Prolog Season 2

3.4K 230 23
                                    

6 bulan kemudian...

Adalah derik jangkrik yang pertama terdengar ketika Sheena membuka mata. Dingin malam masih membuat gigi bergemeletuk dan kanvas langit masih diwarnai dengan ungu gelap dan bintang yang berserakan. Senyum kecil menyungging di wajah manis perempuan berambut pendek itu, mendapati dirinya kini terbangun di tempat yang sama sekali berbeda.

Enam bulan sudah berlalu semenjak kepindahannya ke kediaman Maestro Lukis bernama Gede Subrata. Dalam rentang waktu itu, banyak hal sudah terjadi.

Berkat bantuan Sheena, Sang Maestro berhasil menyelesaikan ke-12 Mahakaryanya yang akan dibėrȧngkatkan ke Perancis dalam minggu ini. Lukisan ke-13 yang menyertai, adalah buah karya murid kesayangan Pak De.

Sang Prodigy, Pak De sendiri yang menyematkan julukan itu pada Sheena. Tato di lengan kirinya lah yang memulai pertama. Sang Maestro tidak bisa untuk tidak menggeleng-geleng takjub sambil mendecak-decak, mengagumi rerajahan yang memenuhi lengan kiri cewek berambut pendek itu.

"Dewa Ratu, Baru dua orang pelukis muda yang saya tahu bisa membuat gambaran seperti ini; Kamu, dan mendiang anak saya." Lagi, pria tua itu berkata, "kamu ndak usah mikirken masalah model, kamu untuk seterusnya bisa tinggal di rumah saya. Mau, ya," kata Pak De setengah memaksa. "Biar Indira punya kakak lagi," pungkas Pak De, kali ini sambil menyusut air mata yang menggenang di pelupuknya.

= = = = = = = = = = = = = = =

Sementara Indira. Sheena harus menghela napas berat ketika dipaksa mengingat tentang apa yang terjadi pada anak itu.

Waktu itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam ketika Indira diantar pulang oleh kekasihnya. Indira tak banyak bicara, langsung mengurung diri hingga keesokan harinya. Tidak kepada ayahnya, Kadek, ataupun Ava Indira mau bercerita. "Kenapa? Kamu diapaken sama Dewa!? Kalau perlu Ajik lapor polisi!" murka Pak De waktu itu. Namun Indira hanya menggeleng sambil terus menangis.

Barulah kepada Sheena, Indira mau membuka hatinya. Kepada perempuan berambut pendek itu Indira akhirnya bercerita, meskipun terbata. Tentang dirinya, tentang Dewa, dan tentang orang-orang yang terjebak dalam labirin takdir.

= = = = = = = = = = = = = = =

Enam bulan berlalu semenjak peristiwa pertengakaran Dewa dengan ayahnya, banyak hal sudah terjadi terhadap hubungannya dan Indira. Dua tahun bukan waktu yang sebentar dalam memperjuangkan sebuah hubungan. Tentangan orang tua, cibiran dari teman-teman dan keluarga, Dewa dan Indira harus berjuang menghadapi itu semua. Sampai akhirnya labirin takdir menghadapkan keduanya pada jalan buntu. Cul de sac.

Dewa hanya bisa terdiam, merenungi. Pemuda itu memejamkan matanya, menikmati keheningan dan alunan kidung yang berdesir pelan. Dihirupnya napas dalam-dalam, membiarkan aroma dupa dan embun malam memenuhi paru-parunya.

Hanya segelintir pemuda desa yang masih terjaga setelah makemit, yaitu berjaga semalam suntuk di Pura sehari sebelum piodalan. Awan gelap dan kabut tebal yang membungkus desa kecil kecil itu rapat-rapat. Selebihnya yang ada hanyalah gelap pekat dan keheningan soliter yang menyelubungi.

Malam itu keheningan seperti memiliki napas. Angin seperti memiliki lengan yang mendekap tübühnya, membekapnya dalam bisu yang panjang...

Dan kekidungan yang dilantunkan semakin lirih, semakin menghanyutkan...

"Gus." Pundaknya ditepuk oleh seorang kakek tua.

"Eh, Pekak . Nggak bilang-bilang datang."

[pekak = Kakek ]

Pekak cuma terkekeh pelan. "Beh, tambah gagah saja cucu Pekak." Ia mengacak-acak rambut Dewa. "Ajik-mu mana?"

"Masih dirawat di Jerman, sekarang sudah mulai bisa bicara lagi."

Pekak menghela napas, "Mudah-mudahan Ajik-mu lekas sembuh."

Dewa tidak bisa melupakan saat itu, saat terakhir ia bertengkar hebat dengan ayahnya di telepon. Sesaat kemudian, ia mendapat kabar: ayahnya terkena stroke, tepat setelah ia memaki-makinya. Tübüh ayahnya lumpuh total, anfal.

"Saya jahat, ya... " Dewa berkata, lirih.

"Bukan salah kamu, Gus..." Pekak menepuk punggung tangan Dewa, berusaha menghiburnya.

Dewa mulai membuka suara, menceritakan isi hati kepada satu-satunya orang yang ia percayai yang masih tersisa di muka bumi. Percakapan ini makin lama seperti sepasang sahabat yang lama tidak berjumpa. Bersamanya Dewa kembali menemukan keteduhan dan kehangatan yang bahkan tidak bisa didapatkan dari sosok ayah -dan mungkin tidak akan pernah ia dapatkan lagi.

"Sekarang, Indira gimana kabarnya?" kakeknya bertanya, dan kali ini Dewa harus pura-pura tersenyum.

"Baik, Kak. Tapi Indira sudah nggak sama saya lagi. Suba Pegat."

[Suba Pegat =. Sudah putus]

"Oh." Pekak manggut-manggut. "Dia sudah tahu, Ajik-mu kena Stroke?"

Dewa tidak menyahut, lebih baik membuat Indira membencinya sekalian, dengan tidak mengatakan alasan sebenarnya, agar Indira tidak lagi mengharap, tidak lagi menyimpan perasaan terhadapnya.

Pekak menyadari perubahan raut wajahnya yang tiba-tiba. "Pekak rasa, keputusanmu itu sudah tepat, Gus." Ada jeda kosong yang diisi oleh suara jangkrik, sebelum ia berkata "Antara cinta dan arwah para leluhur, kamu sudah memilih..."

Tangisan lirih terdengar, nyaris tanpa bersuara.

"Hidup ndak pernah berakhir mati.... Jangan pernah lupa mendoakan arwah pekak..." Pekak berkata, sebelum wujudnya menghilang bersama asap dupa yang menyeruak dari kegelapan.

Dewa tersentak, mendapati dirinya berada antara mimpi dan terjaga...

Sementara kidung terus melantun... pelan... tanpa putus-putus...

[PLAYLIST]

Andai Aku Bisa | Chrisye

Paradiso!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang