Sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu Bima bahkan komunikasi saja tidak kami lakukan, aku tidak mau mengganggu Bima bersama istri dan anaknya. Disinilah aku berada dalam rumah seorang diri, papa bersama Tania ke Bali setelah mengetahui kehamilan Tania. Aku tahu mereka belum menikah dan Tania baru saja bercerai yang ternyata ditipu oleh mantan suami dan keluarganya, beberapa kali aku melihat mertua Tania ke kantor dan bertemu dengan Devan
Jangan tanyakan apakah aku bertemu Bima ketika dikantor jawabannya adalah gak karena Bima mengerjakan tugas yang lain menggantikan Wijaya dan aku tidak bertanya lebih jauh pada Devan
"Pagi,bu" sapa Rifat dari bagian marketing
Rifat pegawai baru di departemen marketing dan senior Tari, Rifat masuk kesini murni karena kemampuannya bukan bantuan Tari. Aku menatap Rifat dan tersenyum sebagai bentuk kesopanan
"Pak Bima lama di Kalimantan, bu?" tanya Rifat sopan
"Ada perlu?" Rifat mengangguk "berikan pada Pak Devan saja" jawabku
"Baiklah, permisi" aku mengangguk
Rifat pemuda tampan dan aku heran kenapa Tari tidak menyukainya malah memilih seorang duda. Aku melangkah keruangan dimana aku biasa bekerja, Wijaya memang memberikan anak-anaknya ruangan kerja sendiri karena memang kami sudah mulai bekerja dengan bimbingan dari Bima
"Baru datang?" tanya Lila ketika melihatku
Aku mengangguk "Om Bima masih lama?"
"Lumayan" jawab Lila "kenapa? kangen" aku cemberut mendengar godaan Lila "pikirkan perasaan istrinya"
"Permisi" ucap Rifat menghentikan aktivitas dan pembicaraan kami "Pak Devan?"
"Lagi keluar, bisa dibantu?" tanya Lila menatap Rifat
Rifat menyerahkan map "ini dari departemen marketing sebenarnya untuk Pak Bima tapi sepertinya Pak Bima sedang tidak ditempat dan atas saran Bu Via diberikan Pak Devan"
Lila mengangguk paham "baik saya terima ya dengan siapa?"
"Rifat, bu"
"Oh yang seniornya Tari itu?" menatapku yang hanya bisa mengangguk sebagai pertanyaan Lila "ya sudah kamu boleh keluar ini saya terima" Rifat lalu beranjak dari ruangan dan tidak sadar jika kedua wanita tersebut memandanginya "gila gue mau kalau cowoknya itu"
"Inget suami, mbak" ucapku sambil tersenyum
"Gue setia ya gak kaya Bima" jawab Lila sebal "mertua Tania kemarin kesini lagi kasihan deh jadinya"
"Gue mau godain mertua Tania bisa gak?" tanyaku tiba-tiba
Lila melotot "lo mau dibunuh sama kakak dan bokap lo belum lagi Bima"
"Gue penasaran aja seberapa hot sih main sama yang tua" jawabku santai "lagian Tania tu bisa awet sama papa bahkan main mulu jadi pengen"
"Cukup Bima ya yang jadi bahan lo mainan gak yang lain" ucap Lila dengan emosi membuatku tersenyum "udah otak lo jangan kesana"
"Lagian aku jablay, mbak" ucapku sedih "aku gak pernah jadiin Bima mainan karena memang kami saling membutuhkan, salah?"
"Cari aktivitas lain" saran Lila menyerah
"Udah tapi gak bisa masa harus pakai dildo" ucapku sedih
"Ya Tuhan gak bapak gak abangnya gak asistennya eh sekarang putrinya kenapa mesum semua" ucap Lila sambil mengelus dada menatapku horor "mending lo ngejar Rifat sana umur gak beda jauh"
"Rifat cocok sama Tari daripada gue, mbak" tolakku langsung "tapi Tari udah punya pacar jadi gak mungkinlah"
Lila tersenyum "udah gue mau balik baca hasilnya marketing, bye"
Setelah kepergian Lila aku merenung sendiri semenjak di apartemen itu dan sampai sekarang aku belum disentuh Bima rasanya aku ingin disentuh pria, pria yang dekat denganku hanya Bima. Rasanya aku ingin mencoba pria selain Bima dan ideku adalah mantan mertua Tania, aku ingin mencoba bagaimana di posisi Tania
"Mau kemana?" tanya Lila ketika melihatku keluar dari ruangan
"Gue butuh penis" sambil mengedipkan mata
Lila melotot mendengar jawabanku "jangan bilang lo" aku mengangguk karena aku tahu maksud dari perkataan Lila "jangan aneh-aneh" aku mencium pipi Lila dan meninggalkannya begitu saja
Lila teman yang enak diajak cerita hal-hal berbau dewasa, dia yang mengetahui perbuatanku dan Bima tapi rahasia tetap aman. Bahkan aku tidak malu bertanya mengenai bagaimana memuaskan pasangan dan Lila sangat membantu
KAMU SEDANG MEMBACA
Slave or Love ? (END)
RomansaAdegan 21+ Belum cukup umur jangan baca Cerita anak Wijaya