BAGIAN 5

358 19 0
                                    

Rangga benar-benar menyesal dengan membiarkan Malaikat Pencabut Nyawa melarikan diri. Padahal, bisa saja orang itu dikejarnya tadi. Tapi semua penyesalan itu tidak ada gunanya lagi. Dan entah, berapa orang lagi yang akan menjadi korban kebiadaban Malaikat Pencabut Nyawa.
Semua orang di Desa Granggang ini diliputi kecemasan. Mereka takut kalau-kalau pembantai biadab itu datang lagi dan menghabisi nyawa mereka. Kini, Malaikat Pencabut Nyawa tidak pilih-pilih lagi. Siapa saja yang berusaha menghalangi, tidak ada ampun lagi. Sejak kematian Ki Rampat, sudah tiga orang Tetua Desa Granggang yang tewas secara beruntun dan mengerikan.
Bukan mereka saja yang terbunuh, tapi seluruh keluarga dan murid-murid juga terbantai. Dan sekarang, tinggal Ki Andong saja yang masih hidup bersama Ki Langkas. Sedangkan gerakan yang dilakukan Malaikat Pencabut Nyawa benar-benar sulit diduga. Tidak ada yang bisa menduga, kapan kemunculannya, dan kapan pula perginya. Gerakannya bagaikan hantu yang bisa saja muncul tanpa menghiraukan waktu dan keadaan.
Hal ini tentu saja membuat Ki Langkas semakin bertambah berang. Sementara Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Anjir yang berada di desa itu juga tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada seorang pun yang tahu, di mana tempat persembunyian si Malaikat Pencabut Nyawa, jika tidak muncul ke desa ini, yang semakin dicekam ketakutan.
"Tindakannya seperti orang yang sedang membalas dendam...," gumam Rangga, ketika sedang duduk seorang diri di halaman belakang rumah Ki Langkas.
Sejak pertarungannya dengan Malaikat Pencabut Nyawa malam itu, Rangga terlihat lebih sering menyendiri. Dia berusaha mencari tahu latar belakang tindakan brutal si Malaikat Pencabut Nyawa itu.
"Aku juga menduga begitu, Kakang...."
"Eh...?!"
Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari belakangnya. Cepat kepalanya diputar berpaling. Sungguh tidak diketahuinya kalau ada seorang gadis cantik sudah berdiri dekat sekali di belakangnya, yang memang Intan, putri satu-satunya Ki Langkas.
"Boleh aku menemanimu...?" pinta Intan lembut.
Rangga hanya tersenyum saja, lalu menggeser duduknya sedikit. Intan mengambil tempat agak jauh di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Halaman belakang rumah Ki Langkas memang cukup besar. Di situ juga ada beberapa buah bangku panjang dari bambu.
"Maaf, tadi aku mengejutkanmu," ucap Intan.
"Ah, tidak...," sahut Rangga seraya tersenyum, membalas senyuman manis gadis itu.
"Aku juga tadi menyebutmu Kakang. Boleh...?"
"Sama sekali aku tidak keberatan. Aku senang kalau kau mau memanggilku begitu," sambut Rangga terbuka.
"Terima kasih," ucap Intan seraya tersenyum.
Begitu manis senyumnya. Tapi Rangga tidak sempat lagi memperhatikan. Pandangannya sudah tertuju lurus ke depan, memperhatikan kupu-kupu yang bermain-main di antara kelopak bunga. Intan juga mengarahkan pandangan ke sana. Entah, kenapa dia jadi tersenyum sendiri.
"Aku dengar, kau sempat bertarung melawan Malaikat Pencabut Nyawa. Benar, Kakang...?" ujar Intan lagi, setelah beberapa saat terdiam.
Rangga hanya mengangguk saja sedikit.
"Seperti apa rupanya? Apakah wajahnya mengerikan seperti setan, Kakang...?" tanya Intan lagi.
"Tampan, seperti bayi yang baru lahir dan tidak punya dosa sama sekali," sahut Rangga seadanya.
"Kepandaiannya juga tinggi?" tanya Intan lagi.
Lagi-lagi Rangga hanya mengangguk saja sedikit.
"Aku jadi penasaran. Seperti apa sih dia...," desis Intan seperti bicara pada diri sendiri.
"Kau akan tahu nanti, kalau dia sudah tertangkap," sahut Rangga pelan.
"Justru itu, Kakang. Aku ingin tanganku sendiri yang menangkapnya. Bahkan kalau perlu memenggal kepalanya, untuk membayar nyawa paman-pamanku," agak terdengar geram nada suara Intan.
"Dia bukan orang sembarangan, Intan. Kepandaiannya sangat tinggi. Aku sendiri tidak yakin, apakah mampu menghadapinya atau tidak. Bahkan mereka yang menjadi korbannya, bukanlah orang-orang sembarangan. Kepandaian mereka sangat tinggi. Dengan demikian dia pasti memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi lagi daripada para korbannya," kata Rangga mencoba menjelaskan keadaan sebenarnya yang sedang terjadi.
"Setinggi apa pun tingkat kepandaiannya, pasti ada kelemahannya juga, Kakang."
"Yahhh, memang...," sahut Rangga mendesah.
"Hm...," Intan menggumam kecil.
Rangga kini terdiam. Pandangannya terus tertuju ke depan. Gadis yang duduk di sebelahnya juga membisu. Dipandanginya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Entah kenapa, jantungnya jadi berdetak kencang begitu bertemu pandang, setelah Rangga berpaling. Intan buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan tidak sanggup menerima sorotan mata Pendekar Rajawali Sakti yang sebenarnya terasa begitu lembut. Tapi hal itu justru membuat jantungnya berdetak kencang tak terkendalikan.
"Kakang! Tadi kau mengatakan kalau perbuatannya dilandasi rasa balas dendam. Aku juga berpikir begitu," kata Intan, untuk menghilangkan gemuruh di dadanya.
"Ini baru dugaan saja, Intan."
"Tapi ayah tidak mau menerima, Kakang. Aku sudah mengatakannya, malah ayah membentakku dan mengatakan kalau ini bukan urusanku."
"Ayahmu benar, Intan. Memang sebaiknya kau jangan ikut campur dalam persoalan ini. Tapi...."
"Tapi kenapa, Kakang?"
"Kira-kira, apa yang membuat rasa dendam pada dirinya...?" suara Rangga terdengar menggumam, seperti bertanya pada diri sendiri. Intan hanya membisu saja. Dia sendiri tidak tahu, apa yang menjadi pangkal semua persoalan ini. Sedangkan dia sendiri belum tahu, seperti apa orang yang berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa yang telah menggemparkan Desa Granggang ini, hingga terus-menerus dicekam rasa ketakutan.
"Aku tahu jawabannya, Kakang...!" sentak Intan tiba-tiba.
"Oh, ya...?!" Rangga jadi tersentak kaget. "Apa...?"
"Jawabannya ada pada Ki Anjir."
"Heh...?! Kenapa begitu?"
"Tanyakan saja padanya, Kakang. Aku yakin, Ki Anjir pasti lebih tahu."
"Hm...."
Rangga melihat kalau Intan mempunyai otak cerdas. Gadis itu seperti bisa melihat sesuatu yang tidak pernah terpikirkan orang lain. Dan pembicaraannya bersama Intan sore ini di halaman belakang rumahnya, membuat Rangga jadi berpikir keras. Sedangkan Intan sendiri kelihatan tersenyum-senyum, seperti sedang menguji kecerdasan otak Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau sama saja seperti ayah, Kakang. Terlalu memusatkan perhatian pada si Malaikat Pencabut Nyawa, tapi tidak mau melirik sedikit pada hal-hal yang kelihatannya kecil. Padahal, dari sesuatu yang kecil itu bisa didapat yang lebih besar lagi," kata Intan seperti mengejek.
"Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu, Intan," ujar Rangga berterus-terang.
"Sungguh...?" Intan seperti bermain-main.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Pendekar Rajawali Sakti memang benar-benar tidak mengerti semua yang dikatakan gadis itu. Kata-katanya seperti tengah memberi persoalan baru yang tidak kalah rumitnya. Dan Intan malah tersenyum lebar, namun begitu manis.
"Katakan, Intan. Apa maksudmu...?" pinta Rangga.
"Heran.... Padahal, Ki Anjir mengatakannya di depanmu dan yang lainnya. Juga, ayah. Tapi, kenapa tidak ada yang bisa memahami...? Sedangkan aku yang hanya mendengar dari cerita Paman Andong saja, sudah bisa tahu," ujar Intan masih bermain-main.
"Apa yang dikatakan Ki Anjir?" tanya Rangga ingin tahu.
"Kau tidak ingat apa yang dikatakannya, Kakang...?"
Rangga menggelengkan kepala saja.
"Waktu pertama kali ayah menemuimu dan Ki Anjir di perbatasan desa, dan setelah kau berada di sini bersama Ki Anjir. Pasti kau ingat, apa yang dikatakannya," kata Intan lagi.
Rangga terdiam merenung. Keningnya terlihat berkerut cukup dalam, berusaha mengingat-ingat perkataan Ki Anjir, dan yang sudah didengarnya. Sesat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam wajah Intan. Maka gadis itu jadi tersipu, dan cepat-cepat memalingkan wajahnya yang tiba-tiba saja jadi memerah. Saat itu terdengar suara ayunan langkah kaki yang ringan sekali. Rangga memalingkan wajah perlahan-lahan, dan segera berdiri begitu melihat Ki Langkas datang menghampiri bersama Ki Anjir dan Pandan Wangi. Rangga juga cepat-cepat berdiri, setelah mengetahui ada yang datang.
"Kakang, Ki Anjir sudah menemukan tempat persembunyian si Malaikat Pencabut Nyawa," kata Pandan Wangi langsung memberi tahu, begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh, ya...? Di mana...?" tanya Rangga agak terkejut.
"Sebelah timur dari desa ini. Adanya di dalam hutan, masuk ke dalam lembah kecil," sahut Ki Anjir.
"Hm, lalu...?"
"Aku akan segera ke sana. Julak masih ada di sana mengawasi," sahut Ki Anjir lagi.
"Tapi aku mengusulkan agar kita pergi bersama-sama, Kakang," selak Pandan Wangi.
"Hm, ya.... Memang itu lebih bagus lagi," sahut Rangga langsung menyetujui.
"Aku ikut..!" selak Intan cepat.
"Tidak!" sentak Ki Langkas langsung tegas.
Intan langsung memberengut. Gadis itu tidak bisa lagi memaksa, melihat raut wajah ayahnya agak memerah dan kedua bola matanya mendelik, seperti hendak melesat keluar. Dia tahu, kalau raut wajah ayahnya sudah seperti itu, tidak mungkin lagi bisa didesak. Walaupun, dengan sikap dan rayuan manja.
"Sudah sore. Sebaiknya segera saja kita berangkat ke sana," ujar Ki Langkas sambil melirik tajam anak gadisnya.
"Memang itu keinginanku, Ki. Aku khawatir pada Julak," sahut Ki Anjir.
"Ayolah," ajak Ki Langkas lagi. Tanpa bicara lagi, mereka bergegas melangkah meninggalkan halaman belakang rumah kepala desa itu.
Tinggallah Intan yang masih tetap berdiri mematung dengan wajah memberengut kesal. Ingin sekali dia ikut, tapi ayahnya sudah tegas-tegas melarang. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, walaupun hatinya begitu kesal.

97. Pendekar Rajawali Sakti : Malaikat Pencabut NyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang