BAGIAN 7

347 19 0
                                    

Menjelang tengah malam, mereka baru tiba di Desa Granggang. Keadaan desa itu kelihatan sangat sunyi, tidak ada seorang pun terlihat berada di luar rumahnya. Sejak terjadi beberapa pembunuhan yang menewaskan lima orang pemuka desa itu, tidak ada lagi penduduk yang mau keluar dari dalam rumahnya kalau sudah malam. Hingga, keadaan desa itu jadi seperti desa mati yang tidak berpenghuni lagi.
Mereka langsung menuju rumah Ki Langkas yang kelihatan terang-benderang. Tapi, tidak terlihat ada seorang pun di sekitar rumah itu. Keadaan yang sangat sunyi ini, membuat hati Rangga jadi bertanya-tanya. Saat itu juga, timbul satu kecurigaan dalam hatinya.
"Berhenti dulu...," pinta Rangga, begitu mereka hampir memasuki pintu pagar halaman rumah yang terbuat dari bambu. Mereka langsung berhenti, tanpa membuka suara sedikit pun juga. Di dalam hati masing-masing juga sudah dipenuhi kecurigaan oleh keadaan yang sangat sunyi seperti ini. Saat semua terdiam membisu, tiba-tiba saja Ki Langkas tersentak....
"Mau ke mana, Ki...?!" Rangga langsung mencekal pergelangan tangan kepala desa itu, ketika baru saja hendak melangkah.
"Anakku.... Intan ada di dalam bersama ibunya," kata Ki Langkas bernada cemas.
"Oh...?!" Rangga jadi tersedak. Baru dia ingat kalau Ki Langkas meninggalkan anak dan istrinya di rumah. Tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cekalan tangannya. Tapi, Ki Langkas hanya memandangi saja, seakan ingin agar pemuda itu melakukan sesuatu.
"Kalian tunggu di sini. Jangan ada yang mendekati rumah," kata Rangga, tanpa berpaling sedikit pun.
Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melesat mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekap mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah berada dalam beranda rumah kepala desa itu, tepat di depan pintu yang tertutup rapat.
Perlahan Rangga melangkah mendekati pintu. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menajamkan telinga, mencoba mendengarkan sesuatu dari dalam. Dengan mengerahkan aji Pembeda Gerak dan Suara, dia mendengar tarikan-tarikan napas yang agak memburu dari dalam rumah ini. Sulit untuk bisa menerka, berapa orang yang ada di dalam. Namun dia tahu, di antara tarikan-tarikan napas itu terdengar tarikan napas yang sangat halus, dan hampir saja tidak tertangkap pendengarannya.
"Hm...." Perlahan Rangga menjulurkan tangannya, mendorong pintu yang tertutup rapat itu. Kewaspadaannya semakin meningkat, saat mengetahui kalau pintu itu tidak terkunci. Pintu itu terus didorong perlahan-lahan sampai terbuka lebar. Tapi, tidak terlihat seorang pun di balik pintu ini, kecuali hanya ruangan depan yang cukup luas dan terang-benderang oleh nyala api sebuah pelita yang tergantung di tengah-tengah.
"Intan...," panggil Rangga dengan suara agak terdengar pelan.
Tidak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Rangga mulai mengayunkan kakinya perlahan-lahan memasuki rumah ini. Tapi baru saja melewati ambang pintu, mendadak saja sesosok tubuh terlihat meluncur deras ke arahnya, dari balik pintu penyekat ruangan depan dengan ruangan tengah ini.
"Hap...!"
Rangga cepat-cepat memiring ke kiri, sehingga sosok tubuh itu tidak sampai menghantam tubuhnya. Sosok tubuh itu langsung menghantam daun pintu yang terbuka hanya setengah. Begitu keras sekali, sehingga daun pintu itu sampai hancur berkeping-keping. Sedangkan sosok tubuh itu langsung jatuh terguling di lantai.
"Heh...?!"
Kelopak mata Rangga jadi terbeliak lebar begitu melihat sosok tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi. Dan tepat pada bagian tengah kepala dan keningnya tampak terbelah. Darah juga masih mengucur deras sekali, pertanda orang itu belum lagi lama mati. Melihat luka yang menganga lebar dan hampir membelah kepala menjadi dua bagian, Rangga langsung tahu kalau rumah kepala desa ini sudah dikuasai Malaikat Pencabut Nyawa.
Rangga tahu, anak muda yang menggeletak tak bernyawa itu adalah salah seorang penjaga rumah Ki Langkas. Seketika darahnya jadi bergolak mendidih. Perasaannya sudah tidak tahan lagi melihat kekejaman Malaikat Pencabut Nyawa. Dengan wajah memerah menahan kemarahan, Pendekar Rajawali Sakti melangkah mantap melintasi ruangan depan yang cukup luas ini. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, kembali terlihat sesosok tubuh melayang deras ke arahnya.
"Keparat! Hih...!" Rangga jadi mendesis geram, melihat perbuatan si Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti menghindari terjangan tubuh yang sudah tidak bernyawa. Jadi, sudah dua orang dilemparkannya dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
"Hap! Yeaaah...!"
Kemarahannya benar-benar sudah memuncak sampai ujung kepalanya. Tanpa menghiraukan lagi kalau sedang berada di rumah kepala desa, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja menghentakkan kedua tangannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar.
Slap!
Seketika itu juga, dari kedua tangannya yang terkepal meluncur cahaya merah menyala bagai api. Dan cahaya merah itu langsung meluruk deras bagai kilat menerobos pintu penyekat dua ruangan ini. Dan....
Glarrr!
Terdengar ledakan dahsyat, sehingga membuat seluruh dinding rumah ini jadi bergetar bagaikan hendak roboh. Tampak kilatan api menyemburat dari dalam ruangan itu. Rangga cepat melompat ke belakang tiga langkah. Dan pada saat itu juga tubuhnya langsung melesat ke atas menjebol atap, begitu telinganya mendengar desir angin yang sangat halus dari bagian tengah rumah ini.
"Hiyaaa...!"
Brak!
Pendekar Rajawali Sakti meluncur cepat bagai kilat keluar dengan menjebol atap. Tepat pada saat itu, sebuah bayangan putih keperakan juga melesa keluar menjebol atap. Tampak dua sosok tubuh melayang di udara secara bersamaan. Dan hampir berbarengan pula, mereka menjejakkan kaki di atas atap rumah kepa-la desa ini.
"Hap!"
Rangga langsung menyilangkan tangan kanannya ke depan dada, begitu melihat di depannya telah berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh tahunan. Bajunya putih keperakan yang cukup ketat. Wajahnya terlihat cukup tampan, tapi memiliki sorot mata dan senyuman yang memancarkan kekejaman.
Sret!
Cring!
Saat itu juga, pemuda yang tidak lain si Malaikat Pencabut Nyawa itu mencabut pedangnya. Seketika membersitlah cahaya putih keperakan dari pedang itu. Rangga sedikit melangkah ke belakang dua tindak, karena sudah merasakan bagaimana dahsyatnya pedang itu.
"Huh! Rupanya kau masih bisa hidup juga...!" dengus Malaikat Pencabut Nyawa dingin menggetarkan.
"Dewata belum mengizinkan aku mati, sebelum kau pergi ke neraka," sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Akan kulihat, sampai di mana kemampuanmu, Setan Keparat!" dengus Malaikat Pencabut Nyawa.
Rangga hanya tersenyum sinis saja. Perlahan kakinya bergeser ke kanan, bersamaan bergeraknya kaki si Malaikat Pencabut Nyawa ke kiri. Jarak mereka hanya sekitar setengah batang tombak saja. Sehingga sorot mata mereka bisa memancar langsung saling menatap, seakan tengah mengukur tingkat kepandaian lawan masing-masing.
"Hap! Yeaaah...!"
Wuk!
Sambil berteriak keras menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa mengebutkan pedangnya ke depan. Rangga mengira kalau lawannya hendak menyerang, hingga cepat menarik kakinya ke belakang satu langkah. Tapi, ternyata si Malaikat Pencabut Nyawa hanya menggertak saja. Dan pada saat Rangga sempat terjebak itu, dengan kecepatan kilat Malaikat Pencabut Nyawa mengebutkan tangan kirinya ke depan. Saat itu juga, dari tangan kirinya mengulur dua buah benda berbentuk pisau kecil berwarna putih keperakan, langsung meluruk deras bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap...!"
Tapi hanya mengegoskan tubuh sedikit saja, Rangga bisa menghindari serangan gelap Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, cepat bagai kilat si Malaikat Pencabut Nyawa sudah melompat sambil mengebutkan pedangnya kearah kepala Pendekar Rajawali Sakti disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"
Cepat-cepat Rangga menarik kepalanya ke belakang, sehingga tebasan pedang bercahaya keperakan itu tidak sampai membelah kepalanya, dan hanya lewat sedikit saja di depan wajahnya. Rangga segera menarik kakinya ke belakang satu langkah, sebelum si Malaikat Pencabut Nyawa melancarkan serangan lagi.
"Hup! Hiyaaat...!"
Rupanya, Malaikat Pencabut Nyawa tidak sudi lagi memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti itu untuk menyiapkan serangan. Begitu Rangga menarik kakinya selangkah, cepat sekali pedangnya diputar sambil melompat ke depan.
"Hap!"
Rangga segera meliukkan tubuhnya, menghindari tebasan pedang yang bergerak secara berputar dengan cepat itu. Lalu tubuhnya segera melenting ke udara, tepat di saat si Malaikat Pencabut Nyawa membabatkan pedangnya ke arah kaki.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat, Rangga meluruk deras dengan kedua kaki bergerak cepat pula, mengarah ke bagian atas kepala si Malaikat Pencabut Nyawa. Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hap! Yeaaah...!"
Bet!
"Hup!"
Rangga cepat-cepat menarik kakinya, begitu Malaikat Pencabut Nyawa memutar pedangnya ke atas kepala. Dan pada saat itu juga, tubuhnya berputar hingga kepalanya berada di bawah, sedangkan kakinya tegak lurus ke atas. Dan seketika itu juga, dilepaskannya satu pukulan dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.
"Hiyaaa...!"
"Ikh...!"
Malaikat Pencabut Nyawa jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, menghindari pukulan yang dilepaskan Rangga tanpa dapat diduga sama sekali.
"Hap!"
Rangga segera menjejakkan kakinya kembali di atas atap rumah Ki Langkas ini, begitu pukulannya tidak mencapai sasaran. Dan pada saat itu juga, tubuhnya direndahkan. Lalu, cepat sekali tangannya menghentak ke depan dengan telapak tangan terkembang lebar.
"Yeaaah...!"
Slap!
"Heh...?! Hup!"
Untuk kedua kalinya, si Malaikat Pencabut Nyawa jadi tersentak mendapat serangan yang begitu cepat. Bergegas tubuhnya miring ke kanan, saat dari telapak tangan Rangga meluncur secercah cahaya merah bagai api. Pendekar Rajawali Sakti memang mengerahkan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir, sehingga tangannya jadi berwarna merah bagai terbakar.
Hiyaaat...!"
Begitu terlepas dari maut, Malaikat Pencabut Nyawa segera melenting ke atas. Lalu, sekali tubuhnya meluruk sambil membabatkan pedang ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Bet!
"Haiiit...!"
Rangga cepat-cepat merunduk, hingga tebasan pedang bercahaya keperakan itu hanya lewat sedikit saja di tas kepala. Lalu cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah, tepat di saat si Malaikat Pencabut Nyawa menjejakkan kakinya kembali di atas atap ini.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga, Malaikat Pencabut Nyawa melesat turun ke bawah dengan gerakan cepat dan ringan sekali. Rangga yang kali ini tidak mau lagi kecolongan, langsung saja melesat mengejar. Dan hampir bersamaan, mereka mendarat di tanah, tepat di tengah-tengah halaman depan rumah kepala desa ini.
Sementara Ki Langkas, Ki Andong, Pandan Wangi, Ki Anjir, dan Julak serta dua orang pemuda sudah berada di dalam halaman rumah kepala desa itu. Tapi, mereka tidak mau mendekati dua pemuda yang sedang berdiri tegak berhadapan dengan sikap hendak bertarung. Sejak tadi, mereka tidak berkedip memperhatikan jalannya pertarungan di atas atap. Dan kini, mereka bisa lebih jelas lagi melihat, setelah kedua pemuda itu sudah berdiri tegak di tanah saling berhadapan.
"Cabut senjatamu, Setan Keparat..!" bentak Malaikat Pencabut Nyawa agak kasar terdengar nada suaranya.
"Hhh! Aku belum perlu menggunakan senjata...," sambut Rangga dingin.
"Phuih! Jangan menyesal kalau kau mampus tanpa sempat memegang senjata, Keparat!" dengus Malaikat Pencabut Nyawa geram, merasa diremehkan.
Tapi memang diakui oleh Malaikat Pencabut Nyawa, kalau tingkat kepandaian yang dimiliki Rangga sangat tinggi. Hingga, dia mendapat kesulitan menghadapinya. Belum pernah dialami, pertarungan yang sampai lebih dari lima jurus begini. Dan biasanya, lawan-lawannya sudah gentar lebih dahulu sebelum pedangnya dicabut.
Tapi menghadapi Rangga, Malaikat Pencabut Nyawa harus menguras tenaganya. Dan dalam beberapa jurus pertarungan di atas atap tadi, sudah membuat tubuhnya bermandikan keringat. Selagi mereka berdiri saling berhadapan dan bertatapan tajam, tiba-tiba saja terdengar suara yang begitu keras dari arah belakang Pendekar Rajawali Sakti.
"Randataka...!"
"Heh...?!"
Malaikat Pencabut Nyawa tampak terkejut begitu melihat Ki Anjir sudah melangkah menghampiri dengan ayunan kaki lebar-lebar dan cepat. Laki-laki tua itu berhenti tepat di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kembalikan pedang itu padaku, Randataka. Kau tidak berhak memilikinya. Sadarlah..., semua tindakanmu itu salah. Kau tidak bisa menguasai dunia dengan cara seperti itu," bujuk Ki Anjir.
"Menyingkirlah, Ki. Jangan ikut campur urusanku...!" agak keras suara Malaikat Pencabut Nyawa yang dipanggil Randataka oleh Ki Anjir tadi.
"Jauh-jauh aku datang hanya untuk bertemu denganmu, Randataka. Aku akan mengajakmu pulang, dan melupakan semua yang telah kau lakukan selama ini. Ingatlah, Randataka. Istrimu menunggu di rumah," desak Ki Anjir, masih bernada membujuk.
"Jangan coba-coba membujukku, Ki. Pergilah...! Biarkan aku menyelesaikan persoalan dulu. Aku janji, akan menyerahkan pedang ini padamu setelah urusanku selesai di sini," tolak Randataka.
"Ada urusan apa kau di sini, Randataka?" tanya Ki Anjir jadi ingin tahu.
"Aku sudah bersumpah sejak dulu, Ki. Aku akan membantai mereka semua yang telah menghina seluruh keluargaku. Bahkan menyebabkan ayah ibuku, serta adikku meninggal. Aku akan menagih hutang pada semua orang di desa ini. Dengar itu, Ki. Aku harus menagih hutang nyawa keluargaku...!" keras sekali suara Randataka yang selama ini dikenal berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa.
"Apa sebenarnya yang terjadi, Randataka?" tanya Ki Anjir lagi, meminta penjelasan.
"Tanyakan saja pada orang tua rakus itu!" dengus Randataka sambil menuding Ki Langkas dan Ki Andong yang berdiri berdampingan.
Tampak kedua orang tua itu hanya membisu saja. Mereka seperti tengah bermimpi, begitu Ki Anjir memanggil nama asli si Malaikat Pencabut Nyawa. Seakan-akan, mereka baru tersadar siapa pemuda yang telah membantai lima orang pemuka desa ini serta beberapa penduduk. Bahkan sebelum sampai ke desa ini, Randataka telah membunuh pendekar-pendekar beraliran putih. Bukan hanya dua tiga orang pendekar yang berhasil dikalahkannya, tapi sudah puluhan orang.
"Jangan halangi aku, Ki. Mereka berdua harus mati. Juga, semua orang di desa ini harus mati di tanganku," agak mendesis suara Randataka.
"Sudah cukup kau menyebarkan kematian, Randataka. Kembalilah..., pulang bersamaku," kata Ki Anjir tetap membujuk.
"Jangan membuat kesabaranku hilang, Ki. Minggir...!" bentak Randataka kasar.
"Randataka...!"
"Setan...! Hih!"
Bet!
"Awas, Ki...!" seru Rangga.
"Hup!"
Cring!
Wuk!
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Rangga untuk menyelamatkan nyawa Ki Anjir dari tebasan pedang Malaikat Pencabut Nyawa. Maka dengan kecepatan kilat, pedangnya dicabut dan langsung dikebutkan untuk menangkis sabetan pedang Malaikat Pencabut Nyawa.
Trang!
"Ikh...?!"
Randataka jadi terpekik kaget. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, begitu pedangnya membentur pedang Rangga yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan. Sementara, Rangga cepat melompat ke depan untuk melindungi Ki Anjir yang jadi terpaku oleh perbuatan Randataka barusan padanya. Sungguh tidak diduga kalau Randataka bisa begitu tega hendak membunuhnya.
"Menyingkirlah, Ki. Biar dia kulumpuhkan," kata Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.
"Phuih! Setan Keparat...! Mampus kau. Hiyaaat...!"
Randataka jadi geram setengah mati oleh campur tangannya Pendekar Rajawali Sakti. Sambil memaki dan berteriak lantang menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa melesat cepat bagai kilat sambil membabatkan pedang ke arah dada pemuda berbaju rompi putih itu.
Wuk!
"Haiiit..!"
Bet!
Cepat Rangga mengebutkan pedang, menangkis sabetan pedang Malaikat Pencabut Nyawa.
Trang!
Kembali dua pedang yang berpamor dahsyat berbenturan di depan dada Rangga. Dan pada saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke depan seraya membabatkan pedang ke arah kepala Malaikat Pencabut Nyawa.
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Hup! Yeaaah...!"
Wuk!
Randataka cepat-cepat mengebutkan pedangnya ke atas kepala, menangkis sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan. Dan kembali pedang mereka beradu keras, hingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah.
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sementara, Randataka melenting ke belakang dan berputaran tiga kali di udara, sebelum kakinya menjejak tanah lagi.
"Hap!"
Dengan pedang masih tergenggam di tangan kanan, Randataka mulai mengerahkan sebuah ilmu kesaktian. Sementara, Rangga juga sudah menyilangkan pedangnya di depan dada. Lalu, perlahan-lahan telapak tangan kirinya digosokkan pada mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dari gerakannya itu, sudah bisa dipastikan kalau Pendekar Rajawali Sakti tengah mengerahkan sebuah aji kesakitan yang selama ini sukar dicari tandingannya. Aji 'Cakra Buana Sukma' yang sangat dahsyat, dan belum pernah ada yang bisa mengalahkannya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Randataka yang selama ini dikenal berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa menghentakkan pedangnya ke depan. Dan secara bersamaan, tangan kirinya juga dihentakkan. Dan dari mata pedang serta telapak tangan kirinya, seketika itu juga memancar cahaya putih keperakan yang menyilaukan mata. Namun bersamaan dengan itu....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Slap!
Begitu Rangga menghentakkan pedang ke depan, saat itu juga melesat cahaya biru berkilauan yang menggumpal menghambat laju cahaya putih keperakan yang memancar dari pedang dan telapak tangan kiri Malaikat Pencabut Nyawa. Hingga pada titik tengah, kedua cahaya dahsyat itu bertemu. Dan....
Glarrr...!
Satu ledakan dahsyat seketika terdengar bagaikan hendak memecahkan seluruh alam ini. Tampak kilatan api menyambar ke segala arah, disertai kepulan asap putih dan biru membubung tinggi di angkasa. Saat itu juga terlihat Randataka terpental ke belakang sambil memekik keras agak tertahan.

***

97. Pendekar Rajawali Sakti : Malaikat Pencabut NyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang