part 8

12 0 0
                                    

"Assalamu'alaikum," salam Iwan di depan pintu rumah yang terbuka.

"Waalaikumsalam," sahut Nina sambil berjalan keluar kamar. "Duduk kak, gak susah ya cari rumahnya?" Nina duduk di teras rumah di ikuti oleh Iwan.

"Gak susah kok, kakak pernah jalan sampai sini," jawab Iwan sambil tersenyum.

"Bentar, aku buatin minum ya kak." Tanpa jawaban Iwan, Nina berjalan menuju dapur. Tak butuh waktu lama Nina kembali dengan dua gelas teh manis dingin. "Diminum kak tehnya."

"Gak ada orang di rumah ya Nin, kok sepi?" Mata Iwan mengitari sekitar rumah.

"Pakde dan Bude lagi undangan kak, sepupu yang lain pada keluar. Di rumah cuma ada Nina sama Lala. Lala lagi jaga warung."

Rumah Pakde Rahmat memang selalu terlihat sepi. Karena anak-anaknya sudah bekerja semua, kecuali Lala. Hari Minggu seperti ini Mba Fira -anak sulung Pakde Rahmat- biasanya pergi dengan temannya. Mba Lisa -anak ketiga Pakde Rahmat- pergi dengan pacarnya. Sedangkan Mas Ari -anak keempat Pakde Rahmat- memang selalu keluyuran.

Iwan membentuk mulutnya seperti huruf O.
"Nina kuliah dimana?" Tanya Iwan setelah meletakkan gelasnya.

"Di Universitas Terbuka, kak. Kakak kuliah dimana?" Tanya Nina balik.

"Di UNIMED, jurusan Fisika."

"Wih, keren," kagum Nina. Menurutnya tidak semua bisa masuk Perguruan Tnggi Negeri dengan Jurusan itu, termasuk dirinya. Setelah tamat SMA, Nina pernah ikut tes ujian masuk PTN dan pilihan jurusannya adalah Matematika dan Fisika. Namun, Nina tidak cukup beruntung dibandingkan dengan ratusan peserta lainnya.

Iwan tersenyum melihat reaksi Nina. "Kakak juga punya bimbel sendiri dek, ya kerjasama sama teman-teman yang lain. Udah setahun ini lah berjalan. Siswanya juga udah lumayan banyak. Jadi tiap sore dan malam kakak ngajar les private," jelas Iwan.

"Ngajar anak SMP kak?" Tanya Nina antusias.

"SMP dan SMA. Matematika, Fisika, dan Kimia kakak sediakan guru lesnya."

"Wih, Nina mau dong kak ikutan ngajar les. Hitung-hitung buat tambahan," pinta Nina serius.

"Hemmm....," Iwan tampak berpikir. " Adek jadi pacar kakak aja, gak usah ikutan ngajar biar kakak aja yang capek cari duit. Hehehehe," goda Iwan.

"Ih, apaan sih kakak ini." Nina memalingkan wajahnya, malu.

"Sebenarnya kakak udah suka lama sama Nina. Bahkan dari kita SMP, cuma udah keduluan sama Abas. Dan saat SMA kakak jadi kutu buku agar bisa masuk PTN. Sekarang kakak lagi nyusun skripsi, kakak mau Nina jadi Pendamping Wisuda kakak." Iwan menatap lekat manik mata Nina.

Nina menunduk, menatap marmar lantai tempatnya berpijak. Seketika ingatannya memutar kemasa putih birunya saat Iwan menyebut nama Abas. Kakak kelasnya semasa SMP, cinta pertamanya. Tak sekalipun Nina dapat melupakan pria itu. Bahkan sampai detik ini dia masih mengingat nomor telpon rumah Abas. Terkadang juga Nina sering melakukan panggilan hanya untuk mendengar suara pria itu dari ujung telepon. Walaupun belum tentu tiap saat Abas yang mengangkat deringan telepon di rumahnya. Namun, begitulah cara Nina mengobati rasa rindunya terhadap pria itu, cinta pertama yang sulit dilupakannya.

"Nin...," Panggil Iwan memecah lamunan Nina. "Mau kan jadi pacar kakak?"

Nina menatap lekat manik mata Iwan, mencari kebohongan di mata pria yang baru di temuinya dua kali ini. Tapi tidak ada kebohongan disana. "Kakak yakin?" Tanya Nina ragu. "Kita baru juga ketemu loh kak, ya walaupun kita pernah satu sekolah tapi kita kan gak pernah dekat," Nina menautkan alisnya. Mustahil baginya menerima Iwan yang baru seminggu ini dekat dengannya.

Luka Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang