Seperti yang sudah gue duga, hari ini gue diperbolehkan pulang. Gue pun menuju ke apoteker untuk mengambil obat setelah itu mengurusi segala administrasi dan uang penebusan obat. Sementara Fikri sedang membereskan barang-barang gue serta gue pinta buat langsung ke mobil.
Gue langsung tersenyum kala manik gue menangkap Elsha yang sedang memangku putranya di barisan kedua kursi tunggu. Gue berjalan ke arahnya. Ini saat yang pas buat gue minta maaf atas sikap Fikri semalam.
"Kamu udah rilis?" Elsha bertanya lebih dulu. Suara lembutnya selalu berhasil membuat gue terbuai dengan ingatan saat kami berpacaran dulu.
Gue pun duduk di bangku sebelahnya kemudian mengangguk. "Nata juga udah?" tanya gue balik.
Elsha mengangguk sembari mengelus rambut Nata dengan penuh kasih. Gue jadi inget bunda. Cara Elsha memperlakukan Nata sama persis dengan yang bunda lakukan saat beliau berada di sisi gue waktu gue sakit.
"Maaf ya, El."
Elsha mengerutkan alisnya,"Buat?"
"Fikri."
Elsha terdiam beberapa saat, "Nggak papa. Gue juga bakalan marah kalau sahabat gue disakitin." katanya dengan senyum. Please El, kentara banget senyum lo dibuat-buat.
"Tapi kejadiannya kan udah lama. Gue cuma nggak mau lo sakit hati aja."
Elsha tersenyum. Mulut gue terbuka. Hendak menanyakan hal yang benar-benar pingin gue tanyakan sama Elsha. Tapi segan rasanya. Tapi gue kepo. Jadi gue tanya aja.
"Umur Nata berapa, Sha?"
"Udah mau 6 tahun."
Gue nggak bisa menahan untuk nggak terkejut, "K-kamu—"
Elsha terkekeh, "Nata bukan anak kandungku. Dia anak mendiang suamiku."
Jadi dia sudah pernah menikah. Gue merasakan hal yang aneh di dada. Sedikit menyesakkan dan gue jelas tahu itu pasti karena gue kecewa atas pernyataannya barusan. Sial, itu artinya gue belum sepenuhnya merelakan Elsha.
"Maaf ya, Fazh. Aku nggak pernah cerita ke kamu tentang ini. Aku menikahi seorang duda muda yang berprofesi sebagai dokter setelah aku lulus SMA."
Lulus SMA itu berarti beberapa bulan setelah Elsha pindah ke Kalimantan. Tepatnya beberapa bulan setelah gue putus dengannya. Gue sempat mengira bahwa sebenarnya ada alasan semacam ini di balik Elsha memutuskan gue dengan dalih bacotnya yang nggak bisa "LDR". Dan ternyata benar.
"Maaf aku udah bohongin kamu dengan alasan aneh yang gak bisa diterima logika. Aku memang mutusin kamu karena ada Rio, ayahnya Nata. Aku dan Rio sahabat kecil. Dan saling menaruh perasaan sejak aku masih kelas 5. Rio udah SMP waktu itu. Hanya saja, kami tahu betul kami belum siap mengungkapkannya. Terlebih aku dan keluarga pindah ke Jakarta. Kami kehilangan kontak." gue nggak memberikan respon apapun selain diam dan menantikan kata-kata selanjutnya. Yang gue tahu pasti akan 10 kali lebih menyesakkan dari pada kalimat-kalimat sebelumnya. "Hingga akhirnya Papa ngabarin kalo Rio udah jadi dokter. Dia mendatangi nenekku dan menanyakan tentang aku. Hanya saja dia sudah sempat menikah dan punya satu orang anak laki-laki, umurnya 2 tahun. Anaknya istimewa, bisu." Elsha sempat tersenyum sembari menatap Nata yang melamun, "Mendiang istrinya meninggal seminggu setelah melahirkan. Gue nggak bisa bayangin gimana yang dirasain cinta pertama gue waktu itu."
