Bab 4

67.7K 5.3K 307
                                    

Selamat Membaca







Nando diam di tempat dia duduk. Pandangannya memerhatikan Nadella yang tengah sibuk membantu sang bunda dan Rahma di dapur. Teman-temannya sudah banyak yang berdatangan. Tapi, entah kenapa acara ini tidak semenarik bayangannya. Pikiran Nando tersita dengan kejadian yang baru saja dia ketahui. Kebrengsengkan sang kakak.

“Ini minumnya,” kata Nadella sambil menyajikan minuman di depan meja Nando dan teman-temannya.

“Makasih,” jawab teman-teman Nando serentak.

“Siapa, Ndo? Gue kayak pernah ketemu, tapi nggak tahu di mana,” ujar salah satu teman Nando.

“Kakak ipar gue.” Setelah menjawab pertanyaan Nando dengan singkat, lelaki itu berdiri dan berjalan ke arah Nadella yang kebetulan tengah berada di dapur sendiri.

“Ikut gue,” katanya sambil menarik tangan Nadella menuju ke samping rumah, ke taman yang berada di samping kolam renang.

“Ada apa?” tanya Nadella sambil menyamai langkah Nando dengan tergopoh.

“Gimana bisa lo bersikap seolah nggak terjadi apa-apa?!” tanyanya setelah mereka berada di bawah pohon yang cukup rindang.

Nadella memandang Nando lurus. “Aku udah bicara ini sama kamu tadi. Nando, jangan diperpanjang lagi, ya. Anggap kamu nggak pernah dengar itu,” jawabnya.

“Gimana bisa gue pura-pura nggak dengar itu?!” sentaknya marah, lelaki itu mengembuskan napasnya kasar. “Gue dengar pakai telinga gue sendiri. Gimana bisa gue pura-pura nggak tahu kalau pernikahan kakak gue nggak lagi baik-baik aja!”

Nadella menghela napas pelan, dan menunduk. Gadis itu hendak menjawab, sebelum sebuah dehaman membuat keduanya menoleh ke belakang. Nando yang melihat Elang berjalan ke arahnya, melepaskan tangannya dan tangan Nadella yang sedari tadi masih saling bertautan.

“Kalian ngapain?” tanya Elang.

“Kita berdua ngobrol masalah sekolah dulu. Ternyata sebelum ini, aku sama Nando pernah-”

“Nadella mau kuliah.”

Elang dan Nadella menatap Nando dengan terkejut. Apalagi, Elang. Lelaki itu menatap bergantian kepada Nando dan Elang.

“Dia bilang sama gue. Kalau dia mau kuliah.” Setelah mengatakan itu, tanpa rasa bersalah, Nando malah berjalan memasuki rumah. Meninggalkan Nadella yang gelisah di tempat dia berdiri.

Elang berjalan mendekat ke arah Nadella. “Benar apa yang dikatakan Nando?” tanyanya memastikan.

Nadella diam. Dia memandang ke arah Elang dengan bingung. Dia memang sangat ingin kembali menempuh pendidikan. Tapi, kalau Elang tidak memberikannya izin, maka dia tidak akan memaksa. Apalagi, mengingat keadaan mereka sekarang. Lagi. Nadella cukup tahu diri.

“Aku tergantung Mas Elang. Kalau Mas Elang nggak kasih izin, aku juga nggak apa-apa.” Akhirnya jawaban itu yang terucap dari bibirnya.

“Kenapa terserah aku?”

Nadella memandang Elang lurus. “Mas Elang suamiku, kan?”

Elang ikut terdiam. Matanya saling memandang dengan mata indah milik Nadella. Benar. Dia suami Nadella. Hidup gadis itu ada di tangannya sekarang.

Lelaki itu akhirnya mengangguk dan mengukir senyuman tipis. “Kita masuk ke dalam dulu, ya. Kita bicarakan ini di rumah.” Tangannya terulur ke arah Nadella.

Gadis itu membalas senyuman Elang. Tangannya meraih tangan Elang. Keduanya berjalan masuk kembali ke dalam rumah dengan tangan yang saling menggenggam. Nando memerhatikan itu sedari tadi. Dia menggeleng pelan melihat sikap yang Nadella tunjukkan.

NadellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang