part 9

11 1 0
                                    

Nina sudah siap dengan seragam kebaya hijau pupus yang di belikan Mbak Fira walau ongkos jahitnya Nina harus mengocek kantong sendiri. Namun Nina senang dengan begitu dia merasa menjadi bagian dari keluarga Pakde Rahmat.

Wajah Nina sudah di poles makeup, dia memilih menggeraikan rambutnya yang lurus panjang sepinggang.

Jam sepuluh pagi tentu belum ada tamu dan kerabat yang datang, tapi Iwan merasa akan menjadi bagian dari keluarga Nina, sehingga dia hadir tidak sebagai tamu undangan.

Nina menghampiri Iwan yang sedang membantu menyusun beberapa kursi tamu di teras namun tiba-tiba gawainya berbunyi.
Ternyata itu adalah panggilan dari Bu Fatimah.

"Assalamu'alaikum, Bu. Angga belum sampai, harusnya jam delapan pagi udah sampai Medan."

"..........."

"Ya Allah, kok bisa sih Angga percaya sama orang yang baru di kenal? Kalau ada apa-apa gimana? Mana dari tadi ponselnya gak bisa di hubungi."

".........."

"Ya udah Bu, entar kalau Angga hubungi Nina, Nina kabari ibu. Assalamu'alaikum" Nina menutup percakapannya.

"Ada apa?" Tanya Iwan yang sedari tadi memperhatikan Nina menerima panggilan.

"Angga udah dari tadi sampai Medan, cuma gak langsung kesini. Dia dapat kenalan, dan katanya 'Abang' itu yang bakal ngantar Angga kesini, tapi sampai sekarang belum sampai juga. Gampang banget sih percaya sama orang yang baru di kenal," Nina menjelaskan dengan perasaan kesal.

"Udah coba di telepon?"

"Udah, tapi ponselnya gak aktif. Mungkin habis baterai."

"Ya udah, Nina sabar dulu jangan marah-marah. Mungkin bentar lagi Angga telepon." Iwan berusaha menenangkan Nina.

Kemarin malam Nina di kabari oleh Bu Fatimah bahwa Angga akan ke Medan selama liburan sekolah dan kebetulan sekalian menghadiri pesta pernikahan anak Pakde Rahmat.

Angga naik bus ke Medan. Biasanya akan sampai pukul delapan pagi jika bus tidak mogok di jalan. Bus antar lintas Sumatra kini sudah termakan usia. Inilah penyebab Angga terlambat sampai di Medan, bus yang di tumpanginya berkali-kali mogok di jalan.

Tiba-tiba ponsel Nina kembali berbunyi, tapi yang tertera di layar adalah nomor baru.

Nina menautkan alisnya, lalu segera menekan tombol hijau.

"Halo,"

"........"

"Kamu dimana sekarang? Kok mudah kali percaya sama orang asing. Kalau dia jahat gimana? Kalau terjadi apa-apa sama kamu gimana?" Nina langsung meluapkan kekesalannya saat tahu yang menelepon adalah Angga.

"........"

"Masa dia orang Medan gak tau alamat kesini? Mana orangnya, biar mbak ngomong langsung."

Nina mulai menjelaskan arah jalan menuju rumah Pakde Rahmat.

Setengah jam sudah berlalu sejak Nina menutup percakapannya di ponsel. Dan gawainy kembali berdering.

"Halo udah sampai mana?"

"........"

" Ya udah, mba tunggu di persimpangan jalan besar. Biar gak bingung nanti karena masih banyak belokan jalan kesini. Ingat persimpangannya sebelah kanan, terus ada plang besar tulisannya Yayasan Al-Fatah."

Nina mengakhiri panggilan dan mengajak Iwan untuk menyusul Angga namun sebelumnya dia berpamitan pada Bude Sri.

Lima menit Nina dan Iwan menunggu di persimpangan jalan, dan yang di tunggu sampai. Angga duduk di boncengan bersama seorang pria dewasa tersenyum menyapa Nina. Namun Nina tidak menunjukkan sikap ramah karena sudah terlanjur kesal.

Iwan melajukan motornya sesuai perintah Nina menuju rumah Pakde Rahmat yang di ikuti Angga dan temannya dari belakang.

"Kalian sudah makan?" Tanya Nina setelah Angga selesai menyapa dan bersalaman pada keluarga Pakde Rahmat dan kerabat lain yang telah hadir.

"Belum" jawab Angga cepat. Karena dia merasa cacing di perutnya sudah berontak sejak pagi tidak di beri makan.

Nina melirik tajam ke arah teman Angga, 'harusnya anak Medan ini memberi makan Angga dulu setibanya di Medan'

Teman Angga yang mendapat tatapan tajam hanya tersenyum kaku.

"Mbak, kami sama-sama belum makan. Tadi Bang Roby mau ajak Angga makan, cuma Angga takut kelamaan ntar Mbak Nina tambah marah." Jelas Angga seakan mengerti tatapan tajamnya pada Bang Roby.

"Mbak kenalan dulu sama Bang Roby."

Roby mengulurkan tangannya, dan Nina membalas jabatan tangan Roby.

"Maaf ya buat kamu khawatir. Tapi aku bukan orang jahat kok," ucap Roby sambil cengengesan.

"Tampangnya aja kayak penjahat gitu, berewokan!" Balas Nina blak-blakan.

Spontan Roby melepaskan jabatan tangannya dan mengelus brewok yang memenuhi rahangnya.

"Heheheh... Iya nih, belum sempat cukuran. Tapi aku bukan penjahat loh. Tadi kata Angga mbaknya jelek dan galak." Roby cengengesan memandang ke arah Angga. Dia mengalihkan pembicaraan agar Nina tidak hanya mendikte dirinya.

Nina langsung menatap tajam ke arah Angga. Angga tersenyum kecut sambil memijat tengkuknya.

"Hai, aku Iwan." Tiba-tiba Iwan memperkenalkan diri pada Roby dan Angga dengan menjabat tangan mereka bergantian.

"Langsung ajak  makan aja Nin, kasian mereka pasti lapar. Jangan di marahin lagi  si Angga." Ucap Iwan selalu menenangkan.

Akhirnya mereka berempat makan bersama. Setelah selesai, Nina meninggalkan mereka bertiga berbincang. Nina harus membantu mengelap piring-piring karena tamu datang semakin banyak.

"Mbak," panggil Angga saat Nina masih sibuk mengelap beberapa piring dan sendok. Nina menoleh ke arah suara.

"Bang Roby mau pulang."

Nina melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul tiga sore. Tamu undangan pun sudah tidak sebanyak dua jam yang lalu. Namun, biasanya akan lebih membludak di malam hari apalagi jika hajatan diadakan di malam Minggu.

Roby mengulurkan tangannya, " saya ijin pulang. Terimakasih ya jamuannya," ucap Roby.

Nina membalas menjabat tangan Roby, "sama-sama, terimakasih juga sudah mengantar Angga. Kalau bisa Abang cepat cukuran biar gak kayak penjahat," goda Nina sambil tersenyum manis.

Roby seakan terpesona melihat senyum yang terukir di bibir Nina. Maklum saja, sejak bertemu beberapa jam lalu Nina selalu memasang wajah jutek namun itu tidak mengurangi kecantikan Nina di mata Roby. Dan senyuman perpisahan ini membuat wajah Nina lebih mempesona dan perlahan mengganggu pikiran Roby.

"Yuk, biar saya antar ke depan." Ajakan Iwan membuyarkan lamunan Roby. Segera Roby melepaskan jabatan tangannya kemudian senyum-senyum cengengesan.

Luka Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang