Prolog Season 3.

2.6K 203 3
                                    

Dukung cerita ini dengan vote, komen yang ramai, dan follow akun @Jaya_Suporno (akun utama), dan JayaSuporno (akun serep)
__________________________________________

Hanyalah lantun kidung, yang bercengkok dan meliuk merdu di antara pucuk-pucuk cemara. Sinar senja menyeruak dari sela dedaunan, membentuk garis-garis jingga di udara -seperti kilauan ribuan lampu sorot- yang menerangi gerak lincah beberapa penari.

Ava berdiri tak berkedip, memandang takjub ke arah penari yang meliuk, melirik-lirik, dan menggerakkan jemari. Sementara beberapa lelaki bersila khusyuk, melantunkan nyanyian yang mirip tembang kidung yang biasa dilantunkan umat Hindu.

Ava tercenung lama, sebelum menyadari bahwa syair kidung tersebut disampaikan dalam bahasa Arab, bukan bahasa Bali atau Jawa Kuno. Malah lamat-lamat Ava bisa menangkap bahwa yang tengah dilantunkan itu adalah Shalawat, puji-pujian untuk Rasulullah SAW. Juga tak ada tetabuh gong atau gamelan, hanya rebana yang dibunyikan bertalu-talu.

"Ini tarian apa, pak?" Ava bertanya pada bapak-bapak di sebelahnya.

Bapak-bapak berpeci itu tersenyum, sebelum menjelaskan. Inilah Burde, kesenian khas Desa Pegayaman, desa kecil yang terhampar di lereng Bukit Gitgit, satu di antara jajaran pergunungan yang memagari Bali Utara dengan daerah selatan.

Sehari setelah hari raya Galungan yang biasa disebut dengan Manis Galungan, umat Hindu di Bali biasanya berkunjung ke keluarga dan kerabat untuk mengucapkan selamat, sekaligus mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa lalu. Maka berangkatlah Ava menemani Lucille dan Indira, menginap semalam di kampung halaman Pak De yang berhawa dingin dan dikelilingi hutan hujan tropis.

Hari ini, di antara kerumunan manusia dan dua budaya yang membaur menjadi satu padu, Ava berdiri, merenungi. Memulai sebüȧh babak baru dalam perjalanan panjang menuju: Paradiso.

________________________________

Warga Muslim menetap di sini semenjak abad ke-15, saat Raja Mataram Islam menghadiahkan seekor gajah dan 80 prajurit kepada Raja Buleleng sebagai tanda persahabatan. Para prajurit dari Jawa Tengah ini kemudian ditempatkan di derah perbatasan membentengi Puri Buleleng dari serangan raja-raja Bali Selatan. Mereka kemudian menetap dan berbaur dengan penduduk desa lainnya. Mengadopsi nama Bali, seperti 'Wayan, Made, Ketut.' dan juga menyerap kebudayaan Bali dalam berbagai bentuk.

_________________________________

Paradiso!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang