Perlahan

114 8 0
                                    

Melepaskan itu sulit. Tapi bagaimana jika apa yang sudah tergenggam justru melepaskan dirinya sendiri? Mau dikata apa, kita hanya insan biasa yang tak bisa menolak kenyataan.

Tapi semua butuh proses. Tahap awal melupakan adalah kesakitan. Memang tahap ini akan memakan waktu yang panjang. Tapi jika sabar, kamu akan tahu rasanya behasil berdamai dengan keadaan.

Gue, adalah salah seorang yang berhasil berdamai dengan keadaan itu. 4 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk gue dan Elsha, mantan pacar gue membangun kenangan. Kemudian runtuh hanya karena alasan nggak logis yang dia buat untuk mengakhiri hubungan kami.

Gue pada awalnya bingung sekaligus sedih tentunya. Apa yang kurang dalam diri gue sampai si Elsha setiba-tiba itu memutuskan hubungan kami. Gue tentunya sangat terpuruk. Nangis malam-malam sendirian di kamar kayak banci. Bahkan gue males buka hp untuk beberapa waktu. Gue males lihat dunia. Mood gue rusak untuk waktu yang panjang.

Sampai akhirnya gue di sini. Berdiri lagi dengan senyum lama gue yang sempat beberapa bulan hilang. Gue nggak munafik, memang Elsha penyebabnya. Tapi gue sedikit pun nggak pernah memaki dia. Ini juga salah gue yang terlalu percaya bahwa dia jodoh gue sampai gue kerahkan seluruh kasih sayang gue ke dia.

Setelah putus dari Elsha, gue belum pacaran lagi. Bukan gue trauma atau apalah itu. Gue cuma lagi membenahi diri dan berusaha lebih hati-hati lagi dalam memilih.

Sekarang pukul 12. Udah masuk jam makan siang. Pantas aja Fikri, sahabat gue sejak SMA itu lagi jalan ke arah sini. Gue cepat-cepat ngeluarin bekal buatan gue sendiri tentunya.

"Bawa bekal lagi?" Fikri retoris.

"Iya." jawab gue seadanya.

"Bro, udah kerja masih aja bawa bekal." Fikri terkekeh geli.

"Iya nih. Manja banget ya kesannya?" gue bertanya dengan perasaan malu.

"Pake nanya lagi. Udah lah sekali-sekali makan di kantin kayak gue. Enak-enak kok, harganya juga murah."

"Bukan masalah harga murah. Lambung gue sama lo kan beda. Juga, gue nggak mau durhaka bohongin bunda yang tiap hari telfon suruh buat bekal."

Fikri hanya menggelengkan kepala menyerah, "Masih ada aja cowok kayak lo ya. Yaudah yuk, temenin gue ke kantin."

***

Gue merhatiin Fikri yang makan beef steak dengan lahap. Kantin ini memang menyediakan makanan-makanan restoran yang cukup enak. Sayang sekali gue nggak bisa ngerasain itu karena bisa merusak tubuh gue.

Anyway, gue dan Fikri bekerja di sebuah perusahaan bidang industri minyak wangi ternama. Setelah kami menamatkan kuliah S1 pemasaran, kami berhasil diterima di perusahaan bergengsi ini. Untuk gaji, tidak perlu diragukan. Kami mampu membayar cicilan apartemen dan mobil setiap bulan serta semua biaya hidup. Bahkan masih ada beberapa sisanya untuk bisa ditabung.

Nggak gue pungkiri, gue selera dengan salah satu makanan pantangan gue itu. Gue langsung gugup pas Fikri sadar kalo gue lagi perhatiin dia.

"Mau?" Fikri menawarkan.

Gue lama menjawab. Pas gue hendak ngebuka mulut, terlambat. Anak itu sudah kepalang memotongkan sebagian makanannya dan menyodorkannya ke arah gue. Sial, gue nggak bisa tahan ini

"Gue tahu lo bosen makan buah sama sayur terus."

"Tapi gue bisa kolaps kalo dikasi ginian."

"Dikit doang. Nggak pa-palah beb."

Gue diem merhatiin daging itu. Sial, sausnya bikin gue pengen langsung nelan aja. Fikri, jauhin steaknya tolong! Nggak kuat gue.

"Serius nggak mau?" Fikri menaik turunkan alisnya dengan seringaian jahil.

Gue udah berusaha untuk nggak tergoda dengan Fikri sialan Pranata itu. Tapi suapannya membuat mulut gue menolak untuk tak menerima. Gue mengunyah daging itu.

"Tuh, nggak pa-pa sekali-sekali. Jangan terlalu nurutin pantangan!" katanya melihat gue yang baik-baik saja setelah menerima suapan daging sapi itu.

Gue mengangguk setuju. Tapi itu hanya bertahan beberapa menit. Gue tiba-tiba merasa pusing bukan main dan seluruh tubuh gue lemas. Gue nggak inget apapun selain Fikri yang kepanikan dan semuanya gelap.

Bertemu untuk BerpisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang