Lagi, Cerise menekan tombol pause pada ponselnya. Selama tiga puluh menit terakhir, terhitung sudah lima belas kali ia menekan tombol tak timbul itu. Perpaduan musik dan perjalanan memang tidak akan pernah menjadi teman sejatinya.
Dia tidak akan pernah bisa menjadi seperti orang-orang, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun.
Satu detik kemudian, Cerise sudah melepas earphone sebelah kirinya, ketika seseorang dengan tiba-tiba mengambil duduk di sampingnya dan merebut earphone sebelah kanannya. Cerise menoleh dengan cepat, disertai kernyitan bingung pada dahinya.
"Hai, lo anak baru, kan? Gue Langit," katanya sambil mengulurkan tangan. Senyumnya terlukis ceria dengan sedikit kejenakaan pada wajahnya.
Cerise hanya menatap uluran tangan itu lama. Ingatannya kemudian melayang pada saat dirinya selalu menadahkan tangan pada Rafan untuk meminta minuman, cokelat, permen, atau makanan apapun dengan rasa greentea. Ia lalu menarik earphone-nye kasar dan mengetuk-ngetuk kaca metromini sambil berteriak, "Kiri-kiri!"
Sahutan dari kernet berkemeja kotak-kotak lusuh segera terdengar, hingga kendaraan beroda empat itu berhenti sempurna di samping halte. Sebelum turun, Cerise menyempatkan diri mengambil sebungkus permen rasa greentea yang selalu dibawanya di saku seragam, kemudian menyerahkannya pada lelaki yang mengaku bernama Langit itu.
"Sama-sama," ujarnya, padahal Langit belum memberikan reaksi apapun, lantas berjalan terburu-buru menuruni metromini.
{}
"Jadi, lo ngajak kenalan adek kelas, tapi malah dikasih sebungkus permen? Huaha ... ha ... ha ..., anjir, kok, gue ngakak?"
Langit hanya mengemut permennya, sekalian menulikan telinganya dari tawa penuh kejahanaman teman-temannya. Toh, lagipula ini baru awal. Langit percaya pada sebuah nasihat yang mengatakan, gunung yang menjulang tinggi terbuat dari kerikil-kerikil kecil.
"El-el! Lagian lo ada-ada aja. Emang lo ngajak kenalannya gimana? Gue tebak, pasti lo langsung nendang, jebolin gawang, goool ... iya, kan?"
"Pe'a." Arde menoyor kepala Tedjan. "Lo pikir main bola?"
"Perumpamaan, De, elah."
"Emang lo deketin siapa, El?" Akhirnya, satu pertanyaan waras terlontar juga. Ajhi memang titisan kewarasan yang patut Langit jaga.
Langit menoleh. "Lo pasti kenal, minimal tau. Orangnya putih, tinggi-tinggi, rambutnya panjang, sepunggung."
Ajhi mengerutkan keningnya. Tedjan dan Arde bahkan sudah mulai mengatupkan bibir masing-masing, ikut berpikir.
"Kayaknya, ciri-ciri yang lo sebutin terlalu pasaran."
Tedjan dan Arde ikut membenarkan dengan anggukan.
"Ciri-ciri Amira juga gitu," celetuk Arde, disusul dengan kehadiran Amira ke meja mereka dengan membawa sebotol minuman isotonik di tangan kanannya.
"Hai. Ngomongin apaan, sih? Kok, bawa-bawa nama gue?"
"Enggak." Langit yang menjawab. Begitu Amira duduk di sampingnya, ia mengelus kepala perempuan itu sambil tersenyum, mengungkapkan terima kasih tanpa mengucapkannya.
"El doang yang dibeliin, Mir?" Kali ini Tedjan yang bersuara.
Amira mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Yang gue inget cuma Langit doang."
Sementara teman-temannya menggerutu, Langit hanya tersenyum kecil, sekalian pandangannya mengedar asal ke beberapa titik. Meskipun, yang banyak Langit dapati hanyalah antrian para siswa di depan masing-masing stand makanan.
Dan, yeah, perempuan itu di sana. Di depan koperasi dengan mulut berkomat-kamit. Langit tebak, ia sedang ikut menyenandungkan lagu yang memang selalu terdengar di koperasi sekolah. Raut wajahnya tampak tenang seolah telah hanyut dalam lautan nada.
Langit ingin ikut. Ikut tercebur untuk menyelam bersama. Hingga tanpa sadar lengkungan di bibirnya mulai terbentuk.
"Lang?"
"Ya?" Mata lelaki itu mengerjap-ngerjap.
"Liatin apaan, sih?"
Bukannya menjawab, Langit malah balik bertanya, "Kenapa?"
Amira diam sebentar. "Hari ini ada latihan?"
"Iya. Jam empatan, sih. Keburu paling kalo mau makan dulu," katanya dengan nada jenaka di akhir kalimat.
Amira ikut tersenyum, lalu mengangguk.
"Udah, sih, lo berdua jadian aja. Gemes gue kalo ditanya jawabnya, cuma temen-cuma temen doang. Halah basi!"
"Kok, lo yang nyolot, sih, De?" Tedjan tertawa sambil menepuk bahu Arde.
Langit tidak menanggapi. Tatapannya lalu tak sengaja bertemu dengan Ajhi.
Ajhi menyeringai.
Sialan.
{}{}{}{}
Bersambung dengan
600 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Apoge
Teen FictionPertama kali bagi Cerise, dan ia tidak ingin berpisah. • Cerise tidak pernah ingin berkenalan dengan orang baru. Tumpukan masalah dalam hidupnya membuat ia enggan mengambil masalah baru lagi. Ketika seseorang memaksanya untuk membuka diri, Cerise le...