Malam terus merambat, menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Granggang. Kesunyian begitu terasa mencekam. Hanya jerit serangga malam saja yang terdengar. Tapi keadaan di desa itu kelihatan terang-benderang, seperti tengah mengadakan sebuah pesta. Obor-obor terlihat menyala, terpancang di setiap sudut dan jalan-jalan di desa itu. Bahkan tidak satu rumah pun yang tidak menyalakan pelita.
Namun suasananya begitu sunyi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat. Dan itu pun tengah berjaga-jaga dengan senjata golok atau tombak. Mereka semua adalah anak muda yang menjadi murid enam orang pemuka desa ini. Suasana desa yang tidak biasanya ini, menjadi perhatian seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia tampak berdiri tegak di atas bukit sebelah timur Desa Granggang.
Pakaian laki-laki itu terlihat bersih dan bagus. Dan tampaknya, terbuat dari bahan sutera yang sangat halus berwarna putih keperakan. Tampak sebilah pedang tergantung di pinggangnya yang ramping, namun sangat berotot dan padat berisi. Sorot matanya terlihat sangat tajam, memandangi keadaan Desa Granggang dari atas bukit ini. Memang, terlihat jelas sekali keadaan desa itu dari atas bukit ini.
"Hm.... Ada enam orang yang harus kuhadapi di sana. Tapi..., yang paling utama adalah kepala desanya. Hmmm.... Dia bisa belakangan. Yang penting, pembantu-pembantunya dulu yang enam orang itu...," gumam pemuda itu bicara pada diri sendiri.
Pandangannya tertuju lurus pada sebuah rumah berukuran cukup besar. Berhalaman sangat luas, dan dipagari belahan bambu. Rumah itu kelihatan terang oleh cahaya pelita dan obor yang terpancang di setiap sudut halaman. Terlihat juga beberapa orang bersenjata golok tengah berjaga-jaga di sekitar halaman rumah itu.
"Ki Manik..., tunggulah. Aku akan datang malam ini," kembali pemuda itu menggumam perlahan.
Beberapa saat dia masih berdiri tegak di atas bukit itu, dan sebentar kemudian menghembuskan napas berat. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya melesat turun dari puncak bukit yang tidak seberapa tinggi itu. Sungguh cepat sekali gerakannya, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah berada di kaki bukit ini. Dan hanya tinggal beberapa batang tombak lagi jaraknya, gerbang perbatasan yang dijaga sekitar enam orang anak muda bersenjata tombak sudah terlihat. Pemuda itu berhenti sebentar, memandangi enam orang pemuda yang menjaga gerbang masuk ke Desa Granggang dari sebelah timur ini. Kemudian....
"Hup!" Hanya sekali lesatan saja, pemuda itu meluncur bagaikan sebatang anak panah lepas dari busurnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga gerakannya bisa seperti angin. Bahkan kedua telapak kakinya seperti tidak menjejak tanah sama sekali, seakan-akan berlari di atas angin.
"Hei, berhenti...!"
Baru saja pemuda tampan itu mendekati gerbang perbatasan ini, sudah terdengar bentakan yang cukup keras dan mengejutkan. Seketika gerakan larinya berhenti. Dan saat itu juga, terlihat enam orang anak muda yang menjaga gerbang perbatasan desa ini berlari-lari kecil menghampiri. Mereka baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan pemuda berbaju putih keperakan ini.
"Siapa kau?! Mau apa kau malam-malam datang ke sini...?!" tanya salah seorang dengan nada suara agak membentak.
"Hm...," pemuda itu hanya menggumam saja sedikit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, merayapi enam orang di depannya yang sudah mengarahkan tombak dan langsung diarahkan ke dada. Tapi pemuda berwajah cukup tampan dan memiliki sorot mata sangat tajam ini hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun juga. Padahal, enam buah ujung mata tombak begitu dekat di dadanya.
"Heh! Ditanya malah mendelik...!" bentak pemuda yang berada paling depan.
"Minggir! Aku tidak punya urusan dengan kalian!" pemuda berbaju putih keperakan itu malah balik membentak.
"Heh...?!" Enam orang pemuda itu jadi tersentak. Seketika mereka berlompatan ke belakang sejauh tiga langkah, mendengar bentakan yang begitu dingin dan datar sekali. Membuat jantung mereka seketika jadi bergetar.
"Minggir kataku! Jangan sampai kesabaranku hilang...!" bentak pemuda itu lagi, sedikit mengancam.
"Setan...! Berani kau kurang ajar di...!"
"Huh!" Belum juga habis bentakan itu, pemuda berbaju putih keperakan ini sudah mendengus. Dan tiba-tiba saja dia melesat begitu cepat sambil mencabut pedangnya. Bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan beberapa kali ke arah enam orang pemuda itu. Begitu cepat gerakannya sehingga enam orang pemuda yang berjaga di gerbang perbatasan ini hanya bisa terperangah saja.
Wuk! Bet!
Tidak terdengar lagi suara sedikit pun juga. Dan tahu-tahu enam orang anak muda berusia sekitar dua puluh tahun itu sudah ambruk bergelimpangan, setelah kepalanya terbabat hampir terbelah menjadi dua bagian. Seketika tanah tersiram darah yang mengucur deras dari kepala-kepala yang terbelah itu.
Cring!
"Huh!"
Sambil mendengus berat, pemuda berbaju putih keperakan ini memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka di pinggang. Kemudian kakinya melangkah tenang memasuki Desa Granggang, tanpa sedikit pun berpaling ke arah enam orang korbannya yang bergeletakan dengan kepala terbelah berhamburan darah. Ayunan kakinya begitu mantap dan tenang. Dan sorot matanya tidak berkedip sedikit pun juga, menatap lurus ke sebuah rumah berukuran cukup besar berhalaman luas yang dipagari belahan bambu.
Sejak dari atas bukit tadi, perhatiannya memang tidak terlepas dari rumah yang kelihatan terang-benderang oleh cahaya pelita dan obor ini. Dia baru berhenti melangkah, setelah tiba di bagian samping halaman rumah yang berpagar belahan bambu ini. Sebentar matanya beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya.
Pemuda itu berdiri tegak di balik sebatang pohon yang cukup besar, sehingga melindungi dirinya dari gemerlapnya cahaya api obor dan pelita. Malam ini, langit pun kelihatan begitu cerah, bertaburkan bintang dan cahaya bulan. Tapi sosok tubuh pemuda itu terlindung bayang-bayang pohon. Beberapa saat dia masih berdiri tegak di sana merayapi keadaan sekitarnya. Dan sebentar kemudian....
"Hup!"
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda itu. Sehingga hanya sekali lesatan saja, dia sudah bisa mencapai atap rumah ini. Namun baru saja menjejakkan kakinya di atas atap dengan ringan, sudah terdengar bentakan keras dari dalam rumah.
"Siapa itu...?!"
Pemuda berbaju putih keperakan itu jadi tersentak kaget setengah mati. Padahal, tadi ilmu meringankan tubuhnya sudah dikerahkan penuh. Bahkan sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak atap tadi. Tapi, rupanya masih saja ada yang mendengar. Dan belum juga rasa keterkejutannya bisa dihilangkan mendadak saja....
"Heh...?!"
Brus!
Brak!
"Hup...!"
Cepat sekali pemuda berbaju putih keperakan itu melenting, tepat ketika telinganya mendengar suara hembusan angin yang begitu kencang dari bawah atap ini. Dan pada saat itu juga, terlihat atap bangunan rumah besar itu hancur berkeping-keping, berhamburan tinggi ke udara dan menyebar ke segala arah.
Sementara pemuda itu berputaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali menukik turun. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kembali sepasang kakinya menjejak tanah. Namun pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat keluar dari atas atap. Bayangan putih itu berputaran beberapa kali di udara. Lalu dengan gerakan cepat dan indah sekali bayangan itu menukik turun, dan langsung mendarat manis sekitar dua batang tombak dari pemuda berbaju putih keperakan ini.
Ternyata bayangan yang baru keluar dari dalam rumah dengan menjebol atap tadi seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Bajunya jubah panjang berwarna putih. Dan dia adalah salah seorang Tetua Desa Granggang ini. Dan semua orang mengenalnya sebagai Ki Manik. Seutas cambuk berwarna hitam dan berbulu halus, tergenggam menggulung di tangan kanannya.
"Siapa kau...?!" terdengar begitu dalam nada suara Ki Manik.
"Aku malaikat yang akan mencabut nyawamu!" sambut pemuda itu. Jawabannya terdengar dingin sekali.
"Heh...?!" Ki Manik jadi terlonjak kaget. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat beberapa langkah ke belakang. Kedua bola matanya jadi berputaran, memandangi seluruh tubuh pemuda di depannya, seakan-akan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Bersiaplah menerima kematianmu, Ki Manik. Malaikat Pencabut Nyawa sudah datang menunaikan tugas," kata pemuda itu, masih dengan nada dingin sekali.
"Phuih! Walaupun berganti nama seribu kali, aku tahu kau yang sebenarnya, Randataka!" dengus Ki Manik agak gusar.
"Bagus...! Aku senang masih ada yang bisa mengenaliku. Buatlah kematianmu senyaman mungkin, Ki Manik. Malam ini juga, aku akan mencabut nyawamu."
Sret!
Cring!
Setelah berkata demikian, pemuda berbaju putih keperakan yang dikenali Ki Manik bernama Randataka langsung meloloskan pedangnya yang tergantung di pinggang. Pedang bercahaya keperakan itu seketika membuat kelopak mata Ki Manik jadi berkerut menyipit.
"Sambutlah kematianmu sekarang, Ki Manik! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Randataka melompat cepat mengebutkan pedangnya mengarah ke leher. Begitu cepat sekali sabetan pedangnya, hingga membuat Ki Manik jadi terperangah sesaat. Tapi cepat sekali kepalanya diegoskan, hingga tebasan pedang pemuda itu hanya lewat sedikit saja di depan tenggorokannya.
"Hup!"
Ki Manik cepat-cepat melompat ke belakang, dan langsung saja mengebutkan cambuknya ke depan, tepat di saat Randataka yang memperkenalkan diri sebagai Malaikat Pencabut Nyawa sudah melesat sambil memutar pedangnya dengan kecepatan luar biasa.
Ctar!
"Haiiit...!"
Bet!
"Heh...?!"
Ki Manik jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat Randataka malah memapak kebutan cambuknya dengan pedang. Dan cepat-cepat cambuknya ditarik kembali. Tapi, gerakannya memang sudah terlambat. Dan....
Tes!
"Ikh...!"
Ki Manik jadi terpekik kecil, begitu melihat cambuknya terpenggal tepat di tengah-tengahnya. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, pemuda berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa itu sudah melesat cepat. Dan saat itu juga pedangnya dikebutkan ke arah kepala laki-laki tua Tetua Desa Granggang itu.
"Hiyaaat...!"
"Hah...?!"
Ki Manik hanya bisa terperangah dengan kedua bola mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Dan saat itu juga....
Cras!
"Hegkh...!"
Hanya keluhan kecil saja yang terdengar, ketika batok kepala Ki Manik terbabat pedang tepat pada bagian tengah keningnya. Untuk sesaat, orang tua itu masih bisa berdiri. Namun sebentar kemudian tubuhnya jadi limbung, lalu ambruk menggelepar di tanah dengan kepala terbelah menjadi dua bagian. Darah langsung berhamburan membanjiri tanah yang sedikit berumput ini. Ki Manik menggelepar beberapa saat, kemudian diam mengejang kaku tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya langsung melayang saat itu juga. Sementara, Randataka tetap berdiri tegak memandangi.
"Huh!"
Sambil mendengus berat, Malaikat Pencabut Nyawa melesat begitu cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Dan pada saat itu juga, murid-murid Ki Manik berdatangan. Mereka kontan jadi terperanjat setengah mati begitu melihat gurunya sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan kepala terbelah berlumur darah.
"Ki...!"
Seluruh penduduk Desa Granggang kembali digemparkan oleh kematian Ki Manik. Ki Langkas yang menjadi kepala desa juga jadi geram setengah mati. Belum lagi pembunuh itu bisa dibekuk, kini salah seorang pembantunya sudah tewas dengan kepala terbelah menjadi dua bagian pada keningnya. Sungguh kematian yang sangat mengenaskan!
Dari beberapa orang murid, Ki Langkas tahu kalau Ki Manik bertarung dengan seseorang semalam. Sayangnya, tidak ada seorang pun dari murid-murid Ki Manik yang melihat jalannya pertarungan. Mereka semua mengatakan kalau pertarungan berjalan cepat. Dan begitu mereka sampai, Ki Manik sudah mengeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan orang yang bertarung dengannya sudah lenyap, entah ke mana.
Kegemparan yang terjadi di Desa Granggang dan kematian Ki Manik yang begitu mengenaskan, sempat juga didengar Ki Anjir dan Julak yang tetap berada tidak jauh dari batas Desa Granggang ini. Mereka mengetahui semua itu dari seorang perambah hutan yang tinggal di desa ini.
"Sepertinya ada yang dicarinya di desa ini, Ki," kata Julak setelah perambah hutan itu tidak terlihat lagi, tenggelam ke dalam hutan yang cukup lebat membatasi desa.
"Desa Granggang memang terkenal, karena banyak melahirkan pendekar muda dan tangguh. Dan kau tahu, Julak. Mereka yang mencegat kita di perbatasan desa adalah orang-orang tua yang berilmu sangat tinggi. Dari tangan merekalah banyak lahir pendekar tangguh yang kini tersebar hampir di seluruh jagat ini," jelas Ki Anjir memberi tahu.
"Tapi, apa maksudnya dia membantai di desa ini, Ki?" tanya Julak lagi.
"Mungkin dia beranggapan, desa ini adalah sumber dari para penegak keadilan. Dan kau tahu, Malaikat Pencabut Nyawa ingin menumpas habis para pendekar. Sehingga mereka yang berjalan pada aliran hitam bisa bebas berbuat semaunya," kembali Ki Anjir menjelaskan.
"Huh! Seperti hanya dia saja yang paling jago di dunia ini, Ki," terdengar agak mendengus nada suara Julak.
"Tapi memang harus diakui, Malaikat Pencabut Nyawa memiliki kepandaian sangat tinggi. Aku sendiri rasanya belum tentu unggul bila berhadapan dengannya," Ki Anjir mengakui tulus.
"Kalau merasa sudah tidak mampu, kenapa masih saja mengejarnya, Ki?" tanya Julak.
Ki Anjir tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang-panjang, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Pandangannya jadi lurus ke depan. Begitu kosong cahaya matanya. Sementara, Julak hanya memandangi saja dari sebelah kanan. Dia duduk di atas sebatang kayu yang sudah tumbang, agak jauh dari Ki Anjir. Orang tua itu duduk di atas rerumputan di bawah pohon beringin yang cukup besar dan lebat daunnya, hingga melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari.
Perlahan Ki Anjir bangkit berdiri. Sementara, Julak masih tetap duduk memandangi orang tua itu. Dia tidak mengerti, kenapa Ki Anjir begitu ingin bertemu orang yang selama ini dikejar, yang selalu menjuluki diri sebagai Malaikat Pencabut Nyawa. Dan setiap kali hal itu ditanyakan, Ki Anjir selalu tidak bisa menjawab. Bahkan raut wajahnya kelihatan jadi begitu mendung, seperti ada sesuatu yang tengah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang mungkin berhubungan dengan si Malaikat Pencabut Nyawa.
"Ayo kita ke Desa Granggang, Julak," ajak Ki Anjar.
"Untuk apa, Ki? Penduduk desa itu tidak mau menerima kita di sana. Malah, bisa-bisa kita yang dituduh," tolak Julak tegas.
"Aku akan menemui kepala desanya. Mudah-mudahan saja, dia mau mengerti. Lagi pula, tujuan kedatangan kita justru ingin membantu mereka membebaskan diri dari cengkeraman si Malaikat Pencabut Nyawa," kata Ki Anjir mencoba meyakinkan.
"Tapi, Ki...."
"Kau tidak mau ikut...?"
Julak jadi ragu-ragu juga. Sungguh mati, dia tidak sudi ditinggal sendirian dalam hutan ini. Apa lagi dia tahu, Karsan yang juga teman seperjalanan ini sudah tewas di tangan si Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan itu diketahui setelah mendapat keterangan dari beberapa penduduk Desa Granggang. Makanya, dia tidak ingin nasibnya sama seperti Karsan.
Entah kenapa, selama berjalan bersama orang tua itu, mereka sama sekali tidak pernah bertemu Malaikat Pencabut Nyawa yang telah membantai puluhan orang. Dan kebanyakan yang dibantainya adalah para pendekar-pendekar kondang dalam kalangan rimba persilatan. Tapi kali ini, Malaikat Pencabut Nyawa sudah menjarah Desa Granggang. Bahkan sudah mencabut beberapa nyawa penduduk di desa ini. Lalu, Karsan pun ikut jadi korban.
Sementara, Ki Anjir sudah melangkah meninggalkan tepian hutan ini. Dan Julak bergegas bangkit berdiri, lalu berjalan cepat mengikuti. Sebentar saja, dia sudah berada di sebelah kanan orang tua itu. Ayunan kakinya disejajarkan agar tidak tertinggal. Walaupun Ki Anjir usianya jauh lebih tua, tapi tingkat kepandaian yang dimiliki memang jauh di atasnya. Tidak heran kalau Julak sebentar-sebentar harus berlari kecil agar tidak tertinggal.
"Mereka pasti tidak mau menerima kita lagi, Ki," kata Julak seperti mengingatkan kejadian kemarin.
Mereka memang pernah datang ke desa itu kemarin, tapi telah lebih dulu dicegat dan tidak boleh masuk ke sana. Waktu itu, Ki Anjir memang mengalah. Dia tidak ingin terjadi keributan, walaupun di dalam hati merasa kecewa juga. Tapi semua kekecewaan itu ditelannya, dan berusaha untuk memahami keadaan yang tengah terjadi di sana.
"Mudah-mudahan kali ini mereka mau mengerti, Julak. Aku merasa kalau di desa ini kita bisa bertemu Malaikat Pencabut Nyawa," tegas Ki Anjir.
"Kalau memang tetap menolak, Ki...?" tanya Julak ingin tahu.
Ki Anjir tidak menjawab, dan terus melangkah tanpa membuka suara lagi. Sementara, Julak juga tidak mendesak. Dan kini, mereka sudah tiba di perbatasan desa. Sungguh mengherankan, tidak ada seorang pun dijumpai di sini. Padahal mereka kemarin dicegat puluhan orang. Ki Anjir menghentikan langkahnya. Keningnya seketika terlihat berkerut saat melihat seorang pemuda dan seorang gadis tengah duduk di bawah pohon sambil menikmati makanan yang terbungkus daun waru.
Tidak jauh dari mereka duduk, terlihat dua ekor kuda sedang merumput. Dari pakaian dan senjata yang disandang, bisa dipastikan kalau mereka dari kalangan rimba persilatan. Dan kehadiran Ki Anjar dan Julak, membuat kedua anak muda itu menghentikan makannya. Bahkan yang pemuda segera bangkit berdiri, setelah membersihkan tangannya dari air di dalam kendi tanah liat. Kemudian, kakinya melangkah tenang menghampiri. Sedangkan gadis yang tadi makan bersamanya, segera membereskan bekas-bekas mereka.
"Kenapa kalian makan di sini?" Ki Anjir langsung saja bertanya, begitu pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih itu sudah berada dekat di depannya. Pemuda itu menjura dengan membungkuk sedikit, memberi salam penghormatan. Ki Anjir segera membalas dengan membungkukkan tubuhnya juga. Tampak sebilah gagang pedang berbentuk kepala burung tersembul dari punggungnya, saat pemuda itu menjura tadi.
"Sebenarnya kami ingin makan di kedai. Tapi, beberapa orang mencegat dan melarang kami masuk ke desa itu," sahut pemuda itu lembut, sambil menunjuk ke arah Desa Granggang yang sudah terlihat
"Dan makanan itu, dari mana kalian dapatkan?" tanya Ki Anjir lagi.
"Pemilik kedai yang mengantarkannya, setelah aku mengatakan hanya ingin singgah sebentar dan mencari kedai."
Ki Anjir mengangguk-anggukkan kepala sebentar. "Kau bukan orang sini?" tanya orang tua itu lagi.
"Benar. Kami berdua pengembara yang kebetulan saja lewat."
"Hm...."
"Ada apa, Ki?" tanya pemuda itu.
Ki Anjir tidak langsung menjawab. Dipandanginya pemuda di depannya ini dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara, gadis yang bersama pemuda itu sudah berdiri disebelah kanannya. Ki Anjir juga memandangi gadis berwajah cantik berbaju biru muda itu. Tampak di balik ikat pinggangnya terselip sebuah kipas yang terbuat dari baja putih keperakan. Dan di punggungnya juga tersandang sebilah pedang bergagang kepala seekor naga berwarna hitam berkilatan.
"Siapa nama kalian...?" tanya Ki Anjir.
"Rangga. Dan ini adikku. Namanya, Pandan Wangi."
Kembali Ki Anjir mengangguk-anggukkan kepala. Dia juga kemudian memperkenalkan diri, dan memperkenalkan Julak yang berada di sebelah kirinya. Sementara itu, tidak jauh di dalam desa, terlihat beberapa anak muda terus mengamati mereka berempat. Dan di antara anak-anak muda yang jumlahnya sekitar dua puluh orang itu, terlihat Ki Andong bersama Ki Langkas. Kedua orang itu seperti tengah berbincang-bincang. Tapi, perhatian mereka terus tertuju pada keempat orang yang berada di pinggiran desa itu.***
KAMU SEDANG MEMBACA
97. Pendekar Rajawali Sakti : Malaikat Pencabut Nyawa
AcciónSerial ke 97. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.