Seperti biasa, Bu Fatimah membangunkan keempat anak-anaknya. Takbir telah berkumandang sejak terakhir mereka berbuka puasa.
Nina membuka mata perlahan kemudian berjalan sambil membawa handuk menuju kamar mandi. Ternyata Bu Fatimah telah menyiapkan air rebusan daun pangir.
Itu semacam tradisi di kampung halaman Bu Fatimah. Mandi dengan air pangir serasa lebih segar dan wangi, bahkan wanginya mengisi seluruh ruangan rumah kontrakan mereka yang bertipe 36.
Ketiga anak laki-laki Bu Fatimah shalat di mesjid, sedangkan Bu Fatimah dan Nina shalat di rumah.
Selesai shalat subuh, Nina membantu Bu Fatimah memanaskan lauk pauk menu lebaran. Ada kuah lontong, rendang daging, ayam semur, dan tauco tahu kering.
"Mengapa ibu memasak begitu banyak?" Tanya Nina sambil terus mengaduk sayur santan yang berisikan potongan dadu wortel dan jipang sebagai kuah dari lontong agar santannya tidak 'pecah'.
Disini, ibu 'dituakan' jadi kalau ada yang bertamu sesama perantau lebih bahagia bila bisa menyajikan hidangan.
Setelah berjuang menjadi 'single parent' selama dua tahun, kerja serabutan demi menghidupi keempat anaknya, Bu Fatimah memutuskan merantau mengikuti kemana suaminya pergi, berharap Pak Brata luluh hati menafkahi anak-anaknya.
Pak Brata dipindah tugaskan ke kota kecil, jauh dari kampung halaman Bu Fatimah. Pak Brata adalah seorang PNS di Kantor Kejaksaan.
Bu Fatimah mencari tahu keberadaan Pak Brata melalui teman kerja Pak Brata. Setelah Nina tamat SMA, Angga tamat SMP, dan Doni tamat SD, Bu Fatimah memboyong mereka ke perantauan. Surat keterangan pindah pun sudah di tangan. Bu Fatimah sudah membulatkan tekad. Tak mungkin membebani keluarga besar lagi dengan kehidupannya dan anak-anaknya. Bu Fatimah mendapatkan biaya dari bantuan beberapa kerabat dan pinjaman dari teman-temannya. Tentu perlu biaya tidak sedikit untuk pindah.
***
Tiga tahun lalu."Bu, kenapa kita pindah kesini?" Tanya Nina pada Bu Fatimah saat turun dari bus. Sepuluh jam perjalanan membuat badan Nina terasa remuk redam. Nina tak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Paling jauh ke kota besar, itu pun hanya menempuh empat jam perjalanan.
"Ibu akan memperjuangkan hak kalian. Dari nol ibu hidup dengan bapakmu. Merasakan gajinya yang kecil. Bahkan dulu memperbaiki motornya ibu harus membantu dengan menjual emas hasil kerja ibu sebagai sekretaris. Ibu tidak akan membiarkan wanita itu menang dan menikmatinya." Jelas Bu Fatimah pada Nina setelah duduk di sebuah warung makan yang tidak jauh dari loket pemberhentian bus.
Nina hanya diam. Dia hanya menuruti apa kata ibunya karena dia belum paham betul masalah kedua orang tuanya. Dari dulu ingin dia bertanya tapi semua kata-kata seolah tercekat di tenggorokan.
Kini mereka telah sampai di komplek perumahan. Kebanyakan rumah-rumah minimalis ini kontrakan. Kebanyakan mereka adalah perantau dari kota besar karena di pindah tugaskan ke daerah ini.
Komplek perumahan ini tidak jauh dari Kantor Kejaksaan, tempat Pak Brata bekerja. Hanya beberapa ratus meter.
Setelah selesai berbenah, Nina dan adik-adiknya memijit kaki Bu Fatimah bersamaan. Sedangkan si bungsu Farhan yang berusia tiga tahun sudah tertidur lelap. Bu Fatimah bersyukur memiliki anak-anak yang pengertian. "Kalian tumbuh dewasa sebelum waktunya," itulah yang sering di ucapkan Bu Fatimah. Ada rasa sedih dalam raut wajahnya. Anak-anaknya hanya tersenyum karena tidak mengerti apa makna dari ucapan Bu Fatimah.
***
Keesokan harinya Bu Fatimah ditemani Nina ke Kantor Pak Brata, menemui Kepala Pimpinan Kantor Kejaksaan. Disinilah perjuangan dimulai. Tidak gampang menemui 'Pak Kepala'. Bahkan ada Staf yang meragukan status Bu Fatimah.Bersyukur Bu Fatimah telah menyiapkan segala berkas penunjang, terutama buku nikah.