Satu persatu Elsha membuka kebohongannya sendiri. Gue lega meskipun kecewa. Nggak nyangka selama ini kata-kata Elsha yang manis mengatakan bahwa gue cinta pertamanya itu palsu. Ada lagi seseorang yang lebih awal mengisi hatinya dan masih mengianginya bahkan saat dia bersama gue.
"Terus kenapa kamu segampang itu mutusin aku kemarin? Sha, hubungan kita juga nggak sebentar." gue berucap lirih.
Untungnya kami membahas masalah ini sekarang. Hingga serumit apapun itu akan dengan terpaksa harus gue ladeni dengan kepala dingin. Akan berbeda jika itu saat Elsha mutusin gue. Gue pasti sudah kecewa berat dan marah-marah banget waktu itu. Kalau sekarang apa hak gue buat marah-marah?
Elsha kemudian tersenyum. "Aku ngerasa empati. And to be honest, i can't deny. I'm still missing him."
Lagi-lagi ucapan lembut dengan senyum manis itu melukai gue dengan dahsyatnya.
Kemudian cepat-cepat Elsha meraih tangan gue, "Forgive me but i'm absolutely too regret of this. And now i miss you. Aku nggak mengharap tangan ini bakalan ngegandeng aku lagi. Aku sadar senggak pantes itu aku buatmu. "
Gue diem aja. Nggak ngebantah karena memang benar begitu adanya. Gue memang korban sepenuhnya.
"Aku tahu aku berdosa menyia-nyiakanmu. Aku ngasih kamu harapan. Aku menjanjikan masa depan denganmu. Aku tahu tuhan ikut marah. Dan selama dua tahun pernikahan aku dan Rio nggak dikaruniai anak. Rio udah sakit diabetes sejak sebelum kami menikah dan akhirnya dia menyerah di tahun ketiga pernikahan karena udah komplikasi."
Gue terdiam sejenak kemudian terkekeh hambar, "Aku nggak ngerti harus tanggepinnya gimana. Tapi aku masih lucu aja, secinta itu aku ke kamu dulu. Tapi ternyata kamu nggak sama sekali. Aneh ya, cinta itu brengsek."
"Kalo kamu bilang aku nggak cinta sama sekali sama kamu, kamu jelas salah. Aku udah cinta, cuma—"
"Cuma apa? Tujuh puluh persen hati kamu masih ke Rio kan?"
"Aku nggak tahu gimana. Tapi setelah aku menjalani pernikahan dengannya, bayangan kamu terus datang. Bayangan senyum kamu. Itu yang paling bikin rasa penyesalan aku bangkit berkali-kali lipat."
Pembahasan kami terhenti saat nama Nata Cakrawala Ario di panggil oleh apoteker. Elsha pun meletakkan anaknya yang tadi dipangkuannya ke kursi. Menyuruh Nata dan gue untuk menunggu sebentar.
Elsha kembali dengan bungkusan obat di tangannya. Dia tidak langsung pergi. Dia kembali duduk dan memangku Nata di kursi tadi. "Fazh, kamu percayakan apa yang aku bilang tadi semuanya kebenaran yang selama ini aku tutupin?"
Gue mengangguk. Gue memang ngerasa nggak ada yang keliru dari semuanya. Tangan Elsha lagi-lagi menggenggam jemari gue. Lebih erat dari yang tadi, "Aku mau kamu juga percaya yang satu ini. Kalau sekarang perasaan aku udah sepenuhnya untuk kamu. I love u more than i do before. Aku permisi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Bertemu untuk Berpisah
General FictionTidak ada yang kekal abadi dalam setiap pertemuan. Setelahnya akan ada kata selamat tinggal atas perpisahan. Sejatinya, semua perpisahan akan terasa buruk. Sekalipun perpisahan secara baik-baik, akan ada masa buruknya. Di mana sebuah rindu yang meny...