part 10

10 0 0
                                    

Part 10

Lima hari sudah Angga berada di Medan. Nina hanya membawa Angga berkeliling ke rumah sanak saudara dari pihak bapaknya. Silaturahmi yang dulu pernah terputus akibat Pak Brata menikah lagi, kini seakan kembali terjalin.

Semua menyambut Angga dengan suka cita.
"Mirip banget sama bapakmu ya," ucap Bude As -kakak  Pak Brata- saat Nina membawa Angga bersilaturahmi ke rumahnya. Nina dan Angga hanya tersenyum mendengarnya. Kenyataanya memang wajah Angga sangat mirip dengan Pak Brata, bagai pinang di belah dua.

"Dek, kamu tahu enggak saat ibu hamil kamu ada kisahnya," ucap Nina saat jalan pulang.

Angga hanya menjawab dengan gelengan kepala.

"Dulu bapak pernah fitnah ibu selingkuh dengan penjual ikan di pajak," ucap Nina datar.

Angga menghentikan langkahnya. Nina yang tadinya berjalan beriringan dengan Angga jadi ikutan berhenti. Kini kakak-adik itu saling menatap.

"Mbak serius, sumpah enggak bohong. Ibu yang cerita." Nina menarik lengan Angga mengajaknya melanjutkan perjalanan.

"Dulu bapak dan ibu sering banget berantem.  Saat bapak ketahuan ibu selingkuh, ibu datangi tuh perempuan. Tapi kata ibu, ibu ngomong baik-baik sesama perempuan. Bilang kalau bapak udah punya anak-istri dan minta jauhin bapak. Tiba-tiba bapak pulang langsung marah ke ibu karena udah datangi tuh perempuan. Saat hamil kamu, bapak enggak percaya kamu anaknya. Maling teriak maling. Bapak fitnah ibu selingkuh, sama tukang ikan pula tuh. Sambil nangis ibu ambil Al Qur'an dan bersumpah di depan bapak, kalau ibu pernah selingkuh, ibu dan bayi dalam kandungannya enggak akan pernah selamat."

Nina menarik nafas dan membuangnya perlahan sebelum melanjutkan.

"Tapi Alhamdulillah, Allah Maha Besar. Allah menunjukkan Kuasa-Nya dengan lahir kamu, anak yang di ragukan. Bahkan wajahmu sangat mirip dengan bapak. Kalau kamu punya tanda lahir di leher kiri, bapak punya seperti itu di leher kanan. Lihat nama mbak, Nina Oktaviani. Nama adik-adik kita, Doni Atmaja dan Farhan Kesuma. Sedang namamu, Angga Putra Bratasena, cuma kamu yang punya nama belakang dengan nama bapak. Itu mengisyaratkan bahwa bapak mengakui kamu darah dagingnya."

Nina menghentikan langkahnya, begitu juga Angga. Nina menatap lekat adiknya.
"Kamu ganteng, dek. Mbak harap kamu tidak seperti bapak, jadi playboy, apalagi sampai suka main perempuan. Wajah boleh mirip, tapi sifat dan kebiasaan jeleknya jangan ditiru ya."

Nina menggandeng lengan Angga dengan manja sambil mengajaknya kembali berjalan. Semua yang melihat pasti berpikir mereka sepasang kekasih dengan postur tubuh Angga yang tinggi besar tidak akan terlihat perbedaan umur Nina yang lebih tua dari Angga.

Sepanjang perjalanan Angga hanya diam dan memikirkan semua cerita Nina. Selama ini yang dipikirkannya adalah wajar jika seorang anak memiliki wajah yang mirip orang tuanya. Tak disangka bahwa ada kisah dibalik itu.

Yang dia tahu bapaknya sudah menikah dan meninggalkan mereka sehingga saat SMP dia juga harus membantu mencari nafkah dengan menjadi pedagang asongan di gerbong kereta api.

Teringat kala itu saat minta ijin kepada Bu Fatimah. "Bu, teman Angga, Rudi jualan di stasiun kereta api. Angga boleh ikut Rudi jualan, Bu?"

"Enggak usah biar ibu saja yang cari uang, kamu bagus-bagus saja belajar di sekolah," ucap Bu Fatimah tanpa memalingkan wajah dari kangkung yang baru saja di ramban, yang akan dipilah kemudian diikat menjadi beberapa ikatan sebelum dijual esok subuh kepasar.

Namun, bukan Angga namanya jika satu penolakan ibunya mampu membuatnya gentar. Setiap hari dia meminta ibunya mengijinkannya berjualan terlebih dia berniat meringankan beban ibunya. Terlebih Rudi bercerita perhari keuntungan jualannya bisa sampai dua ratus ribu rupiah. Tugas mereka hanya menjualkan air mineral yang sudah di sediakan oleh seorang 'toke'.

Mereka mendapatkan keuntungan dua ribu perbotol. Mereka harus berkejaran dengan waktu saat kereta sampai di stasiun, saat itulah mereka mulai menjajakan air mineralnya. Dan saat peluit berbunyi tanda kereta akan berangkat mereka harus segera turun dari gerbong.

Pernah suatu waktu dia harus melompat dari atas kereta yang mulai melaju  dan hampir saja dia terluka. Pernah juga saat tertidur karena kelelahan, isi dompetnya di curi oleh sesama penjual asongan. Dan Angga juga harus menahan kantuknya di sekolah karena dia berjualan dari sore sampai dini hari. Itulah perjuangan yang dirasakan Angga selama tiga tahun.

****
Nina mengantar Angga ke loket bus. Malam ini Angga akan pulang karena masa liburan sekolah akan berakhir.

"Oya dek, teringatnya kenapa kamu bilang sama Bang Roby kalau Mbak jelek?" Tanya Nina saat mereka duduk di bangku tunggu bersama penumpang lain.

"Hehehehe... Daripada Angga bilang cantik tapi menurut orang jelek, jadi Angga bilang saja jelek sekalian," jawab Angga cengengesan.

"Dasar kamu ya, Mbaknya cantik gini dibilang jelek," Nina mengacak rambut Angga.

"Dek, mba enggak bisa nungguin kamu sampai busnya berangkat ya. Mba takut kalau pulang naik angkot malam-malam. Tadi katanya busnya berangkat jam tujuh."

"Iya, mbak enggak apa-apa. Mbak pulang saja sekarang, mumpung masih terang." Angga melihat pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul enam sore.

"Jaga ibu dan adik-adik di rumah ya, bagus-bagus belajar."

Angga tersenyum dan mengangguk paham. Kakak-adik itu berpelukan. Angga mencium punggung tangan Nina sebelum Nina masuk ke dalam angkot yang sudah dimintanya berhenti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Luka Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang