekar Golok Api. Perlahan dia bangkit berdiri dengan wajah terlihat mendung. Sinar matanya begitu redup memandangi sosok tubuh Pendekar Golok Api yang terbujur kaku tak bernyawa lagi. Darah yang keluar dari kepala Pendekar Golok Api yang pecah seperti terbabat pedang, masih terasa hangat. Ini berarti baru beberapa saat saja kematiannya. Dan untuk beberapa saat, tidak ada yang bicara. Mereka semua membisu dengan kepala tertunduk, memandangi tubuh Pendekar Golok Api yang terbujur kaku tak bernyawa lagi.
"Melihat dari lukanya, jelas kalau ini perbuatan manusia iblis keparat itu...!" desis Ki Anjir terdengar geram nada suaranya.
"Huh! Lagi-lagi dia!" dengus salah seorang yang berbaju warna biru pekat. "Sudah sepuluh pendekar yang tewas di tangannya. Hhh...! Berapa orang lagi yang akan mati kalau tidak segera dicegah," desah Ki Anjir perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.
"Ki.... Aku jadi ragu, apakah kita bertiga mampu menghadapinya...?" desis seorang lagi yang berbaju hijau.
"Kenapa kau jadi punya pikiran begitu, Karsan?" sorot mata Ki Anjir jadi tajam.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun dan berbaju hijau yang bernama Karsan jadi tertunduk. Berat rasanya membalas sorotan mata Ki Anjir yang begitu tajam menusuk. Sementara, pandangan Ki Anjir beralih pada orang satunya lagi, yang berdiri di sebelah kanan Karsan.
"Kau juga akan mengundurkan diri, Julak?" terdengar dalam sekali nada suara Ki Anjir.
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Ki," sahut laki-laki berbaju biru yang dipanggil Julak, mantap.
"Hm, bagus! Aku senang melihat tekad dan semangatmu yang besar. Jangan sampai kita kalah sebelum bertarung," sambut Ki Anjir memberi semangat Ki Anjir kembali menatap Karsan.
Sedangkan yang dipandangi masih tetap tertunduk. Dan matanya melirik sedikit pada temannya yang tadi baru menyatakan tetap mengikuti laki-laki tua itu untuk mengejar orang yang telah membantai sepuluh orang pendekar dalam beberapa hari ini, dan sudah menggemparkan seluruh rimba persilatan. Hingga, bukan hanya mereka saja yang mengejar, tapi masih banyak para pendekar tangguh yang ingin membasmi tukang jagal itu.
"Aku tetap ingin kembali, Ki. Maafkan aku," ujar Karsan tidak berani mengangkat kepala sedikit pun juga.
"Hhh...!" Ki Anjir hanya menghembuskan napas beratnya saja.
Beberapa saat orang tua itu terdiam, memandangi Karsan yang sudah beberapa hari ini mengikutinya mengejar pembunuh para pendekar itu. Memang beberapa pendekar tangguh yang ditemui sudah tewas dengan luka sama persis, sehingga membuat hati siapa saja yang melihat tidak akan tahan. Sedangkan Ki Anjir menyadari kalau Karsan dan Julak bukan pendekar. Kepandaian yang dimiliki juga belum bisa dikatakan tinggi. Bahkan jauh berada di bawah tingkat kepandaian Ki Anjir sendiri. Wajar saja kalau Karsan merasa gentar.
Terlebih lagi, sekarang dia sudah menyaksikan sendiri mayat Pendekar Golok Api. Pendekar Golok Api adalah seorang pendekar tangguh dan digdaya. Bahkan julukannya sudah terkenal di jagat raya ini. Bahkan tokoh-tokoh persilatan manapun juga akan menyanjungnya. Tapi sekarang, Pendekar Golok Api sudah menggeletak tak bernyawa lagi dengan kening terbelah. Luka yang sama dengan yang ditemui pada para pendekar lainnya.
"Baiklah, Karsan. Aku tidak bisa memaksamu untuk terus melangkah maju. Kau berhak memilih. Pulanglah...," kata Ki Anjir dengan nada suara terasa begitu berat.
"Maafkan aku, Ki," ucap Karsan penuh penyesalan.
Ki Anjir hanya tersenyum saja, dan menepuk lembut pundak Karsan. Setelah memberi salam penghormatan dengan membungkukkan tubuhnya, Karsan kemudian melangkah pergi meninggalkan orang tua itu. Sementara, Ki Anjir dan Julak hanya bisa memandangi. Memang tidak mungkin mencegah kepergian Karsan kalau itu memang sudah menjadi pilihannya yang terbaik. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang ingin menyerahkan nyawanya sia-sia. Terlebih lagi, kalau yang akan dihadapi sudah jelas memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi. Pilihan Karsan memang tepat, karena menyadari kemampuannya sendiri.
"Kau belum terlambat kalau ingin mengikuti jejak Karsan, Julak," kata Ki Anjir.
"Apa pun yang terjadi, aku tetap bersamamu, Ki," sambut Julak mantap. "Aku harus membalaskan dendamku!"
Ki Anjir tersenyum seraya menepuk pundak Julak. Kemudian mereka melangkah meninggalkan jasad Pendekar Golok Api yang terbujur kaku dengan kening terbelah mengucurkan darah.

97. Pendekar Rajawali Sakti : Malaikat Pencabut NyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang