Fikri's toxic

74 8 0
                                    

Gue mau tak mau mengucapkan selamat tinggal pada Elsha. Ya, gue menarik kesimpulan bahwa bocah bernama Nata itu adalah putranya. Tak ambil pusing, gue pun akhirnya mengikuti Fikri dari belakang. Untuk tahu saja, gue sempat melihat lirikan tak suka dari Fikri ke arah Elsha tadi saat ia membantu membawa infus gue.

"Kok bisa ada dia?" Fikri bertanya saat di perjalanan menuju kamar rawat gue.

"Anaknya sakit."

Fikri refleks berhenti. Matanya melotot kaget, "Anaknyaa?!"

Gue mengangguk seadanya.

"Lo nggak kaget?"

Gue bingung menjawab apa. Di satu sisi iya sih, tadi gue juga sempat kaget. Tapi apa yang harus dikagetkan? Bukankah wajar jika seorang perempuan dewasa memiliki anak?

"Lo nggak heran gitu dia kapan buatnya?" Fikri bertanya lagi.

"Yah, untuk apa?"

"Gila! Anaknya udah segede itu. Udah 4 tahunan tuh gue lihat. Sedangkan lo sama dia putus 4-5 tahun yang lalu waktu kelas 3 SMA. Nah, coba lo pikir sendiri."

Apa yang Fikri ucapkan memang ada benarnya. Tapi tetap gue nggak mau menduga yang tidak-tidak. Itu bukan urusan gue juga. Gue pun mengangkat bahu acuh dan kembali melanjutkan langkah.

Assh! Ringis gue pedih. Gue nggak tahu kalau si Fikri urung melangkah. Di mana posisinya tiang infus gue lagi sama dia. Infus gue terbuka. Ada darah mengalir dari sana.

Fikri yang mulanya bengong memikirkan hal yang tak penting refleks panik. Dia langsung mendatangi gue yang lagi berjongkok menahan sakit. Piyama gue mulai dikotori oleh bercak merah tersebut.

"Goblok!" Fikri memaki.

"Lo yang goblok!" maki gue balik.

Fikri nggak lagi membalas. Dia memapah gue menuju ruang ugd sambil membawa tiang infus tadi.

***

"Kok bisa copot sih? Kayak anak SD aja kamu, Fazh," omel dokter Rosi seraya membenarkan kembali infusku. Dokter yang sering menangani gue kalau gue masuk ke rumah sakit ini. Dokter perempuan 40an tahun itu sudah memperlakukan gue seperti anaknya sendiri.

Ketepatan dokter Rosi ini tantenya Fikri. Sebenarnya gue kenalnya bukan semenjak gue tinggal di sini. Tapi sejak gue sering main ke rumah Fikri dulu. Nggak heran kalau dokter Rosi meminta gue buat manggil dia tante aja, sama kayak Fikri.

"Nih si Fikri, bukannya jalan, malah bengong." gue membela diri.

"Eh, lo udah tau infus lo sama gue kenapa jalan terus? Salah lo lah!" Fikri nggak mau di salahkan.

"Udah, nih tangannya. Jangan ceroboh lagi ya, Dedek Afazh.." dokter Rosi menekankan suaranya pada kata 'dedek Afazh'. Seolah ia benar-benar gemas dengan tingkah gue yang sulit dibilangi seperti anak kecil. Padahal ini tak sepenuhnya salah gue. Ini salah Fikri juga.

"Hehehe.. Sorry Tante." ucap gue. Gue dan Fikri akhirnya berpamitan kembali ke ruangan pada dokter paruh baya itu.

"Kina dateng dari jam berapa?" gue bertanya pas kami sudah keluar dari ruangan dokter Rosi.

"Dari pas gue manggil lo." jawab Fikri. Tangannya gini tak hanya memegang tiang infus gue, melainkan sepasang piyama bersih untuk gue ganti nanti.

Setelah sampai, gue masuk lebih dulu dari pada Fikri. Di sana sudah ada Kina yang duduk di sofa ruangan gue. Buah-buahan di nakas itu pasti darinya.

Gue tersenyum ke arahnya, "Sorry ya, Kin, lama." ucap gue.

"Iya nggak pa-pa. Eh itu kenapa piyama lo kok ada bercak darah?" perhatian Kina tertuju pada piyama kotorku.

"Oh ini tadi infusnya copot." jawab gue.

"Kok bisa?" naluri perempuan memang tak bisa mengelak dari rasa penasarannya.

"Nih si Fikri."

"Lah kok gue?" Fikri memelototiku.

"Ya emang gara-gara lo berhenti jadi copot."

"Lo aja yang jalan gak merhatiin orang dulu."

"Udah-udah.." Kina menghentikan perdebatan.

Gue lantas membuka baju dan mengganti dengan piyama yang bersih. Kemudian duduk di ranjang sedangkan Fikri memilih duduk di samping Kina.

"Lo bakalan berapa hari cuti, Fazh?" tanya Kina.

"Kalo besok pulang, sih, lusa udah masuk."

"Kok lusa sih? Minggu depan aja, Fazh. Sekali-kali cuti lama kan nggak dosa." Fikri menentang ucapan gue.

"Dih, gue mah emang semangat kerja. Emangnya lo, nggak bakal bangun pagi kalo bukan gue yang bangunin."

"Ah lo mah.." Fikri berdecap.

"Lagian lo pemales banget si, Fik. Nggak pengen bonus apa?" Kina menyambar.

"Nggak. Gue tuh orangnya bersyukur. Gue bersyukur sama gaji pokok gue aja." Fikri berdalih.

"Halah pemales aja udah. Jangan banyakan ngalus." Kina berucap.

Tepat setelah itu, seseorang mengetuk pintu kamar gue. Tampaknya ia bukan tim medis ataupun keluarga gue. Karena pastinya mereka akan langsung masuk tanpa harus menunggu di bukakan. Fikri pun bergegas menuju pintu menyambut seseorang tadi.

Kami sama-sama terkejut melihat Elsha berdiri di ambang pintu. Fikri meninggalkannya begitu saja dalam keadaan pintu terbuka. Sama sekali nggak menyuruhnya untuk masuk. Elsha hanya menunduk. Gue merasa nggak enak atas sikap Fikri. Anak itu memang terlalu menampakkan sikap tak suka pada orang yang ia benci.

"Masuk, El." kata gue dengan senyum selebar mungkin.

Elsha masuk dan duduk di kursi sebelah ranjang gue. Dia enggan melihat Fikri. Gue pengen maki Fikri sebenernya karena tak seharusnya ia memperlakukan tamu seperti itu. Terlepas dari apa yang Elsha lakukan ke gue dulu itu, ia tetap manusia dan posisinya sebagai tamu penjenguk gue. Gue pun ngerasa gue udah memaafkannya.

"Kok kamu tahu kamarku?" tanya gue ke Elsha.

"Iya, tadi nanya ke resepsionisnya."

Gue ber-oh ria. Fikri terlihat fokus pada ponselnya sementara Kina memerhatikan perbincangan kami. Ah sekarang gue jadi nggak enak ke Kina. Gue melihat pandangan Elsha yang beradu pada Kina. Masing-masing mereka saling melempar senyum canggung.

"Oh iya, Kin, kenalin ini Elsha temen lama gue juga. Sha, itu Kina, rekan kerja." gue kemudian mengenalkan keduanya.

"Temen lama apa mantan ter—"

"Lo mending diem aja deh." gue memotong ucapan Fikri begitu ia hendak menyindir Elsha. Gue langsung melihat Kina yang memandangi aneh ke arah Elsha yang hanya bisa menunduk.

Gue paham apa yang di rasakan Elsha sekarang. Meskipun dia pernah mencatat sejarah sebagai salah satu orang yang menyakiti gue. Gue tahu gimana rasanya dipojokkan saat lo sudah tahu di mana letak kesalahan lo dan bertekad tak akan mengulanginya lagi.

"Aku balik ya, Fazh. Mari Kina.. Fik.." kata Elsha dengan nada rendah nan gemetar.

Gue bisa merasa bahwa gadis itu tak nyaman berada di sini. Gue dan Kina hanya membalas dengan senyuman atas pamitnya. Gue nggak sedikit pun berniat menahannya atau bertanya kenapa cepat sekali, padahal kan ia baru tiba. Itu lebih baik jika dia pergi daripada terus-terusan dipojokkan oleh Fikri. Karena bagaimana pun gue masih nggak suka ada orang yang menyakiti Elsha.



Bertemu untuk BerpisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang