7

368 52 5
                                        

Sejak beberapa minggu terakhir, aku mulai merasa ada yang aneh—Park Jimin selalu ada di sekitar aku.

Pada awalnya, aku pikir itu hanya kebetulan. Kami memang berada di kepanitiaan yang sama, jadi wajar jika sering bertemu. Tapi semakin lama, aku menyadari Jimin selalu menemukan cara untuk berbicara denganku.

Setiap kali kami berpapasan, dia pasti menyapaku lebih dulu, mengajak mengobrol meskipun hanya sebentar. Kadang, saat aku sedang antre beli kopi di cafe kampus, dia tiba-tiba muncul di sampingku, tersenyum kecil sebelum berkata, "Mau kutraktir?"

Aku tentu menolak beberapa kali, tapi tetap saja ada saat-saat di mana tiba-tiba kopiku sudah dibayar olehnya. "Anggap saja ini sebagai reward karena kau sudah bekerja keras," katanya ringan, sebelum melenggang pergi seperti tidak terjadi apa-apa.

Namun, meskipun begitu, aku tidak bisa bilang kami teman dekat. Jimin tetap fokus pada lingkaran pertemanannya sendiri, dikelilingi oleh anak-anak populer yang selalu tampak kompak.

Yang membuatku bingung, setiap kali aku ada di sekitar mereka, Jimin selalu meninggalkan teman-temannya dan menghampiriku. Aku tidak tahu apakah itu kebiasaan atau ada alasan tertentu, tapi yang jelas, teman-temannya tidak begitu menyukaiku. Tatapan mereka terkadang membuatku merasa seperti orang luar, seakan-akan aku merebut Jimin dari mereka. Kecuali Taehyung dan Jungkook—hanya mereka yang tampak cukup ramah, bahkan sesekali menyapaku meskipun tanpa kehadiran Jimin.

Sekarang, festival sudah berjalan setengah jalan. Semakin mendekati hari-H, pekerjaanku semakin menumpuk. Aku jadi jarang bertemu teman-temanku, kecuali Soyeon—itu pun karena kami berada di departemen yang sama.

Namun, kepanitiaan sedang dihentikan sementara karena ujian tengah semester. Banyak yang mengira jurusanku, Seni dan Sastra, mudah, tapi kenyataannya tidak begitu. Setiap mata kuliah membutuhkan pemahaman yang mendalam, belum lagi tugas-tugas esai yang menguras energi.

Hari ini, aku akhirnya menyelesaikan ujian terakhirku. Aku keluar ruang ujian dengan perasaan lega luar biasa, meskipun tubuhku terasa lelah. Rasanya seperti beban besar terangkat dari pundakku.

"Kau ikut, kan?" Soyeon tiba-tiba sudah berdiri di sampingku, menatapku dengan mata penuh harapan.

Aku mengernyit. "Ikut apa?"

"Healing, dong! Kami mau makan malam di Hongdae, lalu karaoke. Kau harus ikut!"

Aku menghela napas. Jujur, aku lelah. Tapi aku juga butuh hiburan, dan lagi, aku tahu kalau aku menolak, Soyeon akan mengomel sepanjang hari.

"Baiklah, aku ikut."

Malam itu, kami pergi ke Hongdae. Kami makan malam bersama di sebuah restoran Korean BBQ, menikmati obrolan santai yang sudah lama tidak kulakukan. Setelah itu, teman-temanku masih penuh energi dan memutuskan untuk pergi ke karaoke. Aku ikut, meski sebenarnya tenagaku sudah hampir habis.

Saat berada di dalam ruang karaoke yang riuh dengan suara nyanyian dan tawa, aku merasa social battery-ku semakin menurun. Aku menepuk bahu Soyeon dan berkata pelan, "Aku keluar sebentar ya, cari udara."

Soyeon melirikku sekilas, lalu mengangguk. "Jangan kabur, ya."

Aku tertawa kecil sebelum melangkah keluar dari ruangan itu. Udara malam menyambutku begitu aku membuka pintu gedung. Aku menyandarkan punggung ke dinding, memainkan ponsel sambil sesekali menatap langit. Bintang-bintang terlihat samar di antara cahaya kota yang terang. Aku menghela napas panjang, menikmati momen tenang ini.

Sekitar sepuluh menit kemudian, aku merasa sudah cukup dan hendak kembali ke dalam. Namun, saat aku berbalik, aku melihat sesuatu di seberang jalan.

Kerumunan.

Orang-orang tampak berkumpul di trotoar, berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke tengah lingkaran yang mereka bentuk. Rasa penasaran membuatku melangkah mendekat. Aku menyebrangi jalan, mencoba melihat apa yang terjadi.

Dan di saat itu, jantungku seperti berhenti sejenak.

Di tengah-tengah kerumunan itu, terduduk di trotoar, adalah Jimin.

Dia merunduk, kedua tangannya mencengkeram sisi kepalanya, jari-jarinya menutup telinganya erat. Bahunya bergetar, nafasnya tidak beraturan, seakan-akan dia sedang menahan sesuatu yang tidak bisa diredam.

Aku terpaku di tempat. Dadaku tiba-tiba terasa sesak melihatnya seperti itu.

Jimin yang biasanya selalu tersenyum. Jimin yang selalu penuh energi. Jimin yang suka menggodaku dengan nada ringan.

Sekarang, dia tampak rapuh. Dan itu membuatku tanpa sadar melangkah lebih dekat.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi satu hal yang aku tahu, aku tidak bisa hanya berdiri diam.

Filter • pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang