Gue bangun dengan masker oksigen yang melekat di depan hidung dan mulut gue. Gue lepas begitu saja setelahnya gue lihat sekitar. Meskipun pandangan gue buram, gue tahu kalo ada Fikri yang lagi nungguin di sofa ruangan itu. Agaknya ia sedang bermain game tadi. Tapi ia cepat-cepat mendatangi gue dan meninggalkan gamenya.
"Udah kabarin bunda?" gue bertanya.
"Nggak usah. Ntar bunda kepikiran."
"Kok gitu sih? Bunda harus tahu lah!" kata gue kekeh.
Tapi Fikri menolak. Kali ini ekspresinya tampak lebih kesal. "Lo lupa, waktu itu bunda pernah cemas banget gara-gara lo kolaps, sampe bela-belain jenguk lo ke sini nyetir sendirian? Lupa?"
Oh, iya. Nggak tega juga rasanya ngebiarin bunda nyetir dua jam ke sini sendirian. Terlebih di usia beliau yang sudah terbilang nggak muda lagi. Mungkin gue nggak ngerasa seberdosa ini kalo masih ada ayah di samping bunda. Sayang sekali, ayah lebih dulu pergi ke surga saat beliau bertugas ke Manado. Waktu gue kuliah semester 2.
Sekarang bunda tinggal berdua sama kakak perempuan gue yang belum nikah, kak Dika. Sayangnya nggak selalu kak Dika ada di samping bunda. Kak Dika sibuk mengurus perusahaannya yang ia bangun sendiri dengan bantuan warisan dari almarhum ayah. Hingga tak jarang beliau keluar kota untuk urusan tertentu.
Untuk sebulan yang lalu itu, gue bener-bener ngerasa bersalah banget sama bunda. Kak Dika posisinya lagi di Solo. Sementara gue sakit di sini dan bunda paling nggak bisa denger gue sakit. Keluarga gue yang emang nggak terbiasa pakai supir pribadi, membuat bunda akhirnya nyetir sendirian demi ngelihat gue. Padahal Fikri udah ngeyakinin kalo gue nggak papa dan bakal sembuh setelah bed rest 3 hari. Tapi bunda justru dateng 2 jam setelah mendapat kabar.
"Kata Kina, dia mau dateng," Fikri berujar.
Gue mengangguk. Kemudian merebahkan kembali tubuh gue. Fikri memandangi gue aneh.
"Kenapa?" tanya gue.
"Lo biasa aja?"
"Iyalah. Emang kenapa?"
"Tapi kan ini Kina yang dateng. Nggak seneng gitu?"
"Lah?" gue meringis bingung. Memangnya Kina siapa sampai gue harus excited sama kedatangan dia?
"Lo giliran cewek yang mau sama lo gini lo sia-siain. Giliran cewek brengsek kayak Elsha lo kangenin."
"Dih? Gue udah nggak pernah kali, nginget si Elsha lagi."
"Ya cobalah lo buka dikit hati lo buat Kina. Apa coba kurangnya? Cakep, rajin, perhatian, pekerja keras."
Gue mulai muak sama Fikri yang makin ngawur. Intinya, gue sama Kina itu nggak pernah ada perasaan yang beda. Kina cuma rekan kerja gue, nggak lebih.
"Udahlah. Mending lo bantuin gue ke toilet."
***
Sepanjang hidup, gue terbilang jarang sakit. Gue terlahir dengan kondisi normal dan tumbuh seperti anak-anak aktif lainnya. Meskipun kalau dibandingin kakak gue, masih lebih lemah gue. Tapi ya, yang gue alami nggak jauh beda dari sakit-sakit biasa seperti demam, pilek, flu, tifus dan semacamnya.
Sayangnya kondisi gue itu nggak bertahan lama. Dulu gue pikir tifus itu penyakit gue yang paling parah. Sampai tuhan ngasih yang lebih parah dari itu dan nggak pernah gue ataupun keluarga bayangin sebelumnya. Gue divonis leukemia saat gue kuliah semester 1. Untungnya kanker itu cepat terdeteksi sehingga gue bisa cepat ditangani dan juga sembuh setelah beberapa lama menjalani serangkaian pengobatan.
Sekarang gue sembuh. Dengan catatan gue harus menerapkan gaya hidup sehat dan menjaga apapun yang gue makan. Karena dokter berkata sewaktu-waktu musuh gue itu bisa kembali dan lebih ganas dari sebelumnya. Tapi Fikri selalu menawarkan gue yang aneh-aneh. Dan nyesel kalo ngeliat gue udah kayak gini.
Sepanjang gue menjadi penikmat rutin rumah sakit semenjak 4 tahun lalu, gue paling suka main ke taman rumah sakit. Terlebih sehabis hujan gini. Rasanya lebih sejuk dan menenangkan. Dan gue merasakan itu sekarang. Tanpa Fikri tentunya. Gue sengaja nyuruh dia di ruangan aja. Karena kadang si Fikri suka banget ngerusak suasana.
Gue duduk di sebuah gazebo sederhana yang masih gue rasain tempiasnya. Biarlah piyama gue basah, toh bukan gue juga yang cuci.
Gue ngelirik ke sekitar. Ada beberapa orang dengan setelan yang sama kayak gue. Dengan infus di salah satu lengan dan piyama rumah sakit. Dengan tambahan luka di dahi, kaki, atau tangan mereka. Tapi perhatian gue terbawa ke salah satu pasien kecil yang duduk di kursi rodanya ditemani seorang perempuan yang nggak asing di mata gue. Lebih tepatnya gue kenal betul perempuan itu. Elsha!
Elsha belum berubah. Wajahnya masih sama persis seperti saat ia masih jadi pacar gue dulu. Hanya saja rambut panjangnya kini potong sebahu membuat penampilannya menjadi semakin fresh. Untuk cara berpakaian, ia masih sama. Masih suka memakai kemeja lengan panjang yang digulung sesiku dengan dipadukan celana skinny jeans berwarna gelap.
Otak gue dirajami berbagai pertanyaan. Tentang untuk apa Elsha di sini? Apa hubungan Elsha dengan anak kecil itu? Dan lain semacamnya. Gue juga berpikir apakah itu anaknya Elsha? Atau adiknya? Keponakannya? Kalau anaknya, kapan dia menikah? Kenapa anaknya sudah sebesar itu?
Pikiran gue udah sejauh itu. Tanpa gue sadari Elsha bahkan udah balik menatap gue. Kita sama-sama terpaku satu sama lain. Gue bingung sekaligus canggung buat senyum atau nggak. Gue rasa, Elsha juga ngerasain yang sama kayak gue.
Gue memutuskan senyum duluan. Elsha juga melakukan hal yang sama. Hal berikutnya yang dilakukan dia bener-bener di luar dugaan gue. Dia, mendorong kursi roda bocah kecil tadi ke arah gue.
"Hai," sapanya. Senyum itu masih sama. Masih senyum kalem milik Elsha yang gue lihat 5 tahun lalu. Nggak gue pungkiri senyum itu masih membuat gue deg-degan. Meskipun tidak sebrutal dahulu.
"Hai." gue membalas.
"Nata, salim omnya." Elsha memerintah bocah tampan itu untuk mencium tangan gue. Bocah bernama Nata itu menurut tanpa banyak bertanya.
"Lo sakit apa?" Elsha bertanya. Sekarang dia duduk di sebelahku.
"Kolaps tadi siang. Kamu apa kabar?"
"Aku baik, alhamdulillah. Kolaps gimana?"
"Hmm gimana ya.. Gara-gara makanan." kataku yang bingung menjelaskan. Pasalnya aku tidak lagi memiliki penyakit. Hanya imunku saja yang lemah dan harus mati-matian dijaga.
Alis Elsha mengerut, "Seingetku dulu kamu nggak pernah kolaps gara-gara makanan."
Bener Elsha. Emang waktu kita pacaran gue baik-baik aja. Tapi setelah kita putus lo nggak pernah tau kan gimana kabar gue?
"Iya, 4 tahun yang lalu aku leukemia."
Elsha tak bisa menahan keterkejutannya, "Serius? Sekarang gimana?"
Aku tersenyum,"Alhamdulillah, udah sembuh."
Setelahnya, suasana canggung menyelinap. Kami terdiam beberapa saat. Setelah itu Elsha kembali membuka obrolan.
"Kegiatan kamu apa sekarang?"
"Aku kerja. Kamu?"
"Aku kerja dan ngurus anak."
Hah gimana? Gue bertanya dalam benak. Masih belum bisa mencerna fakta yang gue dapati barusan. Tapi belum sempat gue mengutarakan apapun, tiba-tiba Fikri muncul dan memanggil, "Afazh! Kina udah dateng."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertemu untuk Berpisah
General FictionTidak ada yang kekal abadi dalam setiap pertemuan. Setelahnya akan ada kata selamat tinggal atas perpisahan. Sejatinya, semua perpisahan akan terasa buruk. Sekalipun perpisahan secara baik-baik, akan ada masa buruknya. Di mana sebuah rindu yang meny...