~kucoba merajut asa,dengan dia yang menawarkan cinta,tertatih menyambut ulurannya namun kenapa yang lama tetap bertahta.Enggan pergi,meski diusir berkali-kali karena kau hanya ilusi yang hanya membayangi tanpa pernah kumiliki ~ Nadira
Aku terdiam membeku di tempatku berdiri, telingaku terasa berdenging menerima kata-kata indah Alfan barusan. Bahkan jantungku ikut memberontak dari tempatnya.
"Aku tidak pernah berpikir bahwa kamu bisa melakukan hal segila ini," kataku
. Alfan tersenyum. "Nadi , cinta itu ajaib."
***
Aku menatap kertas yang tertempel di pintu kelas, dan seketika senyum pun tak kuasa kutahan. Cerpen yang kuangkat tentang Alfan ternyata mendapat nilai tertinggi. Dia bahkan sampai malu karenanya. Kucari nama Alfan yang ternyata berada di urutan tiga. Aku baru tahu kalau Alfan menyukai dunia tulis-menulis. Dan oh ya, aku masih mencari nama seseorang, dan kutemui di urutan terbawah.Faiq.
"Cerpenmu bagus,"
kata sebuah suara yang tidak asing di telingaku. Aku menoleh dan mendapati Faiq berdiri di belakangku. Segera saja kutarik jari telunjukku yang menempel tepat di atas namanya.
"Jangan salah tingkah begitu. Aku udah biasa dapet nilai paling jelek," katanya tanpa beban.
"Bukannya kamu bilang kalau kamu orang nomor satu di sekolah? Lantas kenapa nilaimu malah yang terbawah?"tanyaku heran.
"Ya. Aku memang orang nomor satu. Tapi bukan berarti aku yang paling pintar soal pelajaran. Asal kamu tau aja, aku payah dalam semua pelajaran," kata Faiq.
"Lalu, kamu nomor satu dalam soal apa?"
"Nakal. Aku paling berandalan di sekolah. Tidak ada pelajaran atau hal yang aku sukai selain menghabiskan waktu bersama kameraku. Bukan tanpa alasan orang-orang memanggilku preman fotografer," jawabnya sambil tertawa renyah.
Aku ikut tertawa, dan sedetik kemudian tawaku lenyap ketika seseorang yang sangat akrab di benakku muncul dari belakang Faiq. Dia tersenyum padaku.
"Nadira," sapanya,
membuat Faiq tampak kaget dengan orang yang tiba-tiba muncul itu.
"Akbar?" kataku heran.
"Kamu"
"Aku ke sini untuk kamu, Nad," katanya memotong ucapanku.
"Aku mau minta maaf."
Faiq menatap aku dan Akbar bergantian, dan seperti sudah mengerti, dia segera masuk ke dalam kelas. Aku baru saja akan mengikutinya, namun tangan Akbar menahan lenganku.
"Jangan pergi. Kita punya banyak hal yang harus dibicarakan,"
katanya menghentikan langkahku. Aku membalikkana tubuhku dan menatap wajah itu. Wajah yang dulu mengukir luka di atas kebahagiaan. Wajah yang menjadi hujan di atas indahnya pelangi.
"Nggak ada yang perlu dibahas, Akbar," kataku perlahan.
"Kamu udah nentuin pilihan kamu, dan aku pergi dengan coretan luka yang kamu goreskan."
"Aku nyesel,Nad. Aku ingin kamu dan aku kembali menjadi kita. Kamu mau kan? Kamu mau kembali menyusun mimpi-mimpi kita yang pernah hancur karena keegoisanku?" katanya.
Aku menatap mata yang tidak pernah berubah itu. Andai Akbar tidak merusak segalanya, andai tidak pernah ada orang lain di antara kita, aku pasti sudah memeluk tubuh tegap di hadapanku ini. Dan entah keajaiban apa yang membuat hujan turun saat itu. Namun kali ini aku bersyukur karenanya, aku ingat bahwa hujan adalah saksi kepergian Akbar demi orang lain. Aku sadar bahwa hujan menyimpan makna di balik derasnya. Aku tidak akan kembali. Tidak lagi.
"Nad?"
suara Akbar menyadarkanku. Dia menunggu jawaban. Dan aku telah membuat jawaban.
"Tahukah kamu betapa sulitnya menemukan kembali hari-hariku yang selama ini terkunci di balik bayang- bayangmu? Dan aku menemukannya. Lalu, apa yang membuatmu ingin kembali merusak hari-hariku dengan hadirmu?" kataku yang membuatnya tertegun.
"Nadira"
"Udah,Akbar. Kita udah lalui banyak hal. Kita udah buat keputusan kita masing-masing, aku berterima kasih telah mengenalmu. Semua yang kita lalui, adalah pelajaran menuju kedewasaan bagi kita. Sekarang aku dan kamu bukan lagi kita. Ingat Akbar, ada hati yang harus kamu jaga di sana,"
kataku lagi. Aku menundukkan wajahku, menyembunyikan air mata yang seharusnya tak kujatuhkan di hadapannya. Dia tidak berhak untuk melihat air mata yang jatuh itu.
"Nadi, kamu"
"Hey orang bodoh yang tidak tau sopan-santun!" suara Faiq membuat wajahku terangkat.
Faiq berjalan menghampiriku, dia menyadari air mata yang membendung kedua mataku namun sikapnya seolah tidak melihat apa pun. Dia malah melepaskan tangan Akbar yang sedari tadi menahan lenganku.
"Dengar ya sialan. Aku tidak tau siapa kau dan aku tidak peduli soal itu. Nadi telah menjawab pertanyaanmu dan telah membuat keputusan. Kalau kau masih memaksa, itu artinya kau membuat ulah, dan ingat," kata Faiq menghentikan ucapannya, dia lebih mendekatkan wajahnya pada wajah Akbar, keduanya saling menatap tak mau kalah.
"Ini sekolahku, sekarang pergi dan jangan tunjukkan wajah sialanmu itu di sini atau kutendang bokongmu sampai keluar sekolah!"
Aku tidak bisa membohongi diriku bahwa aku merasa takut. Aku takut sesuatu terjadi pada mereka. Akbar tidak pintar dalam berkelahi, sedangkan Faiq jelas-jelas diakui keberandalannya. Dan sekali lagi keajaiban terjadi, Akbar memilih untuk pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tubuhnya menerobos derasnya hujan, dan sesaat kemudian hilang di balik pagar sekolah.
***
jan lupa vote dan coment guys :)
tag me kalo mau copas kata katanya yaa..:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir (TAMAT)
RomanceTerkadang, aku merasa menjadi bukan diriku. Apalah artinya jika nyatanya hidup adalah topeng palsu di balik tubuh yang hilang akan sukmanya. Ketika nafas yang ku hirup hanyalah sebuah teori yang terasa tidak benar-benar terjadi. Dan bibir ku kaku di...