"Permisi, maaf, itu temanku. Aku mengenalnya, aku akan mengatasi masalah ini, jadi tolong tinggalkan kami. Terima kasih." Aku mencoba membubarkan kerumunan yang tampak semakin ramai.
Akhirnya, kerumunan itu mulai bubar perlahan setelah aku berteriak. Orang-orang yang tadinya penasaran, satu per satu beranjak pergi, meninggalkan aku dan Jimin yang masih terkulai lemah di trotoar. Aku menarik napas lega, meskipun hatiku masih terasa perih melihat keadaannya.
Aku menundukkan diri di hadapannya, mencoba menarik perhatiannya. "Hei, Jimin? Ini aku, Yebin."
Tidak ada respons. Kepalanya tetap tertunduk, tangan-tangannya mencengkeram sisi kepalanya erat, tubuhnya sedikit gemetar. Hatiku berdebar, semakin cemas.
"Jimin? Kau kenapa? Kau bisa dengar aku, kan?" Suaraku terdengar lebih lembut kali ini, seolah takut jika suaraku yang lebih keras malah akan memperburuk keadaannya.
Tetap tidak ada reaksi. Aku melirik sekeliling, mencari sesuatu yang bisa membantuku. Tak jauh dari kami ada bangku kosong di pinggir trotoar. Aku menatap Jimin dengan cemas, lalu perlahan meraih bahunya. "Ayo kita duduk di sana, ya?"
Jimin tidak menolak, meski dia juga tidak memberikan respons. Dengan susah payah, aku membantunya berdiri dan membimbingnya menuju bangku itu. Dia terdiam, tetapi setidaknya dia menurut.
Aku ingin membeli air atau sesuatu yang bisa menenangkannya, tapi aku tidak bisa meninggalkannya sendirian dalam keadaan seperti ini. Jadi aku hanya duduk di sampingnya, mengawasinya dengan hati-hati. "Tidak apa-apa, Jimin. Aku akan tetap di sini sampai kau tenang. Aku nggak akan ke mana-mana."
Waktu terasa sangat lama. Hanya suara kendaraan yang berlalu di jalan yang terdengar sesekali, menciptakan keheningan di antara kami. Aku meliriknya. Tubuhnya masih tegang, tapi napasnya mulai lebih teratur. Perlahan, dia mengangkat kepalanya dan melirikku dengan mata yang sembab.
Aku tersenyum kecil, berusaha memberi ketenangan. "Sudah tenang, ya?"
Dia masih terisak sedikit, tapi jauh lebih baik dari sebelumnya. Orang-orang yang berlalu-lalang sesekali melirik kami, tapi aku tidak peduli. Biarlah mereka merasa penasaran.
Jimin... panic attack, ya? Aku pernah mengalami itu dulu, jadi aku tahu rasanya. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari reaksinya. Dia tampak lebih ketakutan dan bingung... seperti anak kecil yang tersesat di tempat yang asing.
Aku mencoba bertanya, "Kau kenapa sendirian di sini? Lagi hangout sama teman-temanmu?"
Tidak ada jawaban. Aku menggigit bibir, berpikir keras. "Aku lagi karaokean sama teman-temanku, tempatnya di seberang jalan. Kalau mau, kita bisa ke sana dulu, biar kau bisa tenang di dalam?"
Sekali lagi, dia tidak memberi respons. Aku mulai merasa frustrasi. Aku ingin membantunya, tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Hingga akhirnya, suara pelan keluar dari bibirnya.
"Takut..."
Aku mengernyit. "Apa?"
Jimin sedikit mengangkat wajahnya, kali ini suaranya lebih jelas, meskipun masih terdengar lirih. "Aku takut."
Aku terpaku. Matanya penuh kebingungan dan ketakutan, seperti anak kecil yang tersesat di tempat asing.
"Aku... nggak tahu ini di mana," lanjutnya pelan, suara itu lebih kecil dari sebelumnya.
Aku semakin bingung. Ada yang aneh. Bukan hanya kata-katanya, tapi cara bicaranya. Ini bukan Jimin yang biasanya. Nada suaranya lebih ringan, seperti anak kecil yang baru belajar mengungkapkan perasaannya.
Aku menghela napas panjang. Aku harus melakukan sesuatu. Dengan cepat, aku merogoh ponselku dan mencari nomor Taehyung di grup kepanitiaan. Begitu kutemukan, aku langsung meneleponnya.
"Halo? Maaf, ini Han Yebin dari Departemen Seni dan Sastra. Aku butuh bantuan—" Aku menjelaskan semuanya, mulai dari bagaimana aku menemukannya Jimin di sini sampai keadaannya.
Tanpa bertanya panjang lebar, Taehyung langsung menanyakan lokasiku dan mengatakan dia akan segera ke sini.
Aku mengembuskan napas lega. Setidaknya ada seseorang yang bisa membantu. Untuk sementara, aku hanya bisa menemani Jimin. Kami kembali terdiam. Aku mencoba berpikir apakah ada hal lain yang bisa menenangkan suasana.
Tiba-tiba, Jimin menarik lengan sweaterku pelan. "Itu apa?" tanyanya, menunjuk strap handphone-ku yang berwarna-warni dengan gantungan berbentuk beruang.
Aku sedikit terkejut, tapi tersenyum. "Oh, ini? Strap handphone. Kakakku yang kasih. Lucu, kan?"
Jimin menatapnya dengan mata berbinar. Senyum kecil mulai muncul di bibirnya. "Hehe, iya, lucu."
Aku terdiam, memikirkan ini. Kenapa dia tiba-tiba begitu tertarik? Bukankah dia pernah punya gantungan kunci berbentuk bebek besar? Mungkin dia memang suka hal-hal lucu?
Dia meraih strap handphone-ku dan memainkannya dengan ujung jarinya. Tawa kecil terdengar dari bibirnya. Melihatnya seperti itu, aku semakin yakin. Ini bukan Jimin yang biasanya. Ada sesuatu yang jelas berbeda.
Aku mencoba mengalihkan perhatiannya. "Lihat deh, lockscreen-ku juga lucu." Aku menunjukkan ponselku yang bergambar Pompompurin, salah satu karakter Sanrio.
Jimin kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. "Ini bisa gerak loh," kataku sambil menekan layar, menunjukkan bagaimana lockscreen itu bisa bergerak.
Mata Jimin melebar, terkesan. "Kok bisa gitu?"
Aku tertawa kecil. "Iya bisa, buat dari pengaturannya langsung."
Jimin menatapku dengan kebingungan. "Pengaturan?"
Aku kembali terdiam. Ini semakin aneh. Seolah-olah dia belum pernah menggunakan ponsel sebelumnya. Aku mulai berpikir untuk bertanya lebih jauh.
"Jimin, kau kenapa seperti anak kec—"
Tepat saat itu, seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh dan melihat Taehyung berdiri di sana, masih sedikit terengah-engah. "Halo Yebin. Maaf ya, kau jadi nunggu lama, aku cari parkir dulu tadi."
Jimin langsung bersorak riang. "Kak Taehyung!"
Aku mengerjapkan mata. Kak? Mereka kan satu stambuk? Apa ini semacam lelucon? Inside jokes?
Taehyung tidak menunggu lama dan segera menggandeng tangan Jimin, bersiap membawanya pergi. "Terima kasih banyak, Yebin. Serius, aku nggak tahu gimana jadinya kalau kau nggak ada."
Aku masih terlalu bingung untuk merespons, tapi akhirnya mengangguk. "Jimin sering seperti ini?" tanyaku pelan.
Taehyung menghela napas. "Kadang. Makasih ya, untung saja ada kamu. Takdir banget, ya?"
Sebelum mereka melangkah pergi, Taehyung berkata, "Oh iya, tolong rahasiakan kejadian ini ya, Yebin." Ia mengedipkan sebelah matanya.
Aku mengangguk, meskipun aku masih bingung. Lagipula, aku bukan tipe orang yang suka membicarakan hal-hal seperti ini. Itu tidak etis.
Aku memperhatikan punggung mereka yang semakin menjauh. Begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku, tapi aku tahu ini bukan saatnya untuk mencari jawaban.
Ponselku tiba-tiba bergetar. Aku melihat layar dan melihat nama Soyeon muncul. Aku buru-buru mengangkatnya.
"HAN YEBIN! KAU KABUR YA?"
Aku tertawa kecil. "Nggak kok, tadi aku jajan sebentar di luar. Ini aku di jalan balik kesana."

KAMU SEDANG MEMBACA
Filter • pjm
Fanfiction"Pick your filter, Which me do you want?" Han Yebin tak pernah suka jadi pusat perhatian-hingga hidupnya bersinggungan dengan Park Jimin. Populer, ceria, dan selalu penuh pesona, Jimin terlihat sempurna. Tapi di balik senyuman itu, ada banyak hal ya...