2.2

29 4 0
                                    

Baik. Namanya Langit. Siswa kelas sebelas, tepatnya berada di klasemen sebelas mana, Cerise tidak pernah ingin tahu. Dengan pendar jenaka yang tak pernah luput dari bola matanya, atau tubuh jangkung yang melampaui dirinya berpuluh sentimeter itu, detak jam hidup Cerise sejak dua bulan lalu seakan tengah diiring. Terutama, saat bumi berada pada fase gelap. Seperti tahu bahwa malam-malam Cerise biasa diisi oleh sunyi.

+62 814-8107-6222
Yang paling masuk akal buat otak gue, kita berdua adalah nenek moyang bangsa Indonesia! Gue yakin, kita berdua reinkarnasi yang amnesia. Yang lain-lainnya, konyol banget!

Iya, mereka berdua tengah membahas perihal kefamilieran wajah Cerise bagi Langit. Atau lebih tepatnya, Langit yang berbicara sendiri di salah satu aplikasi chatting online, karena Cerise hanya menjadi pembaca sambil berjalan menuruni tangga dengan kucing kesayangannya di pangkuannya.

Sejak dua bulan lalu, nomor asing yang berakhiran 222 itu memang rutin menyambangi ponselnya. Entah Langit mendapatkan nomor ponsel pribadinya dari mana, tapi Cerise berspekulasi pelakunya adalah Irene, sahabatnya yang paling girang saat berhasil mengendus kedekatannya dengan Langit.

Ketika berhasil menuruni separuh anak tangga, Cerise bisa mendengar suara tawa dari dua orang perempuan yang sudah ia hapal dengan baik. Langkahnya seketika memelan, apalagi saat netranya menangkap dua punggung perempuan yang tengah duduk bersisian di meja makan. Cerise mengembuskan napas dalamnya sekali, sebelum melangkahkan kakinya menuju dapur yang tepat berada di sebelah kiri meja makan.

“Sayang, ada Kak Amira, lho, ini.”

Teguran dari mamanya itu seketika mengalihkan perhatian Cerise dari semangkuk yoghurt yang baru ia ambil dari kulkas. Perempuan itu mau tak mau berjalan pelan menghampiri meja makan, mengulurkan tangannya untuk menyalami Amira.

“Hai, Cerise.”

Cerise hanya membalasnya dengan gumaman dan senyum culas.

“Papa sama Mama Tamia lagi ke luar kota, jadi Amira bakal nginep di sini selama dua hari ke depan.”

Cerise mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu mulai menyuapkan sesendok yoghurt yang telah bercampur dengan oatmeal itu ke dalam mulutnya.

“Selama nginep di sini, Kak Amira tidur sama kamu, ya.”

“Kamar Mas Rafan bukannya kosong?” Cerise menegakkan tubuhnya seketika.

“Sayang, masa Amira tidur di kamar Mas Rafan.” Mama Terre mengucapkannya dengan nada penuh permohonan, membuat Cerise hanya mampu menghela napas dan mengangguk setuju.

“Ya udah, kalian masuk kamar, gih. Udah malem, waktunya istirahat.”

Cerise yang sudah tidak merasakan kenikmatan pada yoghurtnya lagi, memutuskan untuk menaruhnya kembali ke dalam kulkas dan berjalan dengan tergesa menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Tanpa menunggu Amira yang mengikutinya dari belakang.

Begitu pintu bercat hitam itu terbuka pun, Cerise langsung mengambil selimut dalam lemari dan membawanya menuju single bed yang menempel pada jendela di sisi selatan kamarnya.

“Gue pikir, waktu tiga tahun kayaknya cukup buat lo mau berpikir dewasa sedikit aja,” ujar Amira tiba-tiba, saat melihat Cerise sudah bersiap untuk tidur, sementara dirinya masih terduduk di pojok ranjang utama kamar Cerise yang sebenarnya cukup untuk ditempati berdua. “Kalau lo mau membuka sedikit aja pikiran lo, gue di sini juga jadi korban.”

Cerise hanya diam, bahkan ketika Mueeza, kucing persia berbulu krem-putihnya, melompat naik ke atas perutnya untuk tidur bersama.

“Gue juga punya hak atas papa, kalau lo lupa. Sejak tiga tahun lalu, waktu—“

“Cukup. Oke, gue tau. Kita punya hubungan karna papa, gue bisa terima. Tapi bukan berarti kita bisa bener-bener jadi saudara.” Cerise mengucapkannya dengan kilatan emosi terpendam yang coba ia tahan dalam bola matanya, kemudian menguburkan dirinya buru-buru ke dalam selimut. Setidaknya, sejauh ini ia mampu menahan segala kecamuk dalam hatinya untuk tidak tertuang pada orang yang salah.

Amira meresponsnya dengan mengembuskan napas kasar sambil memalingkan wajah, lelah mengajak Cerise bicara baik-baik demi sebuah perdamaian. Hingga getaran panjang dari ponselnya membuat perhatiannya teralih. Hanya sebuah panggilan masuk, namun mampu menyurutkan segala buncahan emosi dalam dirinya seketika. Dia lantas beranjak, melangkahkan kakinya ke luar kamar.

“Halo, Lang.”

{}

Langit melempar botol minuman isotoniknya yang telah kosong ke arah Ajhi, yang beruntungnya, langsung Ajhi tangkap dengan baik. Meskipun kemudian lelaki itu menggerutu.

“Lo ada rapat?” Langit bertanya sambil memasukan celana jerseinya ke dalam ransel yang tergeletak di atas tribune.
“Hmm. Persiapan class meeting.”

“Ya elah, class meeting masih empat bulan lagi kali. Sekarang-sekarang amat rapatnya?” celetuk Arde.

Ketika Ajhi hendak melakukan pembelaan, Tedjan lebih dulu menyela, “Gak boleh gitu, De. Anak rajin kayak Ajhi itu patut dilestarikan dan dijaga, buat banggain nusa, bangsa, dan agama. Gak kayak lo.”

“Lo sama gue lebih bobrok lo, ya, Te. Tolong.”

“Lo sama gue lebih pinteran gue, ya, De. Tolong.”

Langit menyampirkan tasnya pada sebelah bahu, dan menepuk pundak Ajhi. “Gue duluan.”

“Gue ikut, El,” kata Ajhi, memilih untuk meninggalkan kedua sahabatnya yang sudah sibuk beradu mulut. Belum juga merasakan letih, walaupun telah satu jam latihan futsal sepertinya.

Namun, langkah mereka berdua segera dihentikan oleh seorang perempuan yang meneriakkan nama Ajhi dari arah depan tribune, tepat di sebelah kiri mereka.

“Hai, Kak Langit,” sapanya sekilas, lalu beralih menatap Ajhi. “Kak, gue udah ke ruang rapat. Tapi, kok, masih kosong, ya?”

Suara perempuan itu sarat akan keceriaan, tapi tetap tak bisa menarik atensi Langit, karena perhatiannya telah dicuri oleh perempuan yang satu lagi. Perempuan yang lebih suka mengikat satu rambutnya seperti ekor kuda itu tengah fokus memerhatikan anak-anak kelas lain bermain futsal.

“Lo mau balik?”

Perempuan itu, Cerise tentu saja, menolehkan kepalanya pada Langit, kemudian pada Irene yang terlihat masih mengobrol dengan Ajhi, sekilas. “Hmm.”

“Bareng gue aja.”

“Gue—“

“Boleh. Boleh banget! Cer, gue, kan mau rapat dulu sama Kak Ajhi, jadi daripada lo balik sendiri naik metromini terus keliatan banget jomlonya, mending bareng Kak Langit aja.” Sudah jelas kalimat durjana ini lahir dari mulut Irene. Telinganya benar-benar dirancang khusus untuk mendeteksi sinyal-sinyal ke-sold out-an Cerise.

Cerise menggelengkan kepalanya sambil menatap tajam pada Irene yang masih menyengir. “Ya udah, gue balik duluan.” Lalu memandang Langit sambil melanjutkan kalimatnya. “Naik metromini.”

Tapi Langit tentu tidak akan mengiyakan semudah itu. Setelah menyampaikan pamit kilat pada Irene dan Ajhi, dia dengan segera menyejajarkan langkahnya dengan Cerise.

“Baru bubar, Neng? Sore amat.”

Cerise tidak mengacuhkan.

“Jalan bentar ke gang depan, ya. Motor gue parkir di sana.”

Sampai keluar dari gerbang pun, Cerise masih enggan membuka mulutnya, sekalipun Langit beberapa kali mengajukan pertanyaan padanya. Hingga sepasang tangan terasa bertengger di kedua bahunya. Lelaki itu sepertinya hendak menuntunnya untuk tetap berjalan di trotoar melawan lalu lalang orang yang berjalan berlawanan.

Cerise menepisnya. “Gak usah pegang-pegang!” Yang lantas Langit respons dengan angkatan kedua tangan ke udara sebagai simbol perdamaian.

Saat sampai di depan halte pun, Cerise malah menghentikan langkahnya.

“Gang depan masih beberapa langkah, lho, Neng.”

“Gue gak ada bilang mau balik sama lo,” jawabnya ketus sambil menatap Langit sekials. Begitu sebuah metromini tertangkap pandangannya, ia dengan segera melambaikan tangannya. Namun dengan cepat pula Langit menurunkannya, dan mendorong tubuhnya dari belakang untuk lanjut berjalan.

“Langit lepasin atau gue teriak!”

“Lo gak teriak pun kita udah jadi tontonan, Neng.”

Benar juga. Menjadi pusat perhatian begini justru membuat rasa malu Cerise naik ke permukaan. Akhirnya, ia memilih untuk diam dan membiarkan Langit terus mendorong tubuhnya. Dengan wajah tertekuk masam tentu saja.

Di gang depan yang Langit maksud itu, beberapa pedagang kaki lima tampak berkerumun. Seperti telah memiliki hak atas wilayah yang mereka jajaki sekarang, namun tetap terlihat akrab satu sama lain. Cerise hanya berdiri di mulut gang mengikuti perintah Langit. Risih juga harus bertemu dengan banyak orang tak dikenal sekaligus. Dari sini pun, Cerise masih dapat melihat Langit yang tetentang berbincang sebentar dengan penjual bakso dan mie ayam, sebelum menaiki motornya yang terparkir di samping gerobak.

“Yuk, lo ada jaket gak?”

“Gak.” Cerise menanggapi dengan singkat sembari meraih helm pemberian Langit.

“Gue ada satu di bagasi. Cewek biasanya—“

“Berisik. Buruan jalan!”

“Oke.” Langit mengulum senyum di balik helm full face-nya. Dia lupa, Cerise itu bukan ‘perempuan biasanya’.

{}{}{}

Bersambung dengan 1272 kata

Btw, besok insya Allah puasa. Huhuhuhu....

ApogeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang