“Mas, shaving gel-shaving cream itu di depannya nanti ada tulisannya, kan?” Cerise langsung mengajukan pertanyaan, begitu telepon yang disambungkannya pada Rafan terjawab. Matanya dengan cepat menjelajahi aneka produk kebutuhan pria, ketika sampai di area khusus tersebut.
“Iya, lo tanya mas-masnya aja,” jawab Rafan sambil menyebutkan merk produk yang dipesannya.
Cerise mengulanginya yang hanya Rafan jawab dengan gumaman. Kemudian, telepon kembali ditutup secara sepihak oleh Cerise. Saat perempuan itu hendak bertanya pada petugas swalayan yang tengah mengisi produk di pojok sebelah kiri, seseorang sudah berdiri di depan trolinya sambil mengangsurkan sebuah sabun cukur.
“Yang lo mau. Ini, kan?”
Cerise bergeming sebentar. Menyadari ia berpotensi membuat drama picisan di tempat umum seperti ini, perempuan itu akhirnya mengambil kemasan sabun cukur tersebut sambil sedikit membungkukkan badannya. Memang benar itu pesanan Rafan, saat Cerise membaca merknya.
“Thanks,” katanya singkat, lalu menarik trolinya mundur untuk segera pergi dari sana.
Baru satu langkah Cerise bergerak maju, seseorang yang menolongnya tadi sudah mencekal lengan atasnya.
“Sorry-sorry,” ujarnya buru-buru, saat melihat raut terkejut Cerise. “Eum, lo masih inget gue gak?”
Jelas! Bagaimana Cerise bisa melupakan sosok lelaki yang pertama kali ditemuinya tempo hari di supermarket, dan yang mengajaknya berkenalan kemarin pagi di metromini. Tapi ia memutuskan untuk menggelengkan kepalanya.
Raut kecewa tampak terlihat di wajah lelaki tersebut. “Oke. Lo anak baru, kan? Gue Langit, dari XI-IPA-4. Kita satu sekolah, kok."
Cerise menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan kaku. “Oke, makasih, Kak Langit.”
Namun, lelaki itu masih belum melepaskan cekalannya. Malah terus menyodorkan tangan kanannya dengan senyum lebar yang tidak pudar sedikitpun.
Cerise akhirnya meraih sebungkus permen gummy dengan gambar salah satu tokoh terkenal Disney pada kemasannya. “Kak Langit mau ini?” tanyanya pelan.
Langit menggeleng. “Bukan. Maksud gue, nama lo.”
Nama, ya? Cerise berpikir sebentar, sebelum akhirnya menyodorkan bungkus permen itu pada Langit.
“Kara.” Kemudian buru-buru menarik troli serta dirinya pergi dari sana.
Inilah salah satu alasan mengapa dirinya tidak pernah mau menonton film horor.
Sementara, Langit terpaku di tempatnya. Sambil menatap bungkus permen pada tangannya dan punggung Cerise secara bergantian, ia menyeringai. “Well, nice to meet you, Kara.”
{}
“Namanya Cerise, anak X-IPA-2. Udah, gue cuma tau itu doang.”
Perkataan Ajhi tempo hari kembali berdengung dalam kepala Langit, entah untuk keberapa kalinya, sejak tiga puluh menit terakhir. Sambil berbaring terlentang menghadap langit malam, ia menatap sebungkus permen bergambar salah satu tokoh Disney itu.
Dari Cerise hingga Kara, Langit sama sekali tidak menemukan satu hurufpun yang sama di sana. Apa semenakutkan itu berkenalan dengannya?
Di antara kecamuk pada kepalanya itu, sekaleng susu dingin dengan tiba-tiba mendarat di atas dahinya. Saat Langit mendongak, kepala Ajhi muncul dengan cengiran pada wajahnya.
“Galau amat. Dianggurin Amira, ya?” Ajhi mendudukkan dirinya di samping Langit dengan menekuk kedua kakinya ke atas.
“Sok tau lo.” Langit memukul bahu Ajhi dengan kaleng susunya, sebelum menaruhnya di samping tubuh. Masih dengan posisi terbaring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apoge
Teen FictionPertama kali bagi Cerise, dan ia tidak ingin berpisah. • Cerise tidak pernah ingin berkenalan dengan orang baru. Tumpukan masalah dalam hidupnya membuat ia enggan mengambil masalah baru lagi. Ketika seseorang memaksanya untuk membuka diri, Cerise le...