3. Rumah Baru

32 1 0
                                    



Tak begitu lama perjalanan yang ditempuh. Hanya membutuhkan 3 jam untuk sampai tujuan. Ya, karena memang bukan di daerah perkotaan, tapi di perkampungan. Bahkan dekat hutan. Rumah itu nampak sederhana tapi luas. Ada pelataran di depan rumah. Lebih tepatnya seperti lapangan bola. Tsuki, Shira, Adi, dan Kakek Aruna keluar dari mobil. Mereka langsung memasuki rumah tersebut.

Area sini agak sepi. Sepertinya kakek Aruna sengaja membuat rumah di sini untuk istirahat di waktu liburan. Udara jernih ditambah pepohonan yang memperindah keadaan sekitar. Shira sendiri cukup tenang dengan suasana seperti ini. Kalau tinggal di sini, mungkin tidak akan ada yang tahu. Mereka para mafia tidak akan pernah menyangka kalua Shira dan teman-teman tinggal di perkampungan yang dekat dengan hutan.

"Shira, di sini tidak ada orang sama sekali. Ini adalah rumahku dulu. Aku ke sini hanya ketika liburan saja. Walaupun begitu, rumah ini cukup terawat dan bagus, kok." Kata Kakek Aruna.

"Di sini ada berapa kamar, Kek?"

"Ehm.. ada sekitar empat kamar. Cukuplah buat kita semua. Orang tua Adi tidak ada di sini. Mereka kerja di luar kota."

Shira melihat sekitar rumah. Mungkin agak berdebu, tapi bisa dibersihkan dengan mudah. Dia mengagumi rumah yang sederhana ini. Tidak ada peralatan elektronik sama sekali kecuali sebuah radio tua yang terletak di atas meja. Entah apakah bisa digunakan atau tidak. Mungkin saja butuh diperbaiki.

"Kek, lapangan di depan rumah cukup luas juga, ya?" Tanya Shira.

"Iya, dulu waktu masih muda, kakek mengajar silat di sini. Orang-orang kampung berdatangan ke sini untuk belajar bela diri. Makanya orang-orang kampung ramah dengan kami. Mereka juga sering memberi makanan hasil kebun."

"Oh, jadi Kakek mengajar silat di sini. Berarti orang-orang kampung ahli beladiri semua, dong?" sergah Shira.

"Emm.. tak semuanya mampu. Beberapa sudah menjadi ahli bela diri dan pergi ke Jepang. Ada sebagian yang membuka kelas pencak silat di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia."

"Kenapa Kakek meinggalkan kota ini?"

"Aku ingin pensiun dari dunia beladiri. Aku ingin hidup Bersama keluargaku saja. Di umuruku yang sudah kepala enam, seharusnya lebih mendekatkan diri pada Allah. Karena semua keluargaku tinggal di Jakarta, maka aku ikut bersama mereka."

"Sudah berapa lama kakek meninggalkan rumah ini?"

"Sekitar delapan tahun yang lalu. Tepatnya ketika istri saya meninggal dunia. Aku tidak punya teman lagi untuk tinggal di sini. Maka orang tuanya Adi mengajakku tinggal di Jakarta Bersama mereka."

"Emangnya kenapa?"

"Enggak, hanya saja ada teman yang berasal dari Indonesia. Namanya adalah Fetih. Tapi saya tidak pernah bertemu dengannya selama dua tahun ini. Padahal sudah dua tahun aku di sini. Sudah belajar Bahasa Indonesia dan mempelajari budaya Indonesia."

"Oh, begitu. Mungkin saja nanti kamu bisa bertemu dengannya."

"Semoga."

***

Tsuki sedang duduk di depan rumah dengan memegang secangkir teh yang hangat. Dia memandangi sekitar rumah. Sangat berbeda dengan apa yang ada di Jepang. Budaya Indonesia memiliki kekhasaan tersendiri. Orang-orang di sini Nampak santai dan slow. Mereka tidak terikat oleh waktu sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jepang. Mereka tidak takut terlambat dan dipecat. Bagi mereka, dipecat adalah suatu hal yang biasa. Wajah mereka Nampak merona dan Bahagia. Tidak ada paksaan atau aturan yang mengikat di sini. Semua berdasarkan kesadaran tersendiri.

ShiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang