Setelah kelas terakhirku selesai, aku segera merapikan barang-barang dan berjalan keluar dari ruang kuliah. Udara sore menyambut dengan lembut, sejuk dan tenang, sementara sinar matahari condong ke barat, menebarkan cahaya keemasan yang menyelinap di antara rimbun pepohonan kampus. Suasana seperti ini entah kenapa selalu membuatku sedikit lebih ringan, seolah hari ini bisa ditutup dengan tenang.
Aku melirik ponsel. Sudah hampir waktunya bertemu Jimin.
Kami sepakat bertemu di taman kampus—tempat yang cukup sunyi dan jauh dari hiruk pikuk mahasiswa yang biasanya berlalu lalang. Saat aku tiba, Jimin sudah duduk di salah satu bangku kayu, kepalanya sedikit menunduk sambil menggulir layar ponselnya. Begitu melihatku datang, dia buru-buru menyelipkan ponselnya ke saku jaket, lalu mengangkat dagu sedikit, memberi tanda bahwa dia menyadari kehadiranku.
“Kau tepat waktu,” ucapnya santai, sorot matanya agak lembut, meski tetap menyimpan nada malas-malasan khas dirinya.
“Tentu. Aku tidak suka membuang waktu,” balasku sambil duduk di ujung bangku, menjaga sedikit jarak seperti biasa. “Jadi, soal anggaran…”
Jimin langsung menyilangkan tangan di dada, sikapnya berubah lebih serius. “Aku sudah cek datanya. Ada selisih angka antara yang kami pegang dan yang tercatat dari pihakmu. Departemen Seni mengajukan angka yang beda dari yang tercatat di Departemen Bisnis. Aku udah minta timku telusuri ulang.”
Aku mengangguk pelan, lalu mengambil catatan kecil dari tasku. “Timku bilang jumlahnya sesuai proposal awal. Mungkin ada kesalahan waktu data dikirim?”
Jimin menyandarkan tubuhnya, matanya sedikit menyipit, seperti sedang menganalisis situasi. “Bisa jadi. Tapi kita harus pastikan. Kalau sampai berantakan pas audit keuangan, repot.”
“Nanti aku minta bendahara kami konfirmasi lagi. Kalau perlu, kita atur pertemuan kecil buat samakan data sebelum laporan akhir dikumpulkan.”
Ekspresi Jimin melunak sedikit, dia mengangguk dengan nada puas. “Bagus. Aku suka orang yang cepat tanggap.”
“Aku cuma nggak mau ini jadi masalah panjang,” ujarku sambil menutup catatan. Rasa lega mulai terasa, setidaknya diskusi kami tidak berakhir ribut.
Saat kami bersiap pergi, aku berucap tanpa terlalu memikirkannya, “Oh, kita jalan bareng saja ke depan. Setelah itu bisa pisah.”
Hanya basa-basi. Toh arah kami sama.
Jimin terdiam sejenak. Ada jeda aneh sebelum dia menjawab—matanya berpaling ke arah lain, lalu kembali padaku. “Oh, boleh.”
Kami melangkah menyusuri jalan setapak taman kampus. Suasana agak hening, hanya sesekali terdengar suara angin menggerakkan dedaunan. Rasanya sedikit canggung. Akhirnya aku membuka percakapan.
“Departemen Bisnis pasti sibuk banget ya, apalagi ngurus keuangan festival.”
Jimin melirikku sekilas. “Lumayan. Orang-orang pikir kerja kami cuma catat angka, padahal banyak yang harus dijaga.”
“Contohnya?”
“Kita harus pastikan semua sesuai anggaran, mencegah dana bocor, dan urus pembayaran vendor tepat waktu. Sekali ada salah langkah, efeknya bisa ke mana-mana.”
Aku mengangguk walau dalam hati merasa informasi itu agak berat. Tapi aku mencoba tetap antusias.
Kami terus berjalan, sampai akhirnya dia menoleh, ekspresinya berubah jadi lebih santai—sedikit nakal malah.
“Dari tadi pertanyaanmu soal Departemen Bisnis terus. Nggak ada yang mau ditanya tentang aku?”
Langkahku melambat sesaat. “Hah? Kenapa aku harus nanya tentang kamu?”
Oke, itu mungkin terdengar terlalu defensif.
Dia mengangkat bahu, senyum isengnya makin jelas. “Biasanya orang-orang penasaran.”
Aku menghela napas, akhirnya mengalah. “Oke. Kenapa kamu ikut panitia festival? Bukannya kamu udah sibuk?”
Jimin memasukkan tangannya ke saku jaket, pikirannya tampak melayang sebentar. “Aku pengin coba hal baru. Ketemu orang-orang beda, belajar hal yang nggak ada di kelas.”
“Jawabanmu lebih filosofis dari yang aku kira,” komentarku.
Dia terkekeh kecil, suaranya lebih ringan. “Kau kira aku bakal jawab ‘karena bosan’, ya?”
“Sedikit,” aku tersenyum tipis.
“Aku bukan tipe yang ikut-ikutan cuma karena temen,” katanya, lebih pelan.
“Kalau kamu, kenapa repot-repot jadi panitia?” tanyanya balik.
Aku menarik napas, mencoba merangkai jawaban yang jujur. “Karena aku ingin semuanya berjalan lancar. Aku suka lihat orang-orang menikmati hasil kerja keras kita. Rasanya… memuaskan.”
Jimin menatapku beberapa detik, dan untuk sesaat aku merasa tatapannya lebih dalam dari biasanya. “Jawaban yang bagus,” ujarnya pelan.
Kami hampir sampai di gerbang kampus ketika sesuatu menarik perhatianku. Sebuah gantungan boneka bayi bebek yang lucu menggantung di tas Jimin—besar, menggemaskan, dan sangat… tidak cocok dengan image cool-nya.
Tanpa sadar, aku menunjuknya. “Eh, itu lucu. Kamu beli di mana?”
Aku sempat menahan diri untuk tidak menanyakan lebih jauh, tapi rasa ingin tahu mulai mengusik. Hadiah dari seseorang? Atau ada arti khusus?
Reaksi Jimin di luar dugaan.
Wajahnya langsung berubah—kaget, lalu malu. Tangannya reflek menutupi boneka itu, seolah baru sadar ada yang memperhatikan.
“Uh… Itu… Ah, sudah ya. Aku duluan,” katanya cepat-cepat. Lalu dia berbalik dan melangkah pergi, sedikit terburu-buru.
Aku berdiri mematung, menatap punggungnya yang menjauh. Dahiku berkerut.
“…Aku bilang sesuatu yang salah, ya?” gumamku, bingung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Filter • pjm
Fanfiction"Pick your filter, Which me do you want?" Han Yebin tak pernah suka jadi pusat perhatian-hingga hidupnya bersinggungan dengan Park Jimin. Populer, ceria, dan selalu penuh pesona, Jimin terlihat sempurna. Tapi di balik senyuman itu, ada banyak hal ya...