Maaf Ma,

1.3K 19 19
                                    


Dalam gelapnya kamar, kudapati Mama meringkuk di bawah ranjang tempat tidur. Matanya sembap, jelas menandakan bahwa dia sedang menangis. Mama masih terisak karena kejadian pagi hari tadi. Kejadian yang mampu membuat hidup kami berbelok seratus delapan puluh derajat.

Kudekati Mama secara perlahan, merengkuh tubuhnya yang baru kusadari mulai renta. Lampu sengaja kubiarkan mati, agar tak perlu risau dengan air mata yang terlihat orang lain. Jadilah kami berdua saling menangis, berbagi duka bersama.

*****

Suara wajan dan spatula beradu di langit-langit. Tanda Mama sedang menyiapkan sarapan. Aroma wangi masakan tercium hingga di kamarku, yang berjarak tak jauh dari dapur. Semua itu sukses menggoda perutku, memberi sinyal untuk diisi.

Bergegas aku keluar kamar dengan menenteng tas sekolah ke meja makan, setelah siap untuk berangkat. Tak sabar ingin melahap masakan Mama yang sudah memanggil semenjak tadi.

Mamaku seorang single mother, berjuang sendirian setelah ditinggal oleh Papa sepuluh tahun yang lalu. Mama mulai berjualan kue-kue dan aneka jajan pasar. Berjalan mengelilingi dari satu kampung ke kampung lain. Aku dan Kak Keenan yang masih kecil, turut membantu dengan menitipkannya ke kantin sekolah. Bahkan sampai saat ini, kami masih sering menitipkan kue-kue itu ke warung-warung terdekat. Berjuang demi bertahan hidup. Seperti pagi ini, sudah terhidang beberapa kue yang sudah matang. Hasil dari kerja keras Mama yang memasak dari pukul 03.00 WIB.

"Pagi Ma," sapaku. Tanganku menarik satu kursi di meja makan yang berbentuk persegi itu.

"Pagi, Kayla, mana kakak kamu? Belum bangun?" tanya Mama, sembari sibuk menyiapkan nasi goreng di atas meja. Menu favoritku untuk sarapan.

"Tau tuh! belum bangun kali," jawabku cuek.

"Hmmm ... punya anak sulung kok malah susah dibangunin!" keluh Mama sambil menghela napas. Sudah hapal dengan kebiasaan kakakku, Keenan.

Derap langkah kaki terdengar dengan suara mulut yang menguap. Orang yang baru dibicarakan datang. Kakakku Keenan, berjalan ke dapur seperti zombie. Berkali-kali menguap, dan menggaruk rambutnya yang berantakan. Saat ini, dia harusnya sudah lulus kuliah dan menjadi sarjana ekonomi. Namun justru masih saja berkutat dengan skripsi.

Tangannya yang belum dicuci, hendak mengambil tempe goreng yang ada di meja. Refleks, Mama memukul pelan tangannya.

"Keenan, cuci tangan dulu! Sikat gigi! Jorok banget baru bangun udah mau makan!" omel Mama.

"Iya nih, Kak Keenan jorok!" timpalku.

"Iya deh, iya!" Mukanya sedikit tertekuk mendengar omelan Mama dan aku. Mau tak mau dia harus menurut dengan perintah Mama.

*****

Langkahku tertahan ketika membuka pintu berwarna cokelat tua. Dua orang berseragam polisi datang ke rumah. Aku tak bisa menyembunyikan rasa terkejutku atas kedatangan mereka. Firasatku mengatakan berarti ada sesuatu yang tak beres di sini.

"Selamat pagi, apa betul ini rumah saudara Keenan?" tanyanya sopan.

"Iya betul," jawabku.

"Apa saudara Keenan ada di rumah?"

"Iya, sebentar saya panggilkan." Aku kembali menuju meja makan.

Setelah aku memberitahu ada polisi di depan, Mama dan Keenana bergegas dari meja makan. Langkah kami menyiratkan kecemasan. Bertanya-tanya perihal apa polisi datang ke rumah kami?

"Selamat pagi, Bu.Kami datang membawa surat izin penggeledahan." Dua polisi itu bersuara setelah berhadapan dengan Mama dan kak Keenan.

"Iya, penggeledahan apa Pak?" tanya Mama bingung.

Salah satu dari mereka menyerahkan secarik amplop. Mama membukanya dengan cepat dan raut wajah yang cemas. Kak Keenan juga terlihat gelisah atas kedatangan kedua polisi.

"Kami mendapat laporan bahwa saudara Keenan terlibat dalam jaringan narkoba, untuk itu kami meminta izin untuk melakukan penggeledahan."

"Narkoba?" Mama mengulang pelan dari penjelasan polisi itu. Seolah berharap ini semua salah. "Keenan? Bener kamu terlibat narkoba?" tanya Mama dengan nada getir kepada kak Keenan. Tatapan Mama tajam, mencari kejujuran dari mulut kakak.

Kak Keenan yang sedari tadi cemas tak bisa menjawab apapun. Polisi sudah merangsek masuk ke dalam, minta ditunjukkan kamar kak Keenan. Akulah yang memberitahu kamar kak Keenan.

Polisi keluar dengan membawa barang bukti. Satu kantong plastik bening, berisi sabu dengan berat kira-kira setengah kilogram. Cukup untuk menjawab semua pertanyaan Mama. Tak ada pembelaan dari kak Keenan ketika polisi membawanya untuk pergi. Kami berdua ikut ke kantor polisi. Di kantor polisi, bukti semakin kuat ketika urin kak Keenan dinyatakan positif.

Kejadian ini cukup menusuk hati yang paling dalam. Mengingat bagaimana perjuangan Mama setelah Papa tiada. Mama tak akan menyangka bahwa anak sulungnya terlibat narkoba. Begitupun denganku, aku tak habis pikir kak Keenan memakai narkoba.

*****

Beberapa bulan kemudian,

Kak Keenan berkemeja putih lengkap dengan bawahan celana hitam. Menghadap hakim yang siap membacakan putusan atas perkaranya. Dia semakin kurus setelah beberapa bulan menginap di hotel prodeo. Tulang pipinya terlihat menonjol dengan jelas. Kulitnya terlihat kusam. Rambutnya tercukur rapi dan tertutup dengan peci.

Aku dan Mama duduk di bagian belakangnya. Menyaksikan persidangan dengan persaaan gemetar. Kak Keenan hanyalah korban dari pergaulan yang salah. Dia tak ikut menyebarkan, hanya memakai. Kami hanya berharap keputusan sidang ini adil bagi kak Keenan.

"Dengan ini, pengadilan menyatakan saudara Keenan akan direhabilitasi!" Suara hakim menggelegar membaca putusan. Diiringi suara ketukan palu yang menandakan bahwa putusan sudah final.

Mama dan aku tersenyum lega mendengar putusan itu. Berharap kak Keenan bisa sembuh setelah direhabilitasi. Lalu, bersama-sama bangkit menata kehidupan kembali.

Kak Keenan yang hendak dibawa kembali ke rutan, meminta izin ke petugas untuk mendekati kami. Berbicara dari hati ke hati.

"Ma ..., " panggilnya pelan saat mendekat.

"Keenan, jaga diri baik-baik ya. Semangat untuk sembuh!" pesan Mama. Air bening perlahan menglir di kedua pipinya yang tak terpoles apapun.

"Keenan ... minta maaf Ma. Keenan ... udah ngecewain Mama," ucap kak Keenan.

"Mama akan selalu memaafkan kamu, karena mama seorang ibu. Tempat pulang bagi anak-anaknya." Mama mengusap pelan pipi kak Keenan.

"Keenan janji mau berubah," janji kak Keenan dengan mantap. Dia meraih tangan mama yang ada di pipinya. Lantas, mencium seolah meminta restu dari mama agar perjalanan hidupnya lancar. Kemudian, dia beralih kepadaku.

"Kay," panggilnya pelan.

"Iya Kak?"

"Jaga mama baik-baik ya selama kakak nggak ada? Kamu jangan contoh kakak yang buruk ini," pesannya kepadaku. Aku mengangguk mantap sebagai jawaban.

Setelah itu, Kakak berjalan meninggalkan kami keluar ruangan. Diiringi dari petugas kepolisian. Dia sesekali menoleh, melempar senyuman kepada kami. Hingga sosoknya benar-benar hilang dari padangan.

Semenjak kejadian kak Keenan, aku berjanji pada diri sendiri. Selalu ingat Mama ketika akan melakukan sesuatu. Ingat perjuangan Mama yang banting tulang untuk menghidupi kami berdua. Ingat tangisan Mama yang keluar ketika kita melukai hatinya.

*****

Love You Mama,Where stories live. Discover now