"Senin. Satu minggu." Cerise bergumam sambil menatap kalender pada ponselnya. Ternyata, sudah satu minggu terhitung, sejak ia resmi menjadi siswi kelas sepuluh di sekolah barunya.
Dan ternyata, waktu satu minggu lumayan membuat Cerise jenuh juga.
Fokus Cerise segera teralih, ketika ponselnya bergetar dengan menampilkan nama sahabatnya di layar. Ibu jarinya lalu bergerak menggeser tombol bulat berwarna hijau.
"Ya, Ren?"
"Lo di mana? Gue di depan kelas lo, nih. Mau masuk tapi malu," kata Irene beruntun yang diakhiri dengan nada malu-malu pada kalimatnya. "Eh, by the way, cowoknya pada ganteng-ganteng gak?"
Cerise hanya menjawabnya dengan satu kalimat, "Bentar gue keluar." Lalu beranjak dari duduknya, dan melangkah ke luar kelas.
Satu meter ke samping dari pintu kelasnya, Cerise dapat langsung melihat tiga sahabat sedari SD-nya itu tengah berdiri membentuk lingkaran kecil. Fanya yang pertama kali menyadari kehadirannya dengan tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.
"Gimana-gimana-gimana? Lo udah nemuin satu spesies bibit unggul yang lo suka belum?" tanya Irene sambil mencoba melongok ke dalam kelas.
Cerise menggeleng. Irene mendesah lemas.
"Baru juga satu minggu, Ren." Jihan menyenggol bahu Irene. "Lagian, Cerise gak keliatan menyedihkan banget, sih, sampe harus cepet-cepet cari pacar."
Cerise menulikan telinganya, kemudian menarik tangan Fanya menuju kantin.
"Ngomong-ngomong, tadi pagi gue liat lo jalan buru-buru banget dari halte. Ada yang ketinggalan atau gimana?"
Cerise mengerutkan keningnya. "Tadi pagi?"
"Iya. Lo gak dianterin calon suami gue emangnya?"
Maksud kata calon suami dari perkataan Irene tersebut adalah Rafan. Cerise mulai membiasakan diri dengan panggilan menggelikan itu, dan mencoba tidak peduli.
"Oh, diikutin penculik tadi gue. Lagian, emang dari beberapa hari ini Mas Rafan gak pernah nganterin gue lagi. Dia, kan juga mesti persiapan buat balik ke Jakarta."
"Penculik?" beo Jihan. "Kayaknya, gue mulai ngerti, deh, kenapa lo gak pernah punya pacar selain Diltan-"
"Diltan bukan pacar gue, by the way," potong Cerise buru-buru. Bahkan, langkah kakinya sampai terhenti demi dapat mengklarifikasi pernyataan Jihan tadi.
"Ya, oke, bentuk hubungan apapun yang lo dan Diltan jalanin. Cuma lo berdua dan Tuhan yang tau. Tapi, Cer, lo ngerasa gak, sih, hampir setiap orang asing yang lo temuin itu lo sebut penculik? Kok, gue ngerasa kayak mereka terzalimi banget."
"Itu namanya Cerise bersikap waspada, Jihan," sambar Fanya.
Cerise lantas merangkul Fanya sambil tersenyum manis.
"Lo teori sebanyak apapun gak akan mempan, Ji. Makanya, dari kemaren-kemaren gue ngajakin lo bikin Klub Jalan Pencarian Jodoh Cerise. Lo nolak terus."
Cerise mulai jengah. Ia dengan segera menarik Fanya masuk ke dalam koperasi sekolah, mengganti penggaris dan pensilnya yang kemarin dihilangkan Rafan. Tapi, sepertinya, semangat Irene dan Jihan dalam mencarikan Cerise jodoh membara sekali. Padahal, Cerise tidak semenyedihkan itu, kok.
"Kayaknya, kali ini gue harus berhasil bikin lo ikut ekskul," tekad Irene sembari merampas penggaris dan pensil dalam genggaman Cerise. Perempuan itu ternyata ikut membeli sebotol mimuman berperisa buah.
Cerise mengabaikan. Sambil menunggu para sahabatnya menyelesaikan urusan mereka, ia berdiri menyender pada dinding di samping kulkas sambil berpangku tangan. Perlahan, alunan salah satu lagu yang dinyanyikan Westlife membuat dirinya hanyut dan ikut menggerakkan bibirnya untuk bernyanyi. Setidaknya, lagu ini membuat kadar kesabaran Cerise bertambah sedikit.
Ponsel yang ada di saku roknya lalu bergetar. Nama Papa yang muncul di layar sebagai panggilan masuk membuat Cerise diam sebentar, sebelum mengangkatnya.
"Iya, Pa?"
"Assalamualaikum, Sayang."
"Waalaikumsalam."
"Maaf, baru sempet telepon kamu sekarang. Gimana sekolah baru kamu?"
"Baik."
"Satu kelas lagi sama temen-temen kamu?"
"Enggak."
"Gak apa-apa. Artinya, kamu dikasih kesempatan buat cari temen baru. Tapi kalian masih sering ketemu, kan kalo di sekolah?"
"Iya." Cerise diam-diam berdoa, semoga jawabannya kali ini dapat membuat papanya kehabisan topik, dan segera menutup telepon.
"Mas Rafan bilang, waktu liburannya udah mau habis. Kamu pulang-pergi sekolah sama siapa? Biar Papa jemput. Papa bisa sempetin."
"Gak perlu. Cerise pulang-pergi bareng Fanya," dustanya.
Terdengar helaan napas dari seberang. "Oke. Sudah ketemu Kak Amira?"
Ketika papanya menanyakan itu, Cerise seketika menangkap kehadiran Amira yang tengah berjalan ke arahnya. Mereka saling melemparkan tatapan tanpa ada yang berniat untuk menjadi yang pertama memutuskannya. Hingga Amira berbelok mengambil minuman dari kulkas yang berdiri tepat di sisi kirinya.
"Udah."
"Papa biasa anterin Kak Amira kalo pagi. Kamu bisa ikut." Papanya masih mencoba bernegosiasi rupanya.
"Gak perlu. Cerise mau masuk, Cerise tutup, ya. Wassalamualaikum."
"Oke. Selamat belajar, Sayang. Waalaikumsalam."
Satu detik setelahnya, Cerise menutup sambungan itu, bersamaan dengan suara Amira yang mulai terdengar.
"Well, selamat datang, Cerise. Gue belum sempet ngucapin itu kayaknya kemaren-kemaren. Semoga betah," katanya sambil tersenyum manis, kemudian berlalu pergi.
Cerise hanya bergeming.
"Ngapain, tuh, sodaranya Annabelle nyamperin lo? Lo gak diapa-apain, kan?"
Lagi, tanpa mengeluarkan suaranya, Cerise menggeleng.
{}{}{}{}
Bersambung dengan
753 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Apoge
Teen FictionPertama kali bagi Cerise, dan ia tidak ingin berpisah. • Cerise tidak pernah ingin berkenalan dengan orang baru. Tumpukan masalah dalam hidupnya membuat ia enggan mengambil masalah baru lagi. Ketika seseorang memaksanya untuk membuka diri, Cerise le...