Makan malam nyebelin

76 8 3
                                    

"Lama banget." gumam Fikri yang sudah menunggu di kursi kemudi.

Gue menutup pintu dan hanya membalas dengan deheman. Gue udah nggak kesal lagi sama dia. Cuma memang rasanya lelah aja. Percakapan gue dan Elsha tadi benar-benar memberatkan.

Perasaan gue sekarang campur aduk. Mood gue mendadak kurang bagus. Gue pengen marah tapi bingung ke siapa.

"Masih lemes?"

Gue hanya menggeleng atas pertanyaan Fikri.

Selang beberapa menit, Fikri bertanya lagi, "Pusing?"

Gue menanggapinya dengan gelengan lagi.

"Lo mau makan apa?" Fikri kembali bertanya.

"Makan lo!" bentak gue pada akhirnya. Entah mengapa suara Fikri dan banyak omongnya semakin membuat mood gue rusak.

"Dih! Galak banget."

"Makanya lo diem aja deh mendingan. Gue capek." setelah membentak Fikri, gue seolah puas karena berhasil melampiaskan amarah gue.

Fikri benar-benar diam setelahnya. Membuat gue rada nyesel juga udah ngegas. Padahal Fikri sudah seperhatian itu ke gue. Gue nggak tahu diri banget. Nah sekarang gue berbalik nyesel udah ngelampiasin amarah gue ke Fikri yang notabenenya gak tau apa-apa. Aduh, gue pusing sendiri sama mood gue.

"Fik," panggil gue dengan ragu. Gue pikir Fikri marah dan nggak mau ngejawab. Tapi dia menjawab meskipun hanya dengan gumaman dan tanpa sedikitpun ngelirik ke arah gue.

"Maaf."

Fikri diam. Dia melirik gue sebentar, "Lo kalo ada masalah, ngomong. Nggak usah tiba-tiba kayak cewek PMS gitu." kemudian Fikri kembali mengalihkan fokus ke jalanan.

"Nata." ucap gue singkat. Rasanya terlalu panjang untuk menjelaskan segalanya.

Fikri mengerutkan alis, "Nata? Nata siapa?"

"Anak tirinya Elsha."

"Buset!" Fikri terkesiap. "Elsha punya anak tiri? Nikah sama om-om?"

"Elsha nikah sama duda selulus SMA. Suaminya cuma selisih beberapa tahun sama dia."

"Gila, temen gue kalah sama duda!"

"Temen lama dia. Juga.. cinta pertamanya."

"Terus kok bisa pisah sama suaminya? Padahal putusnya aja sampe nyakitin anak orang. Bilangnya nggak mau LDR, cuih." Fikri nggak bener-bener meludah. Dia hanya mengucapkan kata cuih yang melambangkan ia benar-benar jijik dengan sikap Elsha waktu itu.

"Meninggal suaminya."

Fikri terdiam. Mungkin dia merasakan hal yang sama dengan gue. Merasakan empati dan kasihan dengan kemalangan yang menimpa Elsha.

Suasana senyap. Gue mulai mencari topik lainnya. "Mumu udah jadi lo mandiin belum?" tanya gue pada Fikri. Mumu adalah adik adopsi gue dalam wujud kucing jantan ras anggora. Bulunya abu-abu tanpa corak dengan tubuh gendut dan ciri khas pemalas.

"Udah dibawa sama Kina ke salon."

"Hah? Kok bisa sama Kina?"

"Kina kan doyan kucing jugak. Jadi dia bilang dia punya salon langganan. Sekalian dia juga bawa kucingnya."

"Bagus deh kalau gitu."

"Lo yakin nih nggak mau beli makanan apa gitu?" Fikri kembali menanyakan pasal tadi.

"Nggak." jawab gue masih sama. Gue memang masih merasa mual dan nggak selera makan. Agak aneh sih. Biasanya setelah gue rilis, gue bakalan lebih nafsu makan. Tapi sekarang gue justru nggak selera apapun. Persis seperti gejala yang gue alami waktu gue divonis leukemia.

"Yaudah kalo gitu. Lagian di rumah Kina udah masak buat kita."

"Lah?" gue lagi-lagi terheran-heran. Kenapa Fikri menaruh peran besar Kina dalam kehidupan kami hari ini? Tadi Kina yang membawa kucingku ke salon, sekarang Kina pula yang memasak untuk kami.

"Biasa aja. Emang kenapa sih?"

"Kenapa harus Kina?"

"Ya emang kenapa? Cuma dia rekan kantor cewek yang dekat sama kita, yang bisa diandelin, baik, dan gampang banget dimintain bantuan."

"Ya.. gue takut aja utang budi sama dia."

"Nggak mungkinlah!" tentang Fikri telak. "Kina itu tulus." tambahnya yakin.

"Ya asal lo bisa pastiin aja kalo nggak ada udang di balik batu."

***

(Author POV)

Tiga insan berbeda jenis kelamin itu asyik pada piring masing-masing. Fikri lah yang kelihatannya paling lahap. Sementara dua temannya yang lain cenderung biasa-biasa aja. Afazh malah terlihat kurang berselera.

"Kok lo nggak selera gitu sih?" Fikri bertanya pada pemuda di depannya.

"Iya, Fazh. Padahal gue udah nyuruh Fikri mikir loh, makanan apa yang lo suka selain sayur." Kina menambahi.

"Makanan yang gue suka banyak. Bukan sayur. Sayur itu kepaksa." tanggap Afazh.

"Iya deh. Lo mau makan apa? Biar gue masakin lagi."

"Widih! Perhatian banget Mbak Kina." Fikri menggoda

Kina tersipu dan tampak salah tingkah. Berbeda dengan Afazh yang mengerutkan kening melihat reaksi Fikri. Pemuda itu selalu melebih-lebihkan hal yang sebenarnya biasa saja. Afazh kesal sendiri melihatnya.

"Nggak, Kin. Nggak usah. Gue emang lagi nggak selera aja."

Beberapa detik selanjutnya terdengar bunyi bell apartemen mereka. Fikri bergegas meninggalkan meja makan dan membukakan pintu.

"Assalamualaikum." ucap dua orang wanita yang muncul dari balik pintu.

"Waalaikumsalam. Oalah Bunda sama Kak Dika kok nggak ngabarin kalo ke sini. Ayo masuk!" Fikri menyalami keluarga sahabatnya itu sebelum mengajak keduanya masuk.

"Bunda sama Kakak udah makan?" Fikri bertanya lagi.

"Udah tadi makan bakso di depan apartemen kalian. Adek kakak mana, Fik?" Dika langsung menanyakan keberadaan sang adik yang sepanjang ruangan belum ia jumpai batang hidungnya.

"Lagi makan, Kak. Ayo ke dapur."

Fikri mengajak dua wanita beda usia itu menuju dapur bersih.

Afazh lumayan kaget melihat kedatangan bunda dan kakaknya dari arah pintu dapur yang terhubung ke ruang tengah. "Kok nggak bilang-bilang datengnya?" Ia bergegas menciumi tangan kedua orang yang paling ia cintai itu. Kina turut melakukan hal yang sama.

"Emang harus bilang-bilang dulu gitu kalo mau ke tempat anak sendiri?" Bunda memerotes setelah mendudukkan dirinya di salah satu kursi.

"Ya nggak juga, sih."

"Eh, ini calon kamu dek?" tembak Dika. Matanya mulai memerhatikan sosok gadis asing yang tadi ia dapati sedang berdua bersama sang adik di meja makan.

"Hah? Eng-"

"Wih anak bunda pinter juga pilih yang cantik!" bunda memotong bantahan Afazh begitu saja. Mendengar itu pipi Kina memerah.

"Buk-"

"Aduh, Dek, nggak usah malu-malu." Bunda lagi-lagi memotong.

"Iya bener. Lagian dia cantik kok, sopan juga. Siapa nama kamu, dek?" Kak Dika mengalihkan pertanyaan pada Kina.

"Kina, Kak." jawab Kina lembut.

"Tuh, kan. Lembut-"

"Apaan sih! Kita nggak pacaran" tegas Afazh seraya berdiri dari peraduannya. Ia sudah tidak tahan. Di tambah lagi Kina yang malah diam dan senyam-senyum saja dikatai seperti itu oleh kakak dan bundanya. Entah memang senang atau bagaimana, Afazh tak tahu.

Semuanya terdiam. Tapi beberapa detik selanjutnya, "Fazh, hidung lo!" teriak Kina.

Afazh sontak meraba hidungnya. Basah. Ia melihat cairan yang kini menempel pada jemarinya. Mimisan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bertemu untuk BerpisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang