2.3

29 4 0
                                    

Jam menunjukkan pukul setengah enam sore, ketika Cerise melihatnya. Dia kemudian menatap Langit sekali lagi melalui kaca besar yang membatasi bagian dalam dan luar tempat makan siap saji itu. Ada keinginan untuk kabur saja dari sini, namun Langit pasti akan kembali mendapatkannya besok, lusa, atau hari-hari selanjutnya. Cerise merasa pesimis dengan Langit kali ini, karena lelaki itu belum terlihat menyerah sama sekali.

“Gue pesen tiga porsi, jaga-jaga kalo lo masih laper. Atau gue perlu pura-pura ke toilet, biar lo bisa makan tanpa harus jaim?”

Cerise mengabaikan Langit dengan segala kalimat penuh godaannya itu. Seporsi nasi dan fried chicken di hadapannya lebih menarik untuk diperhatikan. Sambil menulikan telinganya, dia mulai membuka pembungkus nasi untuk mulai bersantap.

“Lo liat pengamen yang di situ?”

“Enggak.”

“Tengok dulu, Nèng.”

Dengan malas, Cerise menuruti titah lelaki di hadapannya, memandang sekilas pada seorang anak laki-laki yang tengah duduk di anak tangga depan Gramedia. Tempat makan siap saji dengan Gramedia itu bersisian, sehingga Cerise masih dapat melihatnya dengan cukup jelas. Lalu kembali menatap Langit sambil menanyakan ‘Kenapa?’ lewat gumaman.

“Dengerin lagunya, deh, Nèng.”

Panon hideung
Pipi konèng
Irung mancung
Putri Bandung
Putri saha?
Di mana bumina?
Abdi resep ka anjeunna

Lirik dari keseluruhan lagu tersebut menggunakan bahasa Sunda yang membuat kening Cerise mengerut bingung. “Artinya apaan?”

Kontan, Langit mengangkat kepalanya dengan cepat. Kemudian menyemburkan tawanya, terbahak-bahak sampai harus memegangi perutnya yang mendadak sakit. Beruntungnya, di area luar itu hanya ada mereka berdua, ditambah seorang tukang parkir yang hanya mengulum senyum seolah mengisyaratkan kemaklumannya pada dua sejoli tersebut.

Cerise mendelik, lantas memilih melanjutkan makannya. Dalam diam, merasakan sesal telah meladeni Langit.

Sementara Langit baru mampu mengendalikan tawa tersebut beberapa detik kemudian, saat Cerise mulai kembali mengacuhkannya.

“Gue pikir, jumlah orang perantauan di Bogor makin banyak. Lo dari mana?”

Hening.

Langit menopangkan dagunya dengan satu tangan sambil menatap Cerise jenaka. “Gue tebak, lo punya darah campuran. Manisnya muka lo gak bisa bohong, identik Jawa banget.”

Cerise masih betah bungkam. Otaknya diam-diam berpikir, tipe lelaki penuh rayuan seperti Langit patut dihindari dengan strategi khusus, atau ia akan terjerumus dan patah hati kemudian.

“Jujur, dong, Nèng. Gue juga gak terlalu bisa bahasa Sunda, maksudnya Sunda lemes. Gue gak terlalu ngerti.”

“Gue udah selesai. Lo bisa balik sendiri, kan?” Cerise menyindir dengan sarkas di akhir kalimat.

Langit buru-buru merapikan meja bagiannya. Padahal ia belum makan satu suap pun, hanya baru membuka bungkus nasinya saja.

“Satu kotak lagi belum lo makan.”

“Kasih aja sama yang berhasil bikin lo ketawa puas.” Maksud Cerise adalah pengamen cilik yang menyanyikan lagu kontroversial tadi.

“Yang bikin gue ketawa ngakak, kan lo.”

Cerise memilih untuk berjalan menuruni tangga, dan hampir mencapai jalan raya, sebelum pikiran parnoannya muncul. Pulang sendirian menaiki kendaraan umum di jam hampir Magrib begini bukan opsi yang bagus. Mama Terre juga selalu mewanti-wanti ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ApogeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang