Part ini didedikasikan buat semua reader yang suka Aldo. Sangat disarankan buat reader baca part ini sambil dengerin lagunya, 'Almost is never enough'nya Ariana Grande. Bakal lebih terbawa suasana dan ngena.
Author siapin diri aja buat reader yang mau nimpuk sesudah baca part ini.
Di part ini juga dibikin dua Point of View tapi ga ditulisin itu POVnya siapa. Biar readernya lebih teliti aja hihi
Oke, read it slowly!Semua perkataan Aldo berputar dikepalaku. Tentang perkataannya di kolam berenang, tentang perkataannya di ruang makan, tentang perkataannya yang aneh akhir-akhir ini.
"Apa sebegitu burukkah? Toh dia juga sudah sering melakukannya dengan wanita lain. Kenapa kau takut jika dia tahu kau tidur denganku? Ya, walaupun kita tau itu tidak akan pernah terjadi."
"Kau tidak perlu menjelaskan padaku seperti kau menjelaskan padanya. Tidak akan berarti apa-apa."
"Lupakan. Seperti kenangan kita yang kemarin-kemarin juga. Kau juga sudah melupakannya kan? Jadi lupakan."
"Jujur saja, kami belum membicarakan sejauh itu. Kami baru berpacaran dua setengah bulan dan tidak semudah itu untuk menyatakan pertunangan untuk menuju pernikahan. Aku memang mencintai Jeje, tapi aku bisa bersabar menunggunya untuk siap menikah."
"Aku tidak berbohong. Bahkan aku tidak berbohong ketika orang tua kita menanyakan tentang pertunangan kita."Apa mungkin? Apa mungkin selama pacaran pura-pura kami, Aldo menyimpan perasaan padaku? Apa mungkin selama beberapa bulan ini dia telah jatuh cinta padaku? Sejak kapan? Bagaimana bisa?
Astaga! Apa aku sudah menyakiti hatinya?
Aku mengambil bantal dan menutup mukaku dengan kesal. Pertanyaanku yang seharusnya adalah, jika dia memang benar-benar mencintaiku, lalu bagaimana bisa dia bertahan mencintaiku, selalu berada untuk menenangkanku sedangkan hatinya patah setiap kali aku menangis untuk pria lain? Bagaimana dia bisa begitu kuat melihat aku yang selalu tersenyum ketika nama pria lain disebut, bukan namanya? Bagaimana bisa dia begitu tegar ketika dia membantuku mendapatkan cinta pria lain sedangkan aku menutup rapat-rapat mata dan telingaku atas pernyataan perasaannya yang selama ini selalu dia usahakan untuk mengutarakannya?
Memoriku kembali flashback ke beberapa bulan lalu. Saat dia menyanyikan My everything untukku, apakah saat itu dia sudah mencintaiku? Atau saat dia melepaskanku saat di pesta dansa dan aku melihat matanya yang kecewa, sebenarnya dia patah hati saat itu? Dan ketika dia menciumku di pinggir tebing itu adalah pernyataan cintanya padaku?
I'd like to say we gave it a try
I'd like to blame it all on life
Maybe we just weren't right,
But that's a lie, That's a lieSebulir air mata jatuh begitu saja dari mataku. Ini begitu rumit. Jika benar ini terjadi, aku benar-benar seseorang yang jahat.
***
"Oh Vie! Aku bisa gila karena ini!" dengusku mengusap tengkukku dengan kedua telapak tanganku.
"Kalau begitu lepaskan dia," kata Viena tajam. Aku berhenti mendesah dan balas menatapnya dengan kebingungan. "Melepaskannya? Bahkan kami tidak saling terikat, bagaimana caraku melepaskannya?"
"Simpel, katakan kalau kau tidak ingin jadi pacar pura-puranya lagi. Lalu jangan minta antar jemput dia lagi, dan jangan ketemu dia lagi."
Aku tertawa sinis. "Kau gila?"
"Kau yang gila Jeje!" Viena memutar bola matanya kesal.
"Kau benar, aku gila karena terperangkap dalam permainanku sendiri."
"Ya selamat, mainkan sampai kau game over."
"Aku tidak mau game over. Aku mau menjadi pemenang."
"Kalau begitu, putuskan hal itu. Aldo atau Alfian."
Aku mendesah lagi. Ini pertanyaan yang selalu diulang oleh Viena. Ku sandarkan tubuhku di sandaran kursi kafe ini. Berbanding terbalik, Viena menarik tubuhnya dan menopang dagunya dengan tangan diatas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
my A
RomanceGadis itu menutup mulutnya agar suara pekikannya tidak terdengar melengking, jadilah teriakannya tertahan kembali ke kerongkongannya. Pria itu sekarang berlutut dihadapannya dengan tangan terulur dan menunjukkan sebuah kotak kecil beludru berwarna b...