BAGIAN 8

377 21 0
                                    

Sementara, Rangga hanya terdorong sekitar tiga langkah ke belakang. Beberapa kali Randataka berputar di udara, lalu kembali kedua kakinya menjejak tanah. Tapi terlihat tubuhnya sedikit terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya dengan tangan kiri. Tampak darah kental agak kehitaman merembes dari sudut bibir dan lubang hidungnya.
"Phuaaah...!"
Randataka menyemburkan ludah kental yang berwarna agak kehitaman. Beberapa kali kepalanya yang mendadak saja jadi terasa pening digeleng-gelengkan. Dua langkah kakinya berjalan ke depan, tapi ayunannya tidak lagi tegap.
"Keparat..! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Randataka tidak menghiraukan keadaan dirinya yang sudah terluka akibat mengadu aji kesaktian tadi. Dengan kemarahan menggelegak dalam dada, Malaikat Pencabut Nyawa sudah kembali melompat sambil menghantamkan pedang ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap! Yeaaah...!"
Namun Rangga yang masih mengerahkan aji Cakra Buana Sukma tidak tinggal diam begitu saja. Dengan cepat tangan kirinya yang masih berselimut cahaya biru menggumpal bagai kabut dihentakkan. Maka, cahaya biru itu langsung meluruk deras menyambut serangan Randataka.
Slap!
"Akh...!"
Randataka jadi terpekik, ketika cahaya biru yang memancar dari telapak tangan kiri Rangga menghantam tubuhnya. Dan seketika itu juga, seluruh tubuh Malaikat Pencabut Nyawa terselubung cahaya biru terang yang menyilaukan mata.
"Setaaan...! Akh...!"
Randataka menjerit-jerit dan memaki berang. Tubuhnya menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri dari selubung cahaya biru yang menyelimutinya. Seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan. Tapi semakin kuat mengerahkan tenaga dalamnya, semakin terasa kuat pula tenaganya tersedot keluar. Randataka tampaknya tidak menyadari kalau aji Cakra Buana Sukma yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti justru menghisap kekuatannya sampai habis tak bersisa lagi.
"Yeaaah...! Akh...!"
Randataka terus menggeliatkan tubuhnya sambil berteriak-teriak, mencoba melepaskan diri dari selubung cahaya biru Pendekar Rajawali Sakti. Namun memang sulit baginya untuk bisa keluar. Tenaga dan kekuatannya juga semakin banyak terkuras tanpa dapat dicegah lagi. Semakin keras berusaha, semakin banyak pula kekuatannya yang terhisap.
"Aaakh...!"
Hingga akhirnya Randataka menjerit keras melengking tinggi. Dan pada saat itu juga....
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kanannya yang menggenggam pedang ke depan. Dan dari ujung mata pedang itu memancar sinar biru yang menggumpal berkilauan, langsung menghantam tubuh Randataka. Dan....
Blarrr...!
Satu ledakan dahsyat seketika terdengar begitu keras menggelegar, membuat tanah yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa. Saat itu juga, terlihat Rangga melompat ke belakang sambil mencabut aji kesaktiannya. Dan pada saat yang bersamaan, terlihat tubuh Randataka meledak hancur hingga menjadi kumpulan debu.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.
Cring!
Pendekar Rajawali Sakti kembali memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Saat itu juga, cahaya biru yang membuat sekitarnya jadi terang-benderang bagai siang hari, lenyap seketika setelah pedang pusakanya tersimpan kembali dalam warangka. Tampak sekitar satu setengah batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti, seonggok debu dari tubuh si Malaikat Pencabut Nyawa yang hancur akibat terkena ilmu kesaktian aji Cakra Buana Sukma.
Beberapa saat Rangga masih berdiri tegak, memandangi onggokan debu dari tubuh Randataka. Saat itu, terlihat Pandan Wangi berlari-lari kecil menghampiri, diikuti yang lain. Mereka semua berdiri di depan Pendekar Rajawali Sakti, kecuali Pandan Wangi yang langsung mengambil tempat di sebelah kanannya.
"Terima kasih, Rangga. Kau telah menyelamatkan desa ini dari kehancuran," ucap Ki Langkas, seraya menjura memberi hormat.
Rangga hanya tersenyum saja sedikit, dengan kepala terangguk kecil membalas salam penghormatan kepala desa itu. Namun sesaat kemudian, perhatiannya beralih pada Ki Anjir yang memandangi onggokan debu dari tubuh Malaikat Pencabut Nyawa. Tampak jelas kalau raut wajah orang tua itu terselimut duka yang sangat dalam.
"Kau tidak melihat ke dalam dulu, Ki...? Aku tadi tidak sempat mengetahui keadaan anak dan istrimu," Rangga mengingatkan Ki Langkas.
"Oh...?!" Ki Langkas tersentak begitu diingatkan. Bergegas kakinya melangkah masuk ke dalam rumahnya tanpa berbicara lagi, diikuti dua orang pemuda yang memang murid Ki Langkas sendiri.
Sementara, Ki Anjir masih berdiri mematung tidak jauh dari tumpukan debu tubuh Malaikat Pencabut Nyawa. Di sebelahnya, tampak Julak juga berdiri mematung. Tapi, pandangan matanya, justru merayapi wajah Ki Anjir yang kelihatan begitu mendung. Rangga segera melangkah menghampiri orang tua ini. Dan tidak jauh, terlihat Ki Andong hanya memandangi saja, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
"Ki...," lembut sekali suara Rangga terdengar. Ki Anjir mengangkat wajahnya, dan langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali Sakti. "Maaf, aku terpaksa...," ucap Rangga, terdengar terputus suaranya.
"Aku mengerti, Rangga," sambut Ki Anjir pelan. "Memang sudah sepantasnya dia menerima ganjarannya."
"Tapi kelihatannya kau begitu sedih, Ki. Apa hubunganmu dengan Randataka?" tanya Rangga ingin tahu.
"Dia menantuku, Rangga. Juga, murid kesayanganku. Seluruh ilmu yang kumiliki sudah diwarisinya. Bahkan tanpa kuketahui, ilmu-ilmu yang diperolehnya dari sebuah goa yang tidak jauh dari tempat tinggalku dipelajarinya. Aku sendiri tidak tahu, kalau goa itu menyimpan banyak sekali catatan dari ilmu-ilmu kepandaian tingkat tinggi. Dan aku baru tahu, setelah pedang pusaka keturunan leluhurku dicurinya...," dengan suara pelan dan agak tersendat, Ki Anjir menceritakan.
Rangga mengangguk-angguk beberapa kali. Bisa dipahami, kenapa Ki Anjir jadi kelihatan berduka setelah Randataka yang dikenal berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa tewas jadi debu akibat terkena aji Cakra Buana Sukma tingkat terakhir yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan ternyata, Randataka menantu Ki Anjir. Pantas saja orang tua itu selalu memburunya.
Randataka bukan hanya menantu, tapi juga murid terpandainya. Dan dia pergi, setelah mencuri pedang pusaka milik keluarga orang tua itu. Sebuah pedang perak yang sangat dahsyat pamornya. Tapi, masih ada satu ganjalan dalam hati Pendekar Rajawali Sakti, yang tidak bisa ditahan lagi rasa keingintahuannya.
"Ki! Kau tahu, kenapa Randataka ingin menghancurkan desa ini...? Bahkan sepertinya begitu benci pada para pendekar," tanya Rangga mengungkapkan rasa penasarannya.
"Entahlah...," desah Ki Anjir perlahan. "Aku sendiri tidak tahu. Aku bertemu dengannya, waktu berusia sekitar sepuluh tahun. Waktu itu, tubuhnya kurus sekali. Dan hampir saja mati kelaparan. Aku tidak pernah tahu asal-usulnya, namun tidak pernah menanyakan. Selama ini, sikapnya selalu baik. Bahkan begitu penurut. Sedikit pun tidak pernah dia membantah setiap yang kukatakan. Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja perangainya jadi berubah begitu. Padahal, istrinya sekarang ini sedang hamil tua...."
Kembali Rangga mengangguk-anggukkan kepala.
"Dia berasal dari desa ini, Ki Anjir...," selak Ki Andong tiba-tiba.
Bukan hanya Ki Anjir yang cepat berpaling, menatap orang tua Pemuka Desa Granggang ini. Tapi, Rangga dan Pandan Wangi juga langsung menatapnya. Ki Andong melangkah beberapa tindak mendekati, dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi di depan Ki Anjir.
"Sebenarnya, dia keturunan orang baik-baik. Orang tuanya petani. Waktu kecil, telah terjadi malapetaka yang membuat seluruh keluarganya tewas..." Ki Andong mulai menceritakan keadaan si Malaikat Pencabut Nyawa.
Sementara Rangga, Pandan Wangi, Ki Anjir, dan Julak hanya diam saja mendengarkan. Memang, Julak sendiri tidak tahu. Dia selama ini ikut bersama Ki Anjir, karena ingin membalas dendam pada Malaikat Pencabut Nyawa itu. Seluruh keluarganya dibantai habis. Padahal, keluarganya adalah dari golongan pendekar. Tapi memang kepandaian yang dimiliki si Malaikat Pencabut Nyawa sangat tinggi, hingga berhasil mengalahkan para pendekar yang ditemui selama perjalanannya ke Desa Granggang.
"Waktu itu, telah terjadi pertarungan antara tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi di sebelah utara Desa Granggang ini. Sedangkan rumah orang tua Randataka, tidak jauh dari tempat pertarungan itu. Entah kenapa, tiba-tiba saja rumah itu terbakar habis. Dan ketika rumah itu terbakar, seluruh keluarga Randataka ada di dalam. Hanya Randataka sendiri yang saat itu berada di luar bersama kami semua, menyaksikan pertarungan antara para pendekar. Randataka berusaha mendekati rumah yang terbakar, namun kami berusaha mencegah demi keselamatan dirinya," Ki Andong berhenti sebentar.
Sedangkan mereka yang mendengarkan ceritanya tidak mengeluarkan suara sedikit pun juga.
"Sejak peristiwa itu, sikap Randataka jadi berubah. Dia lebih banyak berdiam dan menyendiri. Bahkan sering kali berkelahi dengan teman sebayanya tanpa sebab. Hingga akhirnya, dua orang temannya dibunuh ketika sedang menggembalakan domba. Sejak itu, Randataka tidak pernah lagi terlihat. Kami semua tidak tahu, kalau di dalam hatinya tersimpan dendam yang begitu mendalam. Kematian seluruh keluarganya dianggapnya karena kesalahan kami semua yang tidak melarang para pendekar bertarung di dekat rumahnya. Makanya, dia juga mendendam pada para pendekar yang menyebabkan rumah serta seluruh keluarganya habis terbakar."
"Aku benar-benar tidak tahu kalau masa lalunya begitu kelam...," desah Ki Anjir pelan. "Padahal, dia anak baik, rajin, dan penurut. Sungguh tidak kusangka kalau di dalam hatinya tersimpan bara api dendam."
"Semua sudah terjadi, Ki. Walaupun perbuatannya salah, tapi aku tetap tidak akan menyalahkannya. Semua orang pasti akan berbuat hal yang sama," ujar Ki Andong bijaksana.
"Ya.... Dendam memang sulit sekali dihilangkan dari dalam hati," desah Ki Anjir.
Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. Dan di saat mereka semua terdiam, muncul Ki Langkas dari dalam rumah. Kepala desa itu langsung menghampiri mereka yang masih berada di halaman depan rumahnya.
"Bagaimana keadaan anak dan istrimu, Ki?" Ki Andong langsung saja melontarkan pertanyaan, begitu Ki Langkas dekat.
"Ketika kutemukan, mereka dalam keadaan terikat. Tapi, tidak apa-apa," sahut Ki Langkas seraya tersenyum. "Terima kasih, Rangga. Kau telah menyelamatkan nyawa keluargaku. Sedikit saja terlambat, habislah sudah...."
Rangga hanya menyambut dengan senyuman saja. Ki Langkas kemudian mengajak mereka semua masuk ke dalam rumah. Memang tidak ada yang bisa menolak lagi. Sedangkan saat ini, malam sudah begitu jauh menyelimuti seluruh Desa Granggang. Sementara udara di luar juga terasa begitu dingin. Mereka semua kemudian masuk ke dalam rumah kepala desa itu.

***

TAMAT

97. Pendekar Rajawali Sakti : Malaikat Pencabut NyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang