The Fourth Reason pt.1

135 27 0
                                    

Alasan keempat: he is protective.

Kita semua tahu Johnny adalah sosok yang ramah, murah senyum, loyal, dan humoris. Namun jika itu sudah menyangkut Jenaya, ia bisa menjadi seseorang yang protektif. Dan galak.

Contohnya saja beberapa hari yang lalu. Aya habis ada rapat di fakultasnya dan baru selesai sekitar pukul sembilan malam. Kampus tidak terlalu sepi, ada beberapa orang berkeliaran walau tidak lebih dari tiga orang. Tapi setidaknya sejauh Aya memandang, ia masih melihat manusia.

Malam itu, Aya sengaja tidak memberitahu Johnny jika ia pulang malam karena ia tahu jadwal pacarnya hari ini sangat padat. Dia bisa pulang sendiri. Dia punya sabuk hitam dalam bidang karate, dia percaya diri.

"Dingin juga, ya," ucap Aya pada diri sendiri ketika berjalan melewati hutan kampusnya. Ia melirik jam tangan di pergelangan tangannya, hampir pukul sepuluh malam. Ada beberapa urusan yang perlu dibereskan oleh divisinya, sehingga gadis itu pulang lebih malam.

Aya seharusnya tidak merasa khawatir karena ada orang di belakangnya. Tapi lain cerita bila belakangan ini ia mengikuti berita di Twitter perihal orang-orang tidak bertanggung jawab yang mengikuti seorang gadis dan memamerkan burungnya yang dirasa indah dan menawan.

Aya mendengus dalam hati, diam-diam berdoa. Tentu saja tidak hanya berdoa, ia juga berusaha dengan cara mempercepat langkahnya.

Sial baginya, sepertinya orang dibelakangnya sadar jika Aya tahu dirinya terancam. Gadis itu meringis kesal ketika orang di belakangnya bersuara.

"Mbak, Mbak," suaranya terdengar seperti om-om. Aya tidak mau berbalik. Ia menganggap dirinya lelaki kali ini, jadi ia hanya akan berbalik jika dipanggil mas.

"Mbak, mau tanya ini nama daerahnya apa, ya Mbak?" tanya lelaki di belakang Aya. Sungguh, Aya tidak ingin berbalik.

"Mbak, Mbak, kalo ini apa Mbak?" lelaki itu menarik tangan Aya sehingga gadis itu berbalik dan melihat pemandangan yang sungguh tidak sedap dipandang. Aya merasa jijik dan mual.

Di hadapannya, seorang lelaki sedang membuka resleting celananya dan memamerkan hartanya dengan bangga. Seorang penderita eksibionisme, Aya tahu.

Sungguh, otak Aya sudah memaksa gadis itu untuk berlari dan mencari bantuan. Ia memanggil-manggil Johnny dalam hati. Tangannya yang basah dan dingin mencengkeram ujung jaket yang ia pakai, keringat dingin mengalir di keningnya.

Tapi tiba-tiba ia teringat thread di Twitter untuk menghadapi orang sakit seperti ini. Ia berdehem dan mengeluarkan tawa. Suaranya sumbang dan aneh di dengar, tapi Aya tidak peduli.

"Kecil, Pak," ucap Aya, mati-matian mengumpulkan keberanian dalam dirinya. "Punya pacar saya lebih besar. Lebih bagus, lagi. Sama adik saya yang masih SD juga kayaknya masih gedean punya dia."

Sungguh, Aya tidak pernah—oke, maksudnya belum pernah melihat harta kekasihnya. Ia bahkan tidak punya adik. Itu hanya alasan supaya orang gila ini segera pergi.

"Ah, bohong nih, Mbaknya," orang itu menyeringai sambil mendekat.

"Serius, Pak, mau saya liatin? Saya punya fotonya," ucap Aya, entah mengapa keberanian mulai muncul. "Punya Bapak kecil, saran saya Bapak beli viagra di apotek Pak. Kayaknya ada."

"Kamu—"

"JENAYA!"

Sungguh, selama ia hidup, sepertinya ia belum pernah merasa selega ini, walau agak kesal kenapa orang itu memanggil namanya sehingga orang gila di hadapannya ini tahu namanya. Biarlah. Ini situasi gawat darurat.

Ia mencari sumber suara dan menemukan sesosok pemuda dengan rambut agak gondrong berlari ke arahnya.

"Jen—"

Five Reasons | Seo Johnny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang