April 2018
Suasana malam itu terasa hangat. Meskipun harus mengikuti rundown acara dari pagi sampai malam, para muda-mudi itu tidak merasakan lelah. Apalagi malam ini adalah malam yang ditunggu-tunggu oleh mereka. Bukan Prom Night, tetapi satu acara rahasia yang memang menjadi tradisi turun-temurun dari alumni mereka. Acara ini dilaksanakan tiga hari di salah satu villa yang jauh dari hiruk-pikuk ibukota. Yang menjadi istimewa, tidak semua siswa bisa ikut acara ini. Hanya beberapa siswa saja yang diundang. Itulah mengapa acara ini ditunggu-tunggu oleh siswa yang benar-benar mendapat undangan.
Ini adalah hari terakhir dari acara tersebut, sekaligus menjadi acara puncaknya. Semuanya tampak bahagia dengan senyum merekah di bibir mereka. Ada yang sibuk memanggang daging, sosis, dan jagung. Ada yang menyiapkan minuman. Ada juga yang mulai bernyanyi, diiringi gitar. Namun, ada satu orang yang emosinya terlihat kontras dengan yang lainnya.
Seorang gadis dengan sweater berwarna abu-abu dan jeans berwarna biru sedang duduk termenung sambil meremas tisu di tangannya. Tampak menimbang-nimbang sesuatu. Dia tidak berselera dengan bau makanan yang dipanggang itu, padahal dia sadar wanginya mampu membuat perutnya berbunyi. Dia sedang tidak memikirkan isi perutnya, dia hanya memikirkan satu hal.
Apa ini saatnya untuk jujur?
"Ney."
Panggilan itu membuat gadis itu berbalik. Teman terdekatnya–teman yang mengenal gadis itu luar dalam–membawa dua gelas cokelat panas. Dia duduk di samping gadis itu. Tak lama kemudian, menyodorkan gelas di tangan kanannya. "Lo mau?"
Gadis itu hanya menggeleng.
Temannya menghela napas. Dia tahu, sejak Graduation pikiran gadis itu melayang entah ke mana. Dia juga tahu apa penyebabnya. "Kalo dia gak datengin lo, lo yang harus datengin dia. Kalian harus ngobrol soal ini, Ney. Kalian harus tau yang sebenarnya. Secara langsung, tanpa perantara dari kami."
"Mana Tara?" Gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Entah," jawabnya acuh. Temannya meletakkan dua gelas tadi di meja terdekat. Dia memegang kedua bahu gadis itu. "Ney, liat gue, please."
Gadis itu menurutinya. Matanya yang sayu bertemu dengan sepasang mata yang memandanginya dengan serius. "Mau sampai kapan lo pendam perasaan lo itu? It's fucking five years, Neona! Lo yakin lo bisa pergi tanpa tau yang sebenarnya? Lo yakin biss tinggal jauh dari sini dengan hati yang masih bertanya-tanya?"
Gadis itu menghela napas. Matanya menatap teman-temannya yang masih asyik memanggang, "Gue cuma takut kenyataannya gak sesuai dengan yang kalian bilang." Gadis itu akhirnya menyampaikan ketakutannya.
"Percaya sama kami, kalian itu saling suka." Sang teman terus meyakinkan, bahkan dari seminggu yang lalu. Tak hanya dia, temannya yang lain dan teman-teman dari laki-laki itu juga mengatakan hal yang sama. Namun, entah kenapa hati gadis itu berkata hal lain.
Gadis itu menunduk, menatap sepatu ketsnya. Meskipun bertentangan dengan kata hatinya, perkataan sang teman memang benar adanya. Dia tidak bisa pergi dengan membawa pertanyaan yang tidak bisa dia jawab. Entah apa yang terjadi dengan pendidikannya nanti jika perkara di masa sekarang belum selesai. Entah bagaimana keadaannya di negeri nun jauh di sana jika dia terus memikirkan laki-laki itu.
Gadis itu mengepalkan tangan. Berusaha meyakinkan dirinya, menguatkan batinnya. Temannya mendengar helaan napas yang cukup panjang. Dia melihat gadis itu tersenyum paksa. "Gue bakal ngomong sama dia. Malam ini."
Temannya ikut tersenyum. "Nah, begitu dong." Dia menepuk pundak gadis itu, memberi semangat. "Good luck. Lo keluarkan yang selama ini ada di dalam hati lo. Keburu basi kalo lo pendem terus."
Gadis itu terkekeh kecil mendengar gurauan temannya yang sebenarnya tidak lucu. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan sambil mencari keberadaan laki-laki yang dimaksud. Matanya melongok ke sana ke mari.
Deg.
Jantungnya berdetak seperti yang sudah-sudah saat menemukannya, lebih cepat seperti habis mengelilingi lapangan bola. Tubuhnya pun ikut panas-dingin. Gadis itu terpesona dengan tampilan laki-laki itu malam ini. Meskipun hanya memakai hoodie dan celana katun, matanya yang menyipit saat tersenyum itu akan selalu jadi favoritnya. Seperti magnet, kini langkah kaki membawanya ke arah laki-laki itu. Hatinya terus merapal mantra agar rasa gugupnya menghilang.
Sementara itu, laki-laki itu sedang mengobrol santai bersama teman-temannya. Salah satu temannya menyadari bahwa gadis itu berjalan ke arah mereka. Senyumnya melebar.
"This is your chance, Dude. Neona udah jalan ke sini."
Laki-laki itu sontak berbalik saat mendengar nama gadis itu disebut. Benar, gadis itu sedang berjalan menuju mereka. Tubuh kecil dengan oversize sweater dan jeans itu sudah cukup membuat napasnya tidak beraturan dan jantungnya berdetak kencang. Buru-buru dia mengalihkan pandangan ke arah lain, seolah tak peduli dengan keberadaan perempuan itu yang semakin dekat. Padahal, di dalam hati dia bertanya-tanya. Apa ini saatnya? Apa ini waktunya dia mengungkapkan perasaannya selama lima tahun ini kepada gadis itu?
Langkah gadis itu terhenti tepat di depan mereka. Dia menunduk sedikit. Tiga laki-laki yang ada di sana saling berpandangan. Akhirnya salah satu dari mereka angkat bicara. "Ada apa, Ney?"
Ada apa?
Sederhana, tapi terlalu rumit untuk dijawab. Itu yang sedang gadis itu rasakan. Tapi gadis itu tidak mau seperti ini terus. Meskipun jantungnya menggila di dalam sana, dia harus melakukan ini. Demi hatinya. Dia menatap laki-laki itu lurus, sedangkan laki-laki itu mengedarkan pandangannya. Meskipun demikian, telinganya sudah siap untuk mendengarkan.
"Apa boleh gue ngomong berdua sama lo, Nash?"
***
Haiiii. Setelah hiatus bertahun-tahun, aku mencoba untuk menghidupkan kembali cerita ini. Meskipun peminatnya tidak kelihatan, aku berharap aku bisa menyelesaikan cerita ini dengan baik. Dan semoga saja, seiring berjalannya cerita ini, akan banyak yang mampir dan suka dengan ceritaku, aamiin.
Follow instagramku yaa (@/elzawirda), untuk tau info selanjutnya tentang update atau konten2 kecil buat cerita ini heheheh
Lav, Lavendelion ❤
09-06-2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Jarak & Waktu
Teen FictionNeona Randita tidak pernah menyangka bahwa si misterius Nash Gardira yang mencuri perhatiannya. Rambut Nash yang sedikit basah saat bermain basket adalah hal yang Neona sukai setelah buku dan es krim vanilla. Lima tahun Neona menjaga perasannya untu...