"Kenapa kamu melamun, Nin." Ibu memegang bahu Nina, berusaha menyadarkannya dari lamunan panjang. "Kamu sudah ingat? Kenapa dulu kamu enggak pernah cerita sama ibu?" cecar ibu seolah penasaran mendapat jawaban Nina.
Nina menarik napas perlahan. "Tadinya Nina sama sekali enggak ingat kejadian itu, Bu. Terlalu banyak perih yang Nina rasa. Jadi, Nina memutuskan untuk tidak mengingat hal-hal yang menyakitkan."
Tapi, memori Nina dengan cepat memutar kenangan sebelas tahun silam saat ibunya bertanya, "Nina, kamu ingat enggak dulu saat masih SD kamu pernah dilempar kursi sama bapakmu? Saat kamu minta uang buat berobat ibu?"
"Nina enggak ingat. Kenapa, Bu?" jawab Nina, sambil berusaha memutar ulang memorinya.
"Masa kamu enggak ingat? Ibu tau dari tetangga bapakmu di sana. Kenapa enggak cerita sama ibu kalau kamu dikasari bapakmu kayak gitu?" Ibu terus menyelidik.
Seketika kenangan itu terus bermunculan, membuat perih yang teramat dalam. _Ah, kenapa baru ibu tanyakan sekarang? Apakah Ibu baru tau? Atau Ibu menunggu sampai aku dewasa?_
Pertanyaan itu hanya tersimpan dalam kepala Nina tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dari dulu Nina memang lebih suka memendam semuanya sendiri. Dia menganggap dukanya belum berarti apa-apa dibandingkan duka sang ibu selama berpuluh-puluh tahun.
"Jangan pernah membenci bapakmu. Bagaimanapun dia tetap bapakmu. Lihat ibu, bagaimana perlakuannya dari dulu, ibu tetap menghormatinya." Ibu Nina mencoba menasehati putri sulungnya.
Bu Fatimah, ibunya Nina adalah wanita yang sabar dan kuat. Pak Brata terkenal kejam, tapi Bu Fatimah sanggup bertahan hingga di poligami. Kadang Nina berpikir, kenapa ibunya bodoh sekali menghabiskan waktu bersama pria seperti itu.
"Nina benci Bapak, Bu. Nina enggak mau menikah. Nina benci laki-laki." Akhirnya airmata itu tak terbendung. Tangis Nina pecah.
Harusnya malam ini hatinya bersuka cita karena besok seluruh umat muslim merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Namun, tidak bagi Nina. Saat sore hari ibunya mengingatkan untuk menghubungi bapaknya, menanyakan apakah bapaknya sudah membayar zakat fitrah mereka semua.
"Sudah bapak bayar semua, bahkan Agung dan Sinta juga sudah bapak bayar kecuali kamu," ucap Pak Brata di ujung telepon.
"Loh, kenapa? Dua keponakan Bapak saja sudah Bapak bayar, kenapa Nina tidak sekalian? Nina anak Bapak loh. Anak kandung!" teriak Nina seketika sambil menahan emosi.
"Kamu kan sudah bekerja, bisa bayar sendiri. Sementara dua sepupumu itu yatim piatu. Jadi mereka bapak bayarkan zakat fitrahnya," jelas Pak Brata dengan tenang.
"Ya Allah, Pak, tapi mereka sudah dewasa, Pak. Dan Nina anak perempuan Bapak, tetap jadi tanggung jawab Bapak sebelum Nina menikah." Kesabaran Nina habis, embun di matanya juga sudah menetes.
"Tapi kamu sudah bekerja, punya gaji sedangkan mereka enggak jelas kerjanya. Sudah, kamu bayar sendiri saja, ya." Sambungan telepon terputus.
Tangis Nina pecah. Dia merasakan sakit di hatinya. Mengapa bapaknya berpikir demikian. Memang dirinya bekerja, tapi hanya sebagai guru honor dengan gaji 500 ribu per bulan, itu pun diterima 3 bulan sekali. Nina mengajar sambil kuliah.
Sementara Nina tak pernah mendapat kiriman bulanan layaknya anak-anak lain yang merantau ke kota mengenyam bangku kuliahan. Karena Nina tinggal di rumah Pakde Rahmat, abang dari Pak Brata.
Memang Pakde Rahmat orang yang sangat kaya, seorang PNS tapi memiliki warung, puluhan rumah kontrakan. Tanahnya juga banyak. Menyewakan teratak dan _keyboard_ buat hajatan juga. Hanya mereka terbiasa hidup hemat sehingga Nina juga harus berkali-kali menelan ludah saat mereka makan sate dua bungkus keroyokan, atau makanan yang lainnya.