Prolog

41 3 1
                                    

Sebagian mengatakan, semua yang terjadi pada hidupmu tidak pernah benar-benar menjadi hanya kebetulan. Cukup percaya pada kemungkinan pesan yang terselip, maka kamu dapat memaknai dengan sepuas hati.


Aku bukan seorang perempuan yang senang mendramatisir, apalagi bertekuk lutut pada sebuah rayuan berbungkus mulut manis lelaki. Aku justru pernah berpikir, mungkin, akan lebih menyenangkan jika menghabiskan hidup hanya dengan orang terkasih, tanpa harus bertemu orang baru lagi dan memulai semuanya dari awal lagi. Merepotkan.


Tetapi, hari ini, detik ini, aku kembali berpikir, bagaimana jika saat itu aku lebih memilih mengurung diri di dalam rumah, bermain-main dengan kucing kesayanganku hingga lelah dan jatuh tertidur. Aku mungkin, tidak akan pernah dapat melihat netra hitam yang menghanyutkan itu.

{}

Catatan tempat dan tahun; Bogor, 2017



"Yah, biasalah, bunda nyuruh gue buat nemenin Mas Rafan beli bahan-bahan buat bikin kue. Katanya, kasian, lho, itu masmu, masa dorong-dorong troli sendirian di supermarket." Cerise menirukan gaya bicara bundanya di akhir kalimat, lalu mencebikkan bibir. Suara tawa mengalun renyah dari ponsel yang saat ini menempel pada telinga kirinya.

"Harusnya lo bersyukur, Cer. Mas Rafan pasti keliatan gentle gitu, ya, dorong-dorong troli? Argh, gue jadi ngebayangin, kan."

Cerise memutar bola matanya jengah. "Ngapain, sih, jadi ngomongin dia. Gue matiin telponnya, ya, kalo lo masih bahas Mas Rafan," ancamnya tanpa mengindahkan tatapan Rafan yang kini sudah beralih padanya. Ia lalu membuang mukanya ke arah lain, sebelum membalikkan tubuhnya untuk berjalan memunggungi kakaknya itu.

"Ye, sensian lo. Ya udah, buruan. Gue sama Fanya ampe lumutan, nih, nungguin di rumah Jihan. Itu si eneng satu aja ampe udah beres mandi, lo belum dateng-dateng juga."

"Iya-iya, bentar. Abis dari sini juga gue langsung ke rumah Jihan, kok. Gue tutup, ya. Bye!" Cerise lantas mematikan sambungan telepon, tanpa menunggu balasan dari Irene lagi. Sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, perempuan itu berjalan menyusuri lemari pendingin untuk menemukan sesuatu yang sekiranya mengandung teh hijau dari Jepang kesukaannya.

Namun, tatapan Cerise sekarang malah terhenti pada deretan botol yoghurt berperisa buah. Warna putih susu pada botolnya seakan menggoda Cerise untuk segera membawanya ke kasir. Dan ia akhirnya menggeser juga pintu kaca lemari itu. Tetapi, saat tangannya berhasil menggenggam sebotol yoghurt tesebut, sebuah tangan lain tampak menggantung di udara yang hanya berjarak sekitar lima sentimeter dari punggung tangannya.

Cerise menoleh. Seperti adegan klise dalam novel-novel picisan pada umumnya, mereka saling melemparkan tatapan. Hanya sepersekian detik, sebelum lelaki yang ada di sampingnya itu bergumam, "Maaf." Lalu mengambil yoghurt yang tepat berada di atas tangan Cerise. Dua botol sekaligus dengan jemari panjangnya.

Cerise tidak mau memikirkan lebih lanjut. Ia memilih untuk segera mengambil yoghurtnya dan hendak membawanya menemui Rafan, saat sebuah liontin kecil berbentuk hati tertangkap netranya. Cerise mengambil liontin itu. Dia sudah membuka mulutnya, ketika melihat lelaki tadi tengah melakukan pembayaran di kasir. Tapi, yang membuat teriakan Cerise kembali tertelan ke kerongkongan adalah, keberadaan seorang perempuan yang kini dirangkul oleh lelaki itu.

Perempuan yang amat Cerise kenali.

{}{}{}

Bersambung....

ApogeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang