Fragmen 33. Terlambat Menyadari

2.3K 190 8
                                    

Dukung cerita ini dengan vote, komen yang ramai, dan follow akun @Jaya_Suporno (akun utama), dan JayaSuporno (akun serep)
__________________________________________

"Dok, Pasien sudah sadar." Sheena mendengar suara di antara gumaman-gumaman tidak jelas yang berdengung seperti suara tawon.

"S-saya... d-dimana...?" Sheena berkata, parau. Dirasakannya bibirnya kaku dan penuh asin darah. Kepalanya dibebat dan lengan kanannya digips.

"Kak Na... Kak Na... huk... huk...." Sesorang menangis di telinganya, Indira?

Sheena mengerjap-ngerjap, pandangannya masih gelap, dan ia hanya tahu bahwa matanya diperiksa dengan senter.

"Vital Sign pasien sudah mulai normal...." kembali didengarnya gumaman-gumaman tidak jelas, berdengung dan bergaung-gaung, entah.

Butuh beberapa saat hingga perlahan Sheena semakin jelas melihat wajah orang di sekelilingnya...

"A-ava?" Sheena mengerang lemah, mendapati Ava duduk di sisi pembaringan, menggenggam erat tangannya bersama Indira. Ada Kadek yang berkali-kali menghela nafas prihatin, juga Bob -yang cuma mewek-mewek tidak jelas.

"Na... gue kira lu sudah... sudah... ..." Bob berkata terbata, senguk tangis di tenggorokannya membuatnya sedikit kesulitan bernafas, hingga terpaksa Kadek menepuk-nepuk pundaknya, menenangkan pemuda berambut gimbal itu.

"Nggak apa-apa... sudah... nggak apa-apa..." Sheena mengusap-usap kepala Indira yang sesenggukan di dȧdȧnya.

"Permisi, maaf... Pasien mengalami trauma serius, tolong jangan diganggu dulu..." datang seorang pemuda berjas putih, menegur mereka.

Kepala Sheena masih pening, namun ia masih bisa mengenali wajah pemuda itu...

Wajah yang fotonya dulu terpasang di kamar Indira, dan ditangisi Indira selama sebulan penuh...

Dewa?

= = = = = = = = = = = =

Indira cepat-cepat mengusap air matanya, tidak menyangka bertemu mantan kekasihnya di saat seperti ini, "De-Dewa... eh... um..."

"Kondisi pasien masih belum stabil." Dewa cepat menukas, berkata dingin, membuat Indira sadar dengan posisi pemuda itu saat ini -bukan sebagai mantan pacarnya, tapi sebagai staf medis yang sedang bertugas.

Sebüȧh instruksi dari Supervisor-nya membuat Dewa kemudian menjelaskan kondisi medis Sheena kepada Ava dan yang lainnya.

"Dok... Kakak saya... nggak kenapa-kenapa kan? Nggak gegar otak kan?" Indira berkata, sambil menggigit-gigit bibir.

"Gegar otak ringan, tapi bisa pulih." Dewa menjawab, namun nadanya seolah tanpa emosi.

"Gegar otak?" Kadek mengernyit.

"Ya, akibat pukulan benda tümpül."

Indira sedikit cemas. "Parah?"

"Sedikit, lalu ada fraktur humerus."

"Eng..."

"Patah tulang, lengan kanan," Dewa menjelaskan panjang lebar kondisi medis Sheena, sebelum akhirnya ia mohon diri. "Sebaiknya pasien dibiarkan istirahat, saya permisi dulu."

Indira mengikuti sampai agak jauh. "Dewa..."

"Ya?"

"Makasih... sudah merawat kakak saya." Indira tersenyum, tulus.

Dewa tersenyum kecil, buru-buru berlalu.

People changes. Dewa berkata dalam hati, tanpa menoleh lagi.

Kadang kita menyadari sesuatu, justru di saat kita kehilangannya.

= = = = = = = = = = = =

Perlahan, Ava mengusap punggung tangan Sheena. Pemuda itu tak banyak bicara, tapi dalam kebisuannya, Sheena menemukan sesuatu.

Atau mungkin kita menemukan sesuatu, namun terlambat menyadari.

Paradiso!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